Sunday 9 November 2008

SURAT



Oleh Yuni Kristyaningsih Pramudhaningrat


Dhimas,
Ketika aku menulis surat ini, dari jendela, aku melihat langit penuh awan. Itu adalah jenis awan berwarna putih, tipis, dan merata di semua sisi langit. Keberadaan awan itu menjadikan langit kelihatan sebagai suatu bidang yang mempunyai batas. Sebuah ruang yang terpagari oleh sesuatu. Langit yang seperti itu membuat aku merasa aku adalah seorang penderita claustrophobia. Selama ini kalau aku membutuhkan penghiburan maka aku akan memandang langit. Sesuatu yang begitu luas selalu mampu meredam kegundahan di hatiku.
Tentu saja di suatu tempat pasti ada sudut atau ruang yang menjadi batas dari langit, tetapi karena aku tidak mengetahui di mana letak sudut atau ruang itu –bahkan dalam renungan paling mendalam dan khayalan paling liar sekalipun aku tidak mampu memikirkan di mana letaknya- maka sekali waktu aku berpikir mungkin luasnya langit hanya berada sedikit di bawah tidak terbatas. Sekali waktu juga aku berpikir barangkali langit diciptakan begitu luas agar bisa meredam semua hal yang berada di bawah naungannya. Langit yang seperti ini, tertutup awan, sungguh membuatku gelisah, sebab apa yang tidak bisa kita redam harus selalu kita tanggung.


Dhimas,
Apakah yang akan dilakukan orang ketika dia tidak bisa menghilangkan seseorang dari benaknya sekejap mata pun? Mungkin sebagian orang akan memilih untuk meminta pertanggungjawaban dari orang tersebut, dengan menyatakannya misalnya. Bukankah pengakuan adalah cara paling mudah untuk memindahkan beban? Sebagian mungkin akan memilih untuk diam saja dan menikmatinya. Bukankah tidak ada acara yang lebih khidmat dari diam? Sebagian yang lain mungkin akan diam-diam menelan obat tidur supaya dapat beristirahat dengan tenang. Bukankah di dunia ini tidak ada orang yang tidak membutuhkan istirahat? Entah aku termasuk pada golongan yang mana tetapi pada akhirnya aku memilih menulis surat ini. Dengan begitu mungkin pada akselerasi antara normal dan tidak normalnya fokus pikiranku aku telah memindahkan beban padamu namun mungkin juga aku menyebabkan beban-beban yang baru berdatangan.


Dhimas,
Pada apa yang tidak pernah menjadi nyata, apa yang selalu menjadi bagian yang terlupa dari mekanisme pembentukan kenangan dan apa yang ada bagi satu orang tetapi di saat bersamaan tidak ada bagi orang lain, apakah semua itu akan disebut omong kosong? Kalau iya betapa sejarah hidupku selalu bergulir dari satu omong kosong ke omong kosong yang lain. Dengan mengatakan ini mungkin aku telah membuatmu berpikir kalau hidupku menyedihkan. Tidak. Hidupku sama sekali tidak menyedihkan. Kurasa aku bisa mendapatkan semua hal yang kuinginkan kalau aku menginginkannya. Masalahnya kini aku tidak lagi menginginkan apa-apa. Aku menyadari bahwa tidak ingin apa-apa ternyata adalah keganjilan dalam kehidupan ini. Dan apa yang terasa ganjil selalu menjadi gangguan bagi keharmonisan. Aku ingin menginginkan sesuatu. Menginginkan dengan begitu sungguh-sungguh agar aku tidak menjadi bagian dari keganjilan. Itulah kenapa aku selalu teringat padamu. Sebab kamu tahu bagaimana cara menginginkan sesuatu dengan begitu sungguh-sungguh. Sebab kamu bukanlah bagian dari keganjilan.


Dhimas,
Tahukah kamu bahwa saat ini bunga-bunga cosmos sedang bermekaran? Dalam buku botany yang pernah kita pelajari bersama-sama disebutkan bahwa bunga itu hanya mekar dari bulan Maret sampai Oktober tapi pada kenyataannya bunga itu mekar setiap saat sepanjang tahun. Aku tidak tahu apakah itu disebabkan karena tanah negeri kita yang gemah ripah loh jinawi ataukah karena bunga itu memang punya tekad yang kuat. Setiap kali melihat bunga itu, selalu kubayangkan dirimu. Bunga mempunyai bahasa mereka sendiri yang selalu mereka nyatakan dengan diam-diam, tanpa kata-kata. Bunga cosmos tidak memerlukan banyak air, dapat bertoleransi dengan intensitas cahaya matahari yang kuat dan tidak terlalu rewel minta nutrisi ini dan itu. Ia dapat tumbuh dengan persyaratan seminimal mungkin. Tetapi bunga yang dihasilkannya memiliki warna yang cemerlang dan bentuk yang indah. Warna merahnya, apabila ia berwarna merah, adalah warna merah yang berbeda dengan warna merah yang lain. Berbeda dengan warna merahnya darah, warna merahnya mawar, warna merahnya kulit buah jambu air atau warna merahnya langit ketika senja. Warna merah yang dimilikinya adalah warna merah bunga cosmos. Warna kuningnya, apabila ia jenis yang berbunga warna kuning, adalah warna kuning yang berbeda dari warna kuningnya matahari, warna kuningnya kunyit atau warna kuningnya logam emas. Warna kuningnya adalah warna kuning bunga cosmos. Selamanya bunga cosmos akan selalu kuanggap mewakili dirimu. Sederhana, berbeda dan indah.


Dhimas,
Apakah menjadi sederhana dan indah itu adalah ide yang terlalu utopis? Seperti anak kecil yang mempercayai bahwa di suatu tempat di dunia ini ada seorang pangeran yang menunggangi naga dan menumpas segala bentuk kejahatan, barangkali untuk menjadi sederhana dan indah terlebih dulu kita harus menjadi kanak-kanak itu. Tapi bisakah kita begitu? Pikiran kita telah dipenuhi dengan berbagai pertimbangan, tidak lagi hanya berisi konsep sederhana seperti milik kanak-kanak itu, dimana mereka mempercayai impian dan khayalan sebagaimana mereka mempercayai kenyataan. Kerumitanlah barangkali yang menghalangi kita untuk menjadi indah.


Dhimas,
Ada yang bilang hidup ini adalah masalah keinginan. Asalkan sangat menginginkan maka kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan itu. Aku tidak percaya semua omong kosong itu. Aku pernah sangat menginginkanmu, pada sebuah masa yang sepertinya sudah jauh, amat sangat menginginkanmu. Aku tidak menganggap ini sebagai rahasia. Apa yang tidak memalukan untuk dipikirkan seharusnya juga tidak memalukan untuk dikatakan, bukan? Aku pernah sangat menginginkanmu, amat sangat menginginkanmu, bahkan pernah pada suatu waktu aku pernah merasa yakin bahwa keinginanku akan dirimu lebih besar dari keinginanku akan hidup ini. Aku menulis banyak puisi dan cerpen untuk berusaha menggambarkan apa yang kurasakan ketika itu. Kau pun sudah membacanya, bukan? Tapi percayalah padaku, puisi dan cerpen yang ada di dalam hatiku jauh lebih banyak dari itu. Menggambarkan perasaanku padamu pernah membuatku mempercayai bahwa ada hal yang tidak bisa diungkapkan dengan bahasa. Barangkali kau merasa heran kenapa aku bisa amat sangat menginginkanmu, kau toh hanya seorang manusia biasa, seorang makhluk yang bisa mati, sementara kau tahu aku tidak menaruh ketertarikan sama sekali pada sesuatu yang bisa mati. Aku sendiri juga heran, selalu merasa heran. Barangkali dalam hidupku yang sepi ini kau secara diam-diam, tanpa kau sadari, telah meninggalkan warna pelangi kemanapun kau pergi dan melangkah di dalamnya. Aku tidak bilang bahwa sebelumnya tidak ada warna dalam hidupku tapi hanya kau yang membawa warna pelangi bersama dengan kedatangan dan kepergianmu. Barangkali karena itulah aku menginginkanmu. Kurasa sangatlah manusiawi apabila seseorang menginginkan sesuatu yang menyenangkan hatinya.
Yang sangat mengherankan kemudian adalah kenyataan bahwa amat sangat menginginkan ternyata belumlah cukup untuk membuatku dapat memilikimu. Tidak ada satu bagian pun dari dirimu yang bisa kusebut sebagai milikku, tidak hatimu, tidak pikiranmu apalagi badanmu. Waktu itu, dalam keadaan yang kurasakan sebagai yang paling sengsara dalam hidupku, aku sering bertanya, “Tuhan, seperti apa lagi aku harus menginginkannya untuk dapat memilikinya?” Tuhan tidak menjawab pertanyaanku, sebab aku terlalu bodoh untuk memahami bahasa Tuhan, tapi Dia memberikan tanda-tanda. Perlu waktu yang lama bagiku untuk bisa menyatukan potongan tanda-tanda itu. Satu-satunya jawaban yang kupahami adalah karena aku tidak akan dapat menjadi aku apabila aku memilikimu. Jika kau bersamaku aku hanya akan jadi seperti si burung putih dalam dongeng yang menurutmu sangat malang itu.
Seperti yang kukatakan tadi, masa itu kini terasa telah sangat jauh berlalu. Barangkali waktu memang cobaan bagi cinta. Atau mungkin juga para pencinta sepertiku memang telah dikutuk untuk selalu melupakan. Rasa menginginkan itu telah melenyap entah kemana. Kini, dapat kupandang dirimu, bukan lagi dengan pandangan yang begitu mendalam, intim dan agak kurangajar, tetapi dengan pandangan yang lebih terhormat seperti ketika kulihat lukisannya Turner. Satu yang membahagiakan adalah ketika aku membicarakan masa mudaku maka kau ada dalam kisah itu. Kurasa kisah hidup kita adalah sesuatu yang sangat mungkin abadi, paling tidak dalam catatan masa. Hanya saja barangkali aku belum bisa meniru candaanmu yang satir itu, aku selalu akan menanggapi pembicaraan tentang dirimu sebagai sebuah topik yang serius. Kurasa aku memang orang yang menganggap serius segala sesuatu tapi begitulah diriku. Aku memang seperti itu dan akan tetap menjadi seperti itu.


Dhimas,
Kujalani hidup ini dengan cara seperti itu. Selalu serius. Selalu sungguh-sungguh. Selalu sepenuh hati. Apakah itu yang menjadi sebab dari semua kehampaan dan kerumitan ini? Aku amat sangat menginginkan mempunyai anak dari suami yang kucintai dengan sepenuh hati. Ketika anak itu telah ada di dalam diriku aku mulai mencintainya dan karena kulakukan dengan sungguh-sungguh maka cinta itu kemudian menjadi makin besar dari hari ke hari sehingga rasanya kata sepenuh hati pun tak bisa digunakan untuk mengungkapkan besarnya. Sepenuh hati aku belajar supaya menjadi ibu yang baik baginya. Sepenuh hati kuusahakan agar dunia ini menjadi lebih baik untuknya. Ketika anak itu kemudian meninggal aku merasa sangat sengsara, seperti ketika aku merasa sangat sengsara karenamu hanya saja yang ini digandakan sekian juta kali. Aku begitu sengsara hingga rasanya semua hal yang telah kupelajari dalam hidupku dan semua hal yang kuyakini dengan sepenuh hati tidak bisa menghilangkan kesengsaraan itu. Sejak itu aku memilih untuk tidak menginginkan apa-apa lagi. Lalu seperti inilah aku pada akhirnya. Duduk memandangi langit lalu menceritakannya dalam surat kepadamu.


Dhimas,
Kadang kupandang kau mewakili puteraku. Kau dan dia adalah apa yang sempat amat sangat kuinginkan. Kau dan dia adalah apa yang tidak pernah bisa kuklaim sebagai milikku. Kau dan dia adalah apa yang membuatku menyadari adanya batas-batas dalam langit ini. Batas-batas yang mengurungku dalam ruang yang tidak pernah menjadi hampa sekaligus selalu hampa. Kalian adalah apa yang menghantarkan aku pada kenormalan ini, bahwa seseorang yang hidup memang seharusnya menginginkan sesuatu dan bukannya tidak menginginkan apa-apa. Kupandang kau mewakili puteraku karena dia telah menjadi sesuatu yang hanya hidup di dalam hatiku sedangkan kamu hidup tidak hanya di dalam hatiku tetapi juga dalam kehidupan ini. Aku ingin kembali menginginkanmu karena dengan begitu aku dapat melihat kembali keinginanku akan puteraku.


Dhimas
Aku duduk di bawah langit yang menggelisahkan hati ini dan menulis surat padamu adalah untuk menanyakan pertanyaan yang mengganggu itu. Apakah aku harus menginginkanmu kembali? Apakah aku harus menginginkanmu kembali agar aku dapat melihat kembali keinginanku akan puteraku, agar aku mempunyai keinginan pada kehidupan ini, agar aku menjadi diriku kembali? Apakah aku harus menginginkanmu kembali?
Sampaikan salamku untuk isterimu.
Penuh cinta
Aku


Catatan:
Cerpen ini mengambil judul yang sama dengan salah satu cerpennya Virginia Woolf
Dhimas adalah panggilan untuk saudara yang lebih muda. Digunakan juga kepada teman yang usianya sebaya/lebih muda untuk menghormatinya.
Claustrophobia adalah rasa takut yang berlebihan apabila berada di ruangan tertutup
Bukankah tidak ada acara yang lebih khidmat dari diam? adalah salah satu larik dari salah satu puisinya D.Zawawi Imron yang saya lupa judulnya
Dongeng yang dimaksud adalah cerita mengenai seekor burung putih yang tinggal di sebuah danau. Suatu hari ada pelangi yang salah satu ujungnya terlihat seperti mencium danau. Burung putih itu jatuh cinta pada pelangi. Dia terbang hendak menggapai pelangi itu tapi sebelum dia dapat mencapainya pelangi itu sudah memudar dan hilang. Tiap pelangi itu muncul burung itu melakukan hal yang sama. Hingga pada suatu hari dia terbang sangat tinggi, kelelahan lalu jatuh dan mati. Sahabat terkasih saya menganggap kisah itu memilukan dan menurutnya orang yang menyukai kisah itu, terutama saya, adalah orang yang terkena virus romantisisme yang sudah tidak tertolong lagi
Dalam keagungan kenangan / Para pencinta dikutuk untuk melupakan dikutip dari puisi berjudul Requiem for an Embrace karya Cecep Syamsul Hari
JWM Turner (1775-1851) adalah pelukis berkebangsaan Inggris. Dia senang melukis pemandangan dan gaya lukisannya dianggap melandasi aliran impressionisme. Lukisan yang dimaksud dalam cerpen ini adalah lukisan yang berjudul Landscape With Distant River And Bay, dilukis pada tahun 1840 menggunakan media oil on canvas.

Sunday 2 November 2008

SETYAWATI



Oleh Yuni Kristianingsih

Setyawati adalah nama ibuku. Dia wanita tercantik yang pernah kukenal dan walaupun aku banyak mengenal wanita yang menawan, tapi hanya dia yang lulus ujian sebagai perempuan walaupun dengan pengujian yang paling kritis sekalipun.
Hal pertama yang kuingat dari diri Ibu adalah kalau malam dia suka memakai gaun sutra berwarna putih. Aku pernah menanyakan kenapa dia suka memakainya dan kata Ibu itu agar aku lebih mudah menemukannya di dalam kegelapan. Kalau siang, warna gaunnya lebih beraneka ragam, tapi biasanya bermotif bunga. Di dekatnya selalu tercium wangi melati, kadang memang sedikit tercampur bau kue atau masakan di dapur, tapi wangi melatinya masih tercium.
Ibuku selalu bisa bersikap manis bahkan ketika sedang marah. Kalau ada dia, rasanya semuanya bisa diurus dengan baik. Semua orang sayang padanya. Bahkan, kupikir bunga-bunga di kebun itu mengangguk-angguk bukan hanya karena tertiup angin, tapi juga karena ingin menyapa Ibu.
Ibu sangat sayang padaku meski aku hanya jarang-jarang saja berada di dekatnya. Aku sangat sering pergi.
Kadang aku pergi dan kembali hanya untuk sebuah alasan sederhana. Kadang bahkan tak perlu alasan sama sekali. Dan aku senang melakukannya. Tapi Ibu tidak.
Tiap kali aku muncul di depan pintu, kata pertama bukan "selamat datang" atau paling tidak "hai sayang", tapi "berapa lama kau akan tinggal?" dan kalau jawabanku adalah "besok aku harus kembali" wajahnya jadi muram seakan- akan aku sedang pamit perang melawan seribu orang raksasa.
Orang menganggap ibuku wanita yang sangat beruntung padahal sebenarnya dia orang yang malang. Orang-orang yang Ibu cintai selalu meninggalkan Ibu sendirian. Ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya, Senin ke Jepang, Rabu ke Singapura, Kamis ke Swiss, dan minggu berikutnya entah ke mana lagi. Kalau Ibu protes, paling-paling Ayah akan pulang dengan wajah tidak berdosa sambil membawa sebuket bunga, kalung permata, dan ajakan makan malam berdua. Begitu saja Ibu langsung tersipu-sipu. Ayah memang pandai merayu. Aku tak pernah tahu bagaimana dia berpamitan pada Ibu keesokan harinya sebelum dia menghilang di balik pintu.
Walaupun begitu, Ibu boleh bangga karena Ayah sangat mencintainya. Bagi Ayah, itu adalah rahasia terbesarnya, tapi aku tahu karena aku laki-laki dan juga putra Ibu.
Pernah suatu ketika, di antara sedikit waktu luang Ayah, dia menceritakan bagaimana dulu dia harus berjuang keras untuk mendapatkan cinta Ibu.
Ibu adalah gadis paling manis yang pernah dikenal Ayah, sedangkan Ayah adalah laki-laki paling brengsek yang pernah diketahui Ibu. Vila keluarga mereka di Kaliurang berdekatan, tapi keluarga keduanya berbeda seratus delapan puluh derajat. Ibu dibesarkan dalam keluarga bangsawan yang penuh martabat dan tata krama, sedangkan keluarga Ayah merupakan gambaran paling ideal untuk penganut paham materialisme dan pemikiran liberal: punya segalanya, tapi jelas tidak bahagia. Tapi, sudah merupakan hukum Tuhan kalau kutub positif magnet selalu bertemu dengan kutub negatifnya.
Sejak melihat Ibu pertama kali, Ayah tak pernah membiarkan Ibu lepas dari pengawasannya. Dia terus berkeliaran di sekitar Ibu sampai Ibu menyadari keberadaannya. Tapi waktu itu Ibu masih sangat muda sehingga terlalu bodoh untuk tahu bahwa Ayah mencintainya.
Berkat kerja keras dan didukung kepintarannya dalam mempengaruhi orang, Ayah berhasil membujuk orangtua Ibu untuk menikahkannya dengan Ibu. Ayah sama sekali tak merasa perlu membujuk Ibu karena dia tahu Ibu itu sangat penurut dan menganut paham: cintailah apa yang kau miliki.
Suatu ketika kutemukan buku harian tua di salah satu sudut loteng yang digunakan sebagai gudang. Buku bersampul kulit itu milik Ayah, ditulis ketika aku mungkin masih berupa sel-sel yang tercecer di dalam tanah. Di dalamnya tertulis kalimat yang sudah cukup menggambarkan seperti apa cinta Ayah pada Ibu. Kalimat itu adalah "Aku sangat mencintainya sampai rasanya ingin memakannya".
Ibu adalah contoh istri yang luar biasa. Dia mengabdi sepenuhnya pada suami. Mencintainya, merawatnya, dan sebisa mungkin tidak melakukan apa yang tidak disukai Ayah. Ibu sangat setia pada Ayah, mungkin seperti Setyawati dalam cerita pewayangan yang rela jari-jarinya dipotong demi menolong suaminya.
Setelah melahirkan aku, Ibu tidak pernah bisa benar-benar sehat seperti sebelumnya, padahal Ibu ingin punya banyak anak supaya rumah jadi ramai. Meski begitu, Ibu punya anak yang lain, Ayah, dia jelas lebih merepotkan dari anak mana pun juga dan bayi yang tidak pernah menjadi besar.
Sebagai anak tunggal, aku punya kewajiban setidaknya menelepon Ibu untuk laporan harian sebelum tidur dan harus meluangkan waktu senggangku untuk pulang.
Sebenarnya berada di rumah sangat menyenangkan. Ada Ibu dan segala bentuk perhatiannya dan kalau aku cukup beruntung, ada Ayah yang bisa aku ajak menonton pertandingan bola.
Tapi ada terlalu banyak daya tarik yang ada di luar rumah sehingga aku tidak bisa berlama-lama berada di rumah. Meskipun begitu, tetap saja aku merindukan Ibu dan menyimpannya sebagai alasan untuk pulang di bulan berikutnya.
Suatu kali aku pulang. Ada kabar gembira yang harus kusampaikan pada Ibu.
"Bu, aku sedang jatuh cinta," kataku. "Hebat sekali, bukan?"
Ibu memandangku lama, kelihatan sangat heran, tapi kemudian tersenyum. Senyum paling indah yang pernah kulihat. "Oya? Benarkah? Ayo ceritakan pada Ibu."
Lalu aku pun bercerita. Tentang seorang gadis yang berasal dari desa yang namanya tak tercantum di peta. Tentang bidadari kecil yang sangat manis. Tentang mahasiswi paling pintar di kampus. Tentang wanita angkuh yang pernah menampar wajahku.
Ibu sangat heran. "Dia menamparmu?"
"Ya, aku berdebat dengannya di sebuah forum diskusi. Dia melawan dengan gigih. Sewaktu acara usai, aku mencoba mengajaknya kencan dan dia menamparku."
Ibu tertawa. "Kamu pasti jadi marah sekali."
"Tentu saja. Setelah hari itu aku membuntutinya ke mana pun dia pergi. Dia marah, jengkel, dan kadang ketakutan. Lucu sekali."
"Kenapa kamu mengganggunya? Terang-terang kamu yang salah. Bukankah seharusnya kamu minta maaf padanya?"
"Ibu bercanda. Masa gadis seperti itu harus dibiarkan saja? Karena dia sudah membuatku susah, maka dia harus dihukum. Bagaimanapun dia harus jadi milikku."
"Ya ampun, kau persis ayahmu."
Aku tersipu malu. "Ah, aku lebih suka mirip Ibu."
"Tidak, Nak, kau persis ayahmu."
Beberapa bulan kemudian aku telah berhasil menjadikan gadis itu pacarku. Ketika liburan semester tiba, aku membujuknya agar mau menghabiskan liburan di rumahku. Aku sangat ingin mengenalkannya pada Ibu. Kebetulan Ayah baru saja pulang dari Kanada dan kurasa sedang punya keinginan yang luar biasa untuk berada di rumah bersama Ibu.
Oya, pacarku itu bernama Setyawati. Tahu itu Ayah tertawa. "Itu adalah nama yang khusus diberikan pada wanita yang hebat," katanya. Saat itu Ayah sedang melirik Ibu, tapi pacarku tersipu-sipu.
Selama seminggu itu Setyawati mendominasi ibuku. Mereka berkeliaran berdua sepanjang hari, dari mulai memetik buah di kebun, membuat kue-kue kecil aneka rupa yang nama-namanya sangat aneh, keluar masuk toko mencoba segala jenis gaun, sampai membicarakan sesuatu yang tak pernah bisa kumengerti meskipun sudah kucoba.
Aku dan Ayah mengawasi mereka berdua sambil tertawa cekikikan. Lucu sekali melihat bagaimana dua orang itu berkeliaran di sekeliling kami seperti angin ribut dan amat sangat repot mengerjakan ini dan itu untuk kami.
"Apakah kau menyadarinya?" tanya Ayah. "Kita ini memang ayah dan anak."
Itu memang benar, pikirku, tapi tak perlu mengatakan sesuatu yang sudah jelas, kan?
Setelah pacarku pulang, aku menemui Ibu. Kukatakan kalau aku ingin menikahi Setyawati.
"Jangan menikahinya, Nak," kata Ibu.
Aku mengerti. Kukira Ibu menyukainya. "Kenapa, Bu?"
"Jangan. Jangan menikahinya."
"Bu, dia memang miskin, tapi dia sangat baik."
"Aku tahu, tapi kau tak boleh menikahinya, Nak."
"Kenapa, Bu? Aku mencintainya. Dia manis seperti Ibu."
"Dan kau seperti ayahmu."
"Aku tak mengerti."
"Kalau kau menikahinya, kau akan membuatnya menderita seperti yang ayahmu lakukan pada Ibu."
