Monday 10 March 2014

Sebenarnya Aku Mencintaimu Hanya Saja Aku Tidak Mengatakannya

Oleh Yuni Kristyaningsih

Itu berkaitan dengan harga diri. Ya, itu benar. Seseorang memang harus menghadapimu dengan martabat dan harga diri supaya kamu tidak menganggapnya sampah. Mencintai dan dicintai adalah masalah bagiku. Karena apapun yang kau dapat harus selalu kau bayar baik secara tunai maupun kredit. Dunia ini persis pasar, ya kan? Apapun harus ada transaksi yang jelas. Kalau tidak maka kamu jadi pencuri. Hukuman bagi pencuri itu sudah jelas. Jika ada empat orang saksi, kamu sudah pantas tidak memiliki tangan lagi. Tapi sampai saat ini aku belum juga mengerti apa hukuman yang pantas untuk seseorang yang mencuri kepolosan hati.

Setelah bertemu denganmu aku tidak polos lagi tapi aku tidak bisa menuduhmu mencuri. Tidak ada bukti. Tidak ada saksi. Hanya Tuhan saja yang tahu bagaimana kamu menarik hatiku hingga aku tidak memilikinya lagi.

Orang yang tak memiliki hati pasti dia bukan manusia lagi. Tapi entahlah. Setelah hatiku kau curi aku malah jadi lebih manusiawi.

Aku sedang membangun mimpi mengenai mengenai suatu negeri ketika kamu datang.

Kerajaan itu berada di sebuah lembah. Lembah yang sangat subur dan damai. Disana kamu bisa menemukan hutan pinus, sungai sejernih air mineral, padang berselimutkan bunga rumput berwarna kuning dan ilalang berbunga putih, ladang-ladang subur dan orang-orang yang ramah.

Di kerajaan itu aku adalah seorang puteri. Aku tinggal di kastil dengan puncak menara seperti siung bawang. Kalau kau menginap disana kau harus mengikatkan sehelai sapu tangan biru di pegangan pintumu agar kamu tidak kembali ke kamar yang salah.

Disana aku dihomati dan disayangi walaupun mungkn diluar sana au adalah nobody. Kurasa aku memiliki apa yang diinginkan para wanita. Kecantikan, kekayaan, harga diri dan benda-benda yang bisa disayangi atau dipakai tidak lebih dari sekali atau dimiliki sekedar untuk koleksi.

Tiap hari aku mengerjakan apa saja yang kusenangi: memetik bunga, menyulam, melukis, menulis surat, menari, menunggang kuda dan mendengarkan orang-orang bercanda.

Saat rambutku memanjang menjadi puluhan senti, saat aku mulai kehilangan apa yang disebut sebagai rona kekanakan di pipiku, saat lingkar dadaku mulai bertambah dari hari ke hari, aku mulai berkhayal tentang seorang pangeran yang menunggang kuda liar berwarna hitam bersurai panjang. Jubah kebesarannya berwarna hitam. Dia selalu membawa pedang yang bergagang batu garnet ungu tua. Rambutnya hitam seperti langit malam dan matanya pun hitam seperti buah zaitun yang masak. Kami bertemu di sebuah pertarungan melawan raksasa lalu kami jatuh cinta, menikah dan hidup bahagia selamanya.

Tapi aku lupa memikirkan bahwa perlu ada bagian buruk dalam sebuah cerita agar bisa disebut menarik. Lagipula tak ada orang yang bisa selalu datang pada saat dibutuhkan atau mengatakan sesuatu persis seperti yang ingin didengar atau memberi sesuatu yang diidamkan tanpa diberi petunjuk lebih dulu. Sementara aku ingin semua berlangsung tanpa perlu berkata. Tentu saja tidak ada orang seperti itu. Tapi mempertimbangkan sesuatu dengan otak adalah kelemahan seorang pemimpi. Sepertiku.

Pada saat kamu datang kukira mimpi telah jadi kenyataan tapi perlu banyak waktu bagiku untuk menyadari bahwa kau telah menghancurkan mimpiku.

Kamu datang persis seperti pangeran itu. Dengan mata buah zaitun dan jaket hitam seperti mafia. Entahlah tapi sepertinya kamu menyembunyikan sesuatu di balik bajumu. AK-47 semi otomatis atau mungkin Magnum 44.

Waktu itu aku sedang bermain di padang, merangkai tangkai demi tangkai bunga rumput menjadi mahkota. Sendirian saja. Sendirian membuatku lebih bisa berpikir jernih. Orang bilang wanita tidak bisa menggunakan otaknya dengan benar tapi aku sungguh-sungguh bisa berpikir.

Kamu muncul dari balik rumput ilalang. Melihatku. Menatapiku. Mendekatiku.

“Kamu siapa?” tanyaku.

“Seseorang.”

Lalu kekuatanmu membuat pita-pita yang terpasang di rambut dan gaunku berserakan kemana-mana.

“Kau berhutang budi padaku,” katamu, “karena hari ini aku membiarkanmu hidup. Akan kupastikan kau membayarnya nanti.”

Kamu mengambil mahkota bunga yang baru saja kubuat dan memasangnya di kepalamu seolah-olah kamu adalah raja lalu setelah itu kamu pergi.

Besoknya kamu menemui ayahku. “Aku ingin menikah dengan puteri anda,” katamu yang kudengar dari atas tangga.

Semula ayah menolak tapi kamu memaksa. “Anda akan menikahkan kami dengan sukarela atau dengan terpaksa?”

Malam setelah kamu menikahiku terjadi badai. Tangkai-tangkai bunga patah, rumput-rumput tercabut dan sungai meluap. Tapi paginya, saat jendela-jendela mulai dibuka, matahari bersinar keemasan dan semuanya memulihkan diri dengan sangat cepat menjadi seperti tidak terjadi apa-apa.

Tapi aku kan manusia. Tidak pernah bisa pulih dengan sendirinya.

Kamu membawaku ke kastil yang lain. Dua kali lebih megah. Dua kali lebih indah. Seratus kali lebih suram. Seratus kali lebih menakutkan.

Kamu membuat garis di lantai pada hari pertama aku datang lalu menyusun mutiara-mutiara air tawar di sepanjang garis itu.

“Ini adalah garis hidup. Hidupmu,” katamu. “Kau tidak punya hak untuk keluar karena keluar berarti mati. Mengerti?”

Tiap hari kau memeriksa garis itu dan ketika mendapati mutiara-mutiara itu bergeser atau hilang maka kamu pun berubah menjadi setan.

Kamu menganggap aku adalah milikmu padahal kamu tidak punya alasan untuk itu. Meskipun kamu menikahiku. Bahkan meskipun seandainya aku mencintaimu. Aku tak mengenal cinta. Aku hanya mengenal dirimu. Tapi cinta dan dirimu tentunya sangat berbeda.

Suatu kali aku melongok ke luar jendela. Nun jauh disana, di balik tembok kastil ada seseorang yang sedang memancing bersama seorang anak kecil. Kelihatannya mereka menganggap kegiatan itu sebagai suatu hal yang menyenangkan. Kadang mereka tertawa bersama, kadang berangkulan lalu ketika matahari hampir tenggelam mereka berjalan pulang sambil bergandengan tangan menyusuri tepian padang ilalang.

Aku memandangi mereka. Tersenyum. Mereka adalah pemandangan indah. Kemudian aku melukisnya. Menggambar helai demi helai rumput di dekat mereka, melukiskan setiap riak danau, mewujudkan bagaimana angin mempermainkan rambut mereka, berusaha membuat nyata sebuah keindahan.

Tiap kali melihat mereka aku tersenyum. Kadang juga tertawa. Kebahagiaan mereka begitu besar sampai tertular padaku.

Kusembunyikan lukisan itu di gudang. Hanya kadang-kadang kalau aku perlu tersenyum aku melihatnya.

Suatu ketika aku menemukan lukisan itu berceceran menjadi beberapa bagian dan kamu ada disana memagang sebuah pedang berkilau perak.

“Siapa itu yang kau coba sembunyikan di kegelapan hatimu?” tanyamu.

“Hanya seseorang yang berbahagia,” jawabku.

“Kebahagiaan adalah adonan roti. Kau tinggal mencetaknya di loyang lalu memanggangnya. Kau bisa menghiasnya dengan stroberi atau kiwi. Lalu selesai.”

“Terlalu banyak dicampur ragi sehingga menjadi asam.”

Lalu dengan hati terbakar-bakar kamu mengobrak-abrik semua barang. Mengacungkan pedang di depan hidungku.

“Apakah dia lebih berharga dari nyawamu?”

Kemudian setelah itu musim dingin datang dalam hidupku. Kamu yang membuatnya terasa seperti itu.

Aku berusaha melongok ke luar jendela. Berusaha menemukan pemandangan indah itu. Tapi tidak ada.

Kamu tertawa di belakangku. “Sekarang sel-selnya mungkin sedang menghidupi bunga-bunga teratai.”

Aku menangis. “Kenapa kau membenciku?”

“Karena kau tidak menyerahkan cintamu kepadaku.”

Lebih baik aku mati daripada harus mengatakan aku mencintaimu.

Dulu seseorang sepertimu pernah datang pada nenekku. Mereka bernyanyi di padang dan nenek membiarkan hatinya dicuri.

Nenek memujanya dan mereka sering berbagi matahari tenggelam di ujung padang. Lalu pria itu pergi dan tak pernah kembali. Orang-orang tutup mulut mengenai hal ini tapi aku tahu itu terjadi karena nenek membiarkan pria itu tahu kalau dia mencintainya. Sekarang hari-harinya berakhir seperti menanti matahari bertemu dengan rembulan.

Cinta adalah iblis yang membuat hatimu seperti sarang termit dengan permukaan yang tergerogoti dalam bentuk mengerikan.

Meski sedikit, bersamamu ada juga waktunya untuk tertawa.

Di suatu fajar yang buta, aku memanjat atap loteng yang curam. Kaki telanjangku terasa kaku oleh embun yang hampir mencapai titik beku. Aku merasa sangat senang kalau bisa meluncur dari ata sini. Kemudian tiba-tiba kamu muncul. Tampangmu mirip Vlad Dracul haus darah.

“Kemari kau!” teriakmu. Padahal kakiku telah membeku.

Dengan marah kamu menyambar tanganku. Katamu, “Kau tak punya hak untuk pergi. Meskipun mati kau tetap tak boleh beranjak dari sisiku.”

Lalu dalam pelukanmu aku bergulingan menuju tanah. fajar pertama pecah di langit dan dalam adegan slow motion itu aku melihat ekspresi yang berubah-ubah di matamu. Lucu. Aku tertawa. Beberapa waktu kemudian dan banyak waktu sesudahnya aku harus tetap berada di atas ranjang dengan pengawasan dokter. Banyak sekali rasa sakit tapi melihatmu aku ingin tertawa. Kamu mau mati bersamaku benar-benar adalah sebuah lawakan yang sangat lucu.

Suatu kali aku melihatmu datang. Dengan kemeja putih bernoda darah dari ujung pisau di tanganku.

Dengan darah itu aku bisa memberitahumu kalau aku mencintaimu. Darah adalah cairan dengan kepekatan sempurna untuk tinta. Tunggulah beberapa detik lalu tulisan itu akan seindah grafitti. Lagipula aku hanya bisa membuat kaligrafi dan bukannya simfoni. Kamu bukan maestro yang peka mendengar nada indah sedangkan aku ini tak bisa bicara. Tapi kamu letakkan pikiranmu dalam pikiranku dan kuusung hatimu dalam hatiku.

Hanya sayang sekali kalau kamu kemudian mati.

4 comments:

Unknown said...

Ini cerpen yg saya baca di soal UAS bhs indonesia td pagi , begitu mbaca sebagian ceritanya , sy lngs search untuk mencari tau kelanjutannya ^^

yuni kristianingsih pramudhaningrat said...

terima kasih sudah membaca ^_^

Unknown said...
This comment has been removed by the author.
Unknown said...

Eh iya loh, sebenernya ini udah aku baca sejak dua tahun lalu sesaat setelah Guru B. Indonesia ngasih soal Ulangan dengan cuplikan cerpen ini, tapi baru bisa komen.

Aku penasaran karena dari awal baca kalimatnya bagus, bukan cuma cerpen ini sih, tapi semua cerpen disini bagus semua. Dari cara penulisannya, alur cerita, apalagi gaya bahasanya. Cakep!!
Salam kenal yaa :))