Monday 10 March 2014

Bulan Pagi Hari



Oleh Yuni Kristyaningsih Pramudhaningrat



Bulan tidak tampak pagi ini.

Aku sangat suka bulan di pagi hari. Terlihat sangat pucat dan rapuh. Perubahan warna langit di sekitarnya mempertajam kepucatan warna peraknya. Terlihat indah luar biasa. Seperti sebuah obyek dalam lukisan. Mungkin karena sebentar lagi akan tidak terlihat makanya jadi indah. Barangkali sisa waktu yang singkat membuat keindahan terpancar dengan cara yang lebih intens. Setiap melihat bulan di pagi hari aku berpikir perpisahan tidaklah selalu harus diwarnai dengan kesan yang menyedihkan. Barangkali aku seorang dengan hati yang rawan dan sentimentil atau mungkin juga aku memang punya suatu perasaan tertentu terhadap sebuah perpisahan.

Bulan tidak tampak pagi ini.

“Tidak bisa tidur lagi?”

Aku sedang duduk di relung jendela, memandangi langit, ketika kulihat dia datang. Gaun tidur putihnya melambai-lambai. Betapa bagusnya seandainya dia menjadi bagian dari bintang-bintang itu. Sesuatu selalu kelihatan lebih indah jika dipandang dari kejauhan.

“Bukan tidak bisa tidur,” kataku, “hanya tetap bangun.”

Dia menyodorkan segelas minuman hangat. Ketika kuminum ternyata rasanya agak asam.

“Lemon peras dan madu. Untuk flumu,” katanya.

“Kurasa ini tidak manjur lagi untukku.”

“Biasanya selalu manjur.”

“Kalau flu aku minum wine, red wine lebih bagus, yang dipanaskan.”

“Seharusnya kau tidak minum itu.”

“Aku tidak punya waktu untuk sakit.”

Kudengar suara tawanya yang lembut.

Bulan benar-benar tidak tampak pagi ini. Bulan seperti seorang aktris yang sangat profesional. Kedatangan dan kepergiannya, kemunculan dan kelenyapannya sesuai benar dengan skenario. Dia begitu menghayati bagaimana dia harus tampil dengan glamour dan sangat menawan ketika sedang purnama. Dia juga meresapi benar bagaimana cara menghilang dengan begitu bergaya saat bulan mati. Entah apakah dia mendapatkan kebahagiaan dan ketenaran dengan membuat orang terpukau, terpesona dan terluka karena kedatangan dan kepergiannya.

“Kau menulis puisi tentang ini?” Aku bertanya. Aku tahu dia menulis puisi tentang apa saja. Tentang bunga dan capung, tentang sungai dan daun yang luruh, tentang hujan dan rumput, tentang semuanya.

“Apa?”

“Bulan di pagi hari.”

“Puisi rasanya tidak. Hanya percakapan dua orang dalam novelku. Seorang penjual kue serabi dan suaminya. Kau mau kukutip kata-kata mereka?”

“Tidak. Aku tidak membaca novel.”

“Sayang sekali,” katanya. Lalu dia melihat ke langit dan merenung-renung. “Tidakkah kau berpikir kalau bulan di pagi hari itu seperti menambahkan saus sambal di atas telur mata sapi?”

“Saus sambal di telur mata sapi?”

“Membuat perut mual.”

“Apa?”

“Ini menyedihkan, honey. Benar-benar menyedihkan. Tidakkah kau tahu? Memandang bulan di pagi hari. You are hopeless.”

Aku meminum minuman di gelasku. “Apa yang salah dari mengagumi sesuatu yang indah?”

“Karena bisa mengantarmu pada banyak hal.”

“Kurasa itu sesuatu yang menyenangkan.”

“Kurasa itu berarti masalah.”

Kulihat langit mulai menampakkan warna birunya dengan perlahan kecuali pada bagian timur karena warna matahari mengubah warna langit menjadi keemasan.

“Aku pergi hari ini.”

“Kau seharusnya tetap disini menjagaku.”

“Aku tidak bisa menjaga orang lain. Aku bahkan tidak bisa menjaga diriku sendiri.”

“Kau bisa menemani aku.”

“Setiap orang pada akhirnya harus seorang diri.”

“Kalau kau anakku kau tidak akan selalu pergi.”

“Aku selalu pergi karena aku bukan anakmu.”

“Aku berharap kau anakku.”

“I am not.”