Aku tak pernah tahu kalau Ayah bisa membuat Ibu menderita. Hanya saja kalau Ayah tidak pulang, aku sering melihat Ibu duduk termenung di dekat jendela. Di pangkuannya ada sebuah buku, tapi tampaknya lembarannya tak berganti. Aku curiga dia memang tidak sedang membaca. Pikirannya mungkin terbang pada Ayah. Tapi sebelum ini aku tak pernah memikirkan hal itu dengan serius meski aku melihatnya.
"Tidak, Bu, aku tidak seperti Ayah. Aku akan membuatnya bahagia. Ibu akan melihatnya nanti dan Ibu akan bangga."
Seperti yang aku inginkan, memang pada akhirnya aku menikahi Setyawati. Bukankah sudah seharusnya begitu?
Setyawati persis seperti yang aku harapkan dari seorang istri. Manis, menyenangkan, dan mengurus segala keperluanku dengan baik. Dia menyediakan apa yang aku butuhkan: makanan yang lezat, rumah yang nyaman, dan cinta. Aku sangat mencintai Setyawati dan sangat kusadari bahwa hidupku pasti tak akan sesempurna ini tanpa dirinya.
Aku bekerja di perusahaan Ayah, mewakili Ayah dalam beberapa hal. Ternyata bekerja itu sangat menyenangkan, membaca laporan, memimpin rapat, memikirkan strategi baru, menandatangani banyak sekali dokumen dan kertas kerja, setelah itu uang datang seperti hujan.
Aku sangat suka pekerjaanku, termasuk setiap sentimeter kantorku. Bekerja memberiku kegairahan yang sama seperti saat aku bersama Setyawati. Banyak sekali kemajuan yang satu per satu dapat aku raih. Itu adalah suatu prestasi dan tentu saja berarti uang. Aku senang karena dengannya aku dapat membelikan Setyawati barang-barang paling bagus, perhiasan, gaun, dan apa saja yang terlintas di benakku atau apa saja yang dianjurkan sekretarisku yang menurutnya akan diterima oleh seorang wanita dengan senang hati.
Aku yakin Setyawati sangat bangga padaku. Tiap kali aku pulang, aku melihat pijar di matanya. Seperti biasa dia sangat baik hingga tak akan mau menyentuh makan malam sebelum aku pulang.
Ketika aku terlalu sibuk untuk makan bersamanya, aku merasa menyesal dan untuk menebus kesalahan itu kusuruh sekretarisku mengirimkan padanya rangkaian bunga mawar putih dan sebuah kartu berisi ucapan maaf. Setyawati akan mengeluh dan marah, tapi cuma sebentar karena aku punya cara paling manjur untuk membujuknya, yaitu dengan meminta maaf dan ditambah sedikit keluhan capek atau sakit kepala. Dia akan tergopoh- gopoh mengurusku dan lupa sama sekali dengan kemarahannya.
Tahun demi tahun berlalu, kurasakan waktu berjalan dengan begitu cepat sehingga aku hampir selalu kekurangan waktu untuk segala hal. Setyawati telah menjadi lebih memahamiku sehingga makin lama makin jarang mengeluh. Dia memang mirip Ibu. Ekspresi wajahnya serupa Ibu ketika menyambut aku di muka pintu. Dan aku sangat mencintainya.
Suatu hari aku pulang, berharap menemukan Setyawati yang cantik sedang menungguku di ruang keluarga sambil merajut. Tapi Setyawati tidak ada di mana-mana. Di atas bantalnya kutemukan selembar surat.
Untuk suamiku tercinta,
Selama ini telah kau berikan segalanya padaku, uang, kemewahan, kedudukan yang terhormat, semuanya. Kau juga telah begitu baik padaku. Tapi kau melupakan satu hal, bahwa aku sangat membutuhkanmu di sampingku, sesuatu yang kurasa hampir setiap saat kau lupakan. Aku telah mencoba bertahan, aku benar-benar telah mencobanya, tapi aku menyadari aku bukan wanita luar biasa yang sanggup diabaikan setiap waktu. Karena itu aku memilih pergi. Maafkan aku. Aku sangat mencintaimu, tapi aku tahu aku akan sangat menderita jika terus bersamamu. Kumohon, demi kebaikan kita berdua, uruslah surat cerai secepatnya. Kalau kau lakukan itu, aku akan sangat berterima kasih.
Dariku, Setyawati.
Ini semua tidak mungkin. Kenapa? Bukankah semuanya baik-baik saja? Aku tak mengerti, tapi surat itu ada di sana dan Setyawati telah benar-benar pergi.
Aku menelepon Ibu.
"Nak," katanya. "Sekarang kau mengerti, bukan? Kau seperti ayahmu."
Lalu kutanyakan padanya apa yang ingin aku tahu. "Apakah Ibu juga akan pergi? Meninggalkan Ayah?"
Jawabnya, "Nak, Setyawati yang ini berbeda dengan Setyawati-mu. Dia punya sayap yang kuat untuk terbang, sedangkan Ibu, Nak, Ibu tak punya kekuatan dan keberanian untuk pergi. Sayap-sayap Ibu telah patah. Nak, sudah sejak lama. Lama sekali."
Aku sangat ingin menangis dan meminta maaf pada Setyawati. Dan juga pada Ibu.

Catatan:

cerpen ini pernah dimuat di Harian Kompas tanggal 12 Oktober 2003