Ayahku dan wanita ini bersahabat. Ibuku dan wanita ini hamil pada saat yang bersamaan. Ibuku berhasil melahirkan aku meski dengan susah payah tapi wanita ini sakit dan anaknya meninggal. Dia terlalu sakit untuk bisa mempunyai anak lagi. Ayahku bilang luka di hatinya karena kematian anaknya tidak pernah dapat disembuhkan. Aku selalu membuat wanita ini teringat pada anaknya. Tiap tahun, di hari ulang tahunku, sejak ulang tahunku yang pertama, dia mengirimkan hadiah untukku. Dan selalu disertai sebuah puisi. Selalu puisi yang sama setiap tahunnya.



I dreamt that I dwelt in marble halls

With vassals and serfs at my side

And of all who assembled within those walls

That I was the hope and the pride.



I had riches too great to count, could boast

Of a high ancestral name

But I also dreamt, which pleased me most

That you loved me still the same.



Dia selalu memanggilku Almira, nama yang dia siapkan untuk anak perempuannya, bayinya yang meninggal itu kembar laki-laki dan perempuan, padahal namaku bukan Almira. Kepada semua orang dia mengenalkan aku sebagai Almira, puterinya. Menurutku itu memalukan. Mengakui puteri orang lain sebagai puterinya. Tapi dia tidak kelihatan merasa malu.

Ibuku menyuruhku mengunjunginya paling tidak sekali dalam setahun. “Bersikaplah manis padanya. Selalu jaga tata krama. Dia menaruh hormat hanya pada orang yang tahu bagaimana menjaga sikap.” Begitu pesan ibuku setiap aku mau mengunjunginya. Kurasa ibuku akan pingsan seandainya tahu aku memanggil wanita itu dengan kau saja dan bukannya anda. Kepada ibuku wanita itu selalu berkata “ Almira is really a sweetheart.” Dan ibuku tentu saja percaya.

Wanita itu berlidah tajam. Dia tidak pernah kesulitan mengatakan apapun yang ada di dalam pikirannya. Dia tidak pernah berkata kasar tapi mengatakannya dengan cara yang membuat orang merasa telah melakukan perbuatan yang tolol. Waktu umurku lima belas tahun, dan sedang mengunjunginya selama dua minggu, suatu hari aku bertemu seorang anak laki-laki yang menjengkelkan. Begitu menjengkelkannya hingga aku terdorong untuk memukulnya. Waktu aku pulang dengan baju penuh lumpur wanita itu memandangiku tanpa mengatakan apa-apa.

Aku yang tidak mau dikatakan berbuat hal yang konyol berkata, “ Aku memukul orang yang pantas dipukul.”

“Seorang raden ajeng tidak berbuat seperti itu.”

“Aku bukan raden ajeng.”

“Apakah itu pantas disyukuri?” Dia mengucapkan pertanyaan itu dengan raut wajah yang menurutku lebih menjengkelkan dari raut wajah Mr Bean ketika menyebabkan kesusahan orang lain.

Saat semuanya baik-baik saja dia adalah seorang wanita yang manis. Tapi ketika ada yang tidak beres hal pertama yang dia lakukan adalah melihat apa penyebab ketidakberesan itu dan memastikan orang yang melakukannya bertanggungjawab. Kurasa dia adalah jenis orang yang membuat orang lain enggan berurusan dengannya.

Dia adalah gabungan yang aneh dari intelektualitas, selera humor yang sarkastis dan keinginan yang kuat untuk membekukan waktu. Dia lulusan sebuah perguruan tinggi di Inggris, menguasai beberapa bahasa dan sangat suka membaca buku tapi dia masih memakai kebaya sutera dan kain batik dan masih menempatkan dirinya dalam posisi konvensional sebagai seorang wanita.

Dia menetapkan standar yang tinggi atas segala sesuatu. Tata kramanya tidak ada cacat celanya. Dan itu bukan tanpa sebab. Ayah dari kakek buyutnya adalah raja yang pernah berkuasa di sebuah monarki kecil di tanah Jawa. Aku pernah iseng memasukkan nama ayah dari kakek buyutnya itu ke search engine Google dan mendapat ulasan yang panjang lebar tentang seorang pria yang dilukis sedang duduk di singgasana. Rumah yang ditempati keluarga wanita itu sebenarnya adalah rumah pemberian pria itu kepada salah satu puterinya. Berada di dalam rumah itu membuatku merasa mendengar bunyi gamelan ditabuh dengan irama yang menghanyutkan dari sebuah lagu dari masa yang jauh.

“Kenapa kau selalu pergi?”

“Because I have to.”

“Apakah kau tidak mencintaiku?”

Suatu hari wanita itu memberiku hadiah kalung dari berlian dan ruby, aku lahir di bulan Desember dan birthstone untuk bulan Desember katanya adalah ruby. Aku yang merasa tidak melakukan hal yang layak membuatku diberi hadiah semacam itu tentu terheran-heran. Wanita itu berkata “Seorang wanita harus memakai perhiasan terutama ketika dia memasuki usia dimana dia sudah pantas menerima lamaran pernikahan.”

“Apa kau juga mau mengatur pernikahanku?” Meski tidak terlalu terkejut aku merasa itu adalah sebuah kekurangajaran. “Itu tindakan kriminal.”

“Tidak. Hanya memastikan kamu tampil sebagaimana yang seharusnya.”

“Kau melakukan ini karena aku puteri ayahku?”

“Sebagai pribadi kau istimewa.”

“Kau mencintai ayahku?

“Tentu saja.”

“Kenapa tidak menikah dengannya?”

Dia memandangiku seolah pertanyaan itu sangat aneh. “Kenapa aku harus menikah dengannya?” Dia memperlihatkan raut muka heran. Lalu kerutan di alisnya menghilang. “Aku menaruh rasa hormat pada ayahmu. Jangan merusaknya dengan sebuah kata yang tidak tepat penggunaannya.”

Sejak itu aku tahu bahwa penyebab, rupa dan perwujudan cinta itu bisa begitu partikular di dunia ini.

“Apakah kau tidak mencintaiku?” Dia mengulang pertanyaannya.

“Barangkali aku memahami cinta seperti caramu memahaminya,” kataku, “maka dari itu aku selalu harus pergi meninggalkanmu. Kau selalu membiarkan orang yang sangat mencintaimu pergi meninggalkanmu, kan? Seharusnya kepergianku bukan sebuah masalah.”

Beberapa tahun setelah anaknya meninggal, suatu pagi wanita itu bangun, mengepaki barangnya lalu pergi dari rumah suaminya dan kembali ke rumah keluarganya. Ketika suaminya menjemput dia cuma berkata, “Aku adalah ketidakadilan bagimu.” Mereka berpisah tanpa sebuah perceraian.

Pria itu sangat mencintainya dan selalu berbuat baik kepadanya. Tetapi bahkan seorang pencinta yang paling gila sekalipun tidak selalu bisa bertahan menghadapi sebuah kesendirian. Dua tahun kemudian pria itu menikahi seorang wanita dan memiliki anak darinya. Sempat kusangka itu akan membuatnya kehilangan rasa hormatnya kepada pria itu untuk selama-lamanya tapi ternyata dia tetap datang menemani pria itu dalam acara-acara keluarga, menghadapi semua orang dengan gayanya yang elegan dan bersikap sebagaimana layaknya seorang puteri. Menurutku dia wanita paling tolol di dunia.

“Sebuah kepergian selalu adalah sebuah masalah, Almira.” Dia memandang langit yang mulai terlihat berwarna biru. “Aku tidak pernah yakin apa kau akan pulang.”

“Selama ini aku selalu pulang.”

“Kita tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian. Itulah kenapa kita punya rasa kekhawatiran.” Dia menyentuh ujung rambutku yang bergelombang dan kucat warna cokelat. “Kau tidak tahu apa yang kurasakan saat melihatmu pergi.”

“Aku bisa pergi saat kau tidur.”

Padahal aku tidak pernah bisa tinggal bersamanya. Aku selalu ingin pulang kepadanya namun begitu sudah melihat wajahnya aku ingin segera pergi.

“Kau tahu kenapa aku selalu ingin pergi?”

“Karena kau tidak cukup mencintaiku untuk bisa tinggal bersamaku?”

“Karena kau seperti ayahku. Kau bicara seperti caranya bicara. Kau berpikir seperti caranya berpikir. Kau bahkan benci telur mata sapi seperti dia membencinya. Barangkali semua itu yang menyebabkan kalian menjadi sahabat, bahwa kalian sangat mirip satu sama lain. Tapi itu juga yang menyebabkan aku tidak bisa tinggal bersamamu sekaligus juga tidak bisa benar-benar meninggalkanmu.” Aku mengusap bibir gelas dengan jariku. “Aku membicarakan ini dengan profesorku. Katanya itu adalah perasaan seorang anak. Aku tidak mengerti. Aku kan bukan anakmu.”

Dia tidak mengatakan apa-apa. Langit sudah cukup terang sehingga warna biru langitnya sudah benar-benar dapat terlihat. Udara pagi membuat hidungku lega dan kepalaku menjadi ringan. Mungkin fluku telah dikalahkan oleh perasan lemon dan madu.

“Akan kubuatkan sarapan,” katanya ketika langit telah benar-benar terang. “Seseorang tidak seharusnya pergi dengan perut kosong. How would you like your eggs?”

“Sunny side up, please.”

“Aku sangat heran dengan selera makanmu itu.”

Aku tertawa.

Bulan tidak tampak pagi ini dan kurasa itu bukanlah sebuah masalah yang perlu dibesar-besarkan.


Catatan:

1. Puisi dalam cerpen ini dikutip dari lagu I dreamt that I dwelt yang terdapat dalam salah satu cerpennya James Joyce.

2. Pernyataan tentang cinta dikutip dari buku Bermain-main Dengan Cinta karya Bagus Takwin. Kutipan lengkapnya adalah Ada cinta di dunia itu universal; tetapi seperti apa cinta dan dari mana asalnya itu partikular

3. How would you like your eggs? adalah pertanyaan yang biasa ditanyakan oleh pelayan restoran ketika seseorang memesan sarapan dengan menu telur mata sapi (Eil de Boeuf) Merupakan pertanyaan untuk menanyakan tingkat kematangan kuning telur yang diinginkan

4. Sunny side up adalah telur mata sapi yang dimasak dengan cara telur dipecahkan di atas penggorengan, telur tidak dibalik, kuning telur masih utuh dan masih encer di dalam. Supaya tidak terlalu mentah kuning telur ini sering diperciki minyak atau lelehan mentega.


Cerpen ini dimuat di Majalah Horison edisi Pebruari 2011

Sebenarnya Aku Mencintaimu Hanya Saja Aku Tidak Mengatakannya

Oleh Yuni Kristyaningsih

Itu berkaitan dengan harga diri. Ya, itu benar. Seseorang memang harus menghadapimu dengan martabat dan harga diri supaya kamu tidak menganggapnya sampah. Mencintai dan dicintai adalah masalah bagiku. Karena apapun yang kau dapat harus selalu kau bayar baik secara tunai maupun kredit. Dunia ini persis pasar, ya kan? Apapun harus ada transaksi yang jelas. Kalau tidak maka kamu jadi pencuri. Hukuman bagi pencuri itu sudah jelas. Jika ada empat orang saksi, kamu sudah pantas tidak memiliki tangan lagi. Tapi sampai saat ini aku belum juga mengerti apa hukuman yang pantas untuk seseorang yang mencuri kepolosan hati.

Setelah bertemu denganmu aku tidak polos lagi tapi aku tidak bisa menuduhmu mencuri. Tidak ada bukti. Tidak ada saksi. Hanya Tuhan saja yang tahu bagaimana kamu menarik hatiku hingga aku tidak memilikinya lagi.

Orang yang tak memiliki hati pasti dia bukan manusia lagi. Tapi entahlah. Setelah hatiku kau curi aku malah jadi lebih manusiawi.

Aku sedang membangun mimpi mengenai mengenai suatu negeri ketika kamu datang.

Kerajaan itu berada di sebuah lembah. Lembah yang sangat subur dan damai. Disana kamu bisa menemukan hutan pinus, sungai sejernih air mineral, padang berselimutkan bunga rumput berwarna kuning dan ilalang berbunga putih, ladang-ladang subur dan orang-orang yang ramah.

Di kerajaan itu aku adalah seorang puteri. Aku tinggal di kastil dengan puncak menara seperti siung bawang. Kalau kau menginap disana kau harus mengikatkan sehelai sapu tangan biru di pegangan pintumu agar kamu tidak kembali ke kamar yang salah.

Disana aku dihomati dan disayangi walaupun mungkn diluar sana au adalah nobody. Kurasa aku memiliki apa yang diinginkan para wanita. Kecantikan, kekayaan, harga diri dan benda-benda yang bisa disayangi atau dipakai tidak lebih dari sekali atau dimiliki sekedar untuk koleksi.

Tiap hari aku mengerjakan apa saja yang kusenangi: memetik bunga, menyulam, melukis, menulis surat, menari, menunggang kuda dan mendengarkan orang-orang bercanda.

Saat rambutku memanjang menjadi puluhan senti, saat aku mulai kehilangan apa yang disebut sebagai rona kekanakan di pipiku, saat lingkar dadaku mulai bertambah dari hari ke hari, aku mulai berkhayal tentang seorang pangeran yang menunggang kuda liar berwarna hitam bersurai panjang. Jubah kebesarannya berwarna hitam. Dia selalu membawa pedang yang bergagang batu garnet ungu tua. Rambutnya hitam seperti langit malam dan matanya pun hitam seperti buah zaitun yang masak. Kami bertemu di sebuah pertarungan melawan raksasa lalu kami jatuh cinta, menikah dan hidup bahagia selamanya.

Tapi aku lupa memikirkan bahwa perlu ada bagian buruk dalam sebuah cerita agar bisa disebut menarik. Lagipula tak ada orang yang bisa selalu datang pada saat dibutuhkan atau mengatakan sesuatu persis seperti yang ingin didengar atau memberi sesuatu yang diidamkan tanpa diberi petunjuk lebih dulu. Sementara aku ingin semua berlangsung tanpa perlu berkata. Tentu saja tidak ada orang seperti itu. Tapi mempertimbangkan sesuatu dengan otak adalah kelemahan seorang pemimpi. Sepertiku.

Pada saat kamu datang kukira mimpi telah jadi kenyataan tapi perlu banyak waktu bagiku untuk menyadari bahwa kau telah menghancurkan mimpiku.

Kamu datang persis seperti pangeran itu. Dengan mata buah zaitun dan jaket hitam seperti mafia. Entahlah tapi sepertinya kamu menyembunyikan sesuatu di balik bajumu. AK-47 semi otomatis atau mungkin Magnum 44.

Waktu itu aku sedang bermain di padang, merangkai tangkai demi tangkai bunga rumput menjadi mahkota. Sendirian saja. Sendirian membuatku lebih bisa berpikir jernih. Orang bilang wanita tidak bisa menggunakan otaknya dengan benar tapi aku sungguh-sungguh bisa berpikir.

Kamu muncul dari balik rumput ilalang. Melihatku. Menatapiku. Mendekatiku.

“Kamu siapa?” tanyaku.

“Seseorang.”

Lalu kekuatanmu membuat pita-pita yang terpasang di rambut dan gaunku berserakan kemana-mana.

“Kau berhutang budi padaku,” katamu, “karena hari ini aku membiarkanmu hidup. Akan kupastikan kau membayarnya nanti.”

Kamu mengambil mahkota bunga yang baru saja kubuat dan memasangnya di kepalamu seolah-olah kamu adalah raja lalu setelah itu kamu pergi.

Besoknya kamu menemui ayahku. “Aku ingin menikah dengan puteri anda,” katamu yang kudengar dari atas tangga.

Semula ayah menolak tapi kamu memaksa. “Anda akan menikahkan kami dengan sukarela atau dengan terpaksa?”

Malam setelah kamu menikahiku terjadi badai. Tangkai-tangkai bunga patah, rumput-rumput tercabut dan sungai meluap. Tapi paginya, saat jendela-jendela mulai dibuka, matahari bersinar keemasan dan semuanya memulihkan diri dengan sangat cepat menjadi seperti tidak terjadi apa-apa.

Tapi aku kan manusia. Tidak pernah bisa pulih dengan sendirinya.

Kamu membawaku ke kastil yang lain. Dua kali lebih megah. Dua kali lebih indah. Seratus kali lebih suram. Seratus kali lebih menakutkan.

Kamu membuat garis di lantai pada hari pertama aku datang lalu menyusun mutiara-mutiara air tawar di sepanjang garis itu.

“Ini adalah garis hidup. Hidupmu,” katamu. “Kau tidak punya hak untuk keluar karena keluar berarti mati. Mengerti?”

Tiap hari kau memeriksa garis itu dan ketika mendapati mutiara-mutiara itu bergeser atau hilang maka kamu pun berubah menjadi setan.

Kamu menganggap aku adalah milikmu padahal kamu tidak punya alasan untuk itu. Meskipun kamu menikahiku. Bahkan meskipun seandainya aku mencintaimu. Aku tak mengenal cinta. Aku hanya mengenal dirimu. Tapi cinta dan dirimu tentunya sangat berbeda.

Suatu kali aku melongok ke luar jendela. Nun jauh disana, di balik tembok kastil ada seseorang yang sedang memancing bersama seorang anak kecil. Kelihatannya mereka menganggap kegiatan itu sebagai suatu hal yang menyenangkan. Kadang mereka tertawa bersama, kadang berangkulan lalu ketika matahari hampir tenggelam mereka berjalan pulang sambil bergandengan tangan menyusuri tepian padang ilalang.

Aku memandangi mereka. Tersenyum. Mereka adalah pemandangan indah. Kemudian aku melukisnya. Menggambar helai demi helai rumput di dekat mereka, melukiskan setiap riak danau, mewujudkan bagaimana angin mempermainkan rambut mereka, berusaha membuat nyata sebuah keindahan.

Tiap kali melihat mereka aku tersenyum. Kadang juga tertawa. Kebahagiaan mereka begitu besar sampai tertular padaku.

Kusembunyikan lukisan itu di gudang. Hanya kadang-kadang kalau aku perlu tersenyum aku melihatnya.

Suatu ketika aku menemukan lukisan itu berceceran menjadi beberapa bagian dan kamu ada disana memagang sebuah pedang berkilau perak.

“Siapa itu yang kau coba sembunyikan di kegelapan hatimu?” tanyamu.

“Hanya seseorang yang berbahagia,” jawabku.

“Kebahagiaan adalah adonan roti. Kau tinggal mencetaknya di loyang lalu memanggangnya. Kau bisa menghiasnya dengan stroberi atau kiwi. Lalu selesai.”

“Terlalu banyak dicampur ragi sehingga menjadi asam.”

Lalu dengan hati terbakar-bakar kamu mengobrak-abrik semua barang. Mengacungkan pedang di depan hidungku.

“Apakah dia lebih berharga dari nyawamu?”

Kemudian setelah itu musim dingin datang dalam hidupku. Kamu yang membuatnya terasa seperti itu.

Aku berusaha melongok ke luar jendela. Berusaha menemukan pemandangan indah itu. Tapi tidak ada.

Kamu tertawa di belakangku. “Sekarang sel-selnya mungkin sedang menghidupi bunga-bunga teratai.”

Aku menangis. “Kenapa kau membenciku?”

“Karena kau tidak menyerahkan cintamu kepadaku.”

Lebih baik aku mati daripada harus mengatakan aku mencintaimu.

Dulu seseorang sepertimu pernah datang pada nenekku. Mereka bernyanyi di padang dan nenek membiarkan hatinya dicuri.

Nenek memujanya dan mereka sering berbagi matahari tenggelam di ujung padang. Lalu pria itu pergi dan tak pernah kembali. Orang-orang tutup mulut mengenai hal ini tapi aku tahu itu terjadi karena nenek membiarkan pria itu tahu kalau dia mencintainya. Sekarang hari-harinya berakhir seperti menanti matahari bertemu dengan rembulan.

Cinta adalah iblis yang membuat hatimu seperti sarang termit dengan permukaan yang tergerogoti dalam bentuk mengerikan.

Meski sedikit, bersamamu ada juga waktunya untuk tertawa.

Di suatu fajar yang buta, aku memanjat atap loteng yang curam. Kaki telanjangku terasa kaku oleh embun yang hampir mencapai titik beku. Aku merasa sangat senang kalau bisa meluncur dari ata sini. Kemudian tiba-tiba kamu muncul. Tampangmu mirip Vlad Dracul haus darah.

“Kemari kau!” teriakmu. Padahal kakiku telah membeku.

Dengan marah kamu menyambar tanganku. Katamu, “Kau tak punya hak untuk pergi. Meskipun mati kau tetap tak boleh beranjak dari sisiku.”

Lalu dalam pelukanmu aku bergulingan menuju tanah. fajar pertama pecah di langit dan dalam adegan slow motion itu aku melihat ekspresi yang berubah-ubah di matamu. Lucu. Aku tertawa. Beberapa waktu kemudian dan banyak waktu sesudahnya aku harus tetap berada di atas ranjang dengan pengawasan dokter. Banyak sekali rasa sakit tapi melihatmu aku ingin tertawa. Kamu mau mati bersamaku benar-benar adalah sebuah lawakan yang sangat lucu.

Suatu kali aku melihatmu datang. Dengan kemeja putih bernoda darah dari ujung pisau di tanganku.

Dengan darah itu aku bisa memberitahumu kalau aku mencintaimu. Darah adalah cairan dengan kepekatan sempurna untuk tinta. Tunggulah beberapa detik lalu tulisan itu akan seindah grafitti. Lagipula aku hanya bisa membuat kaligrafi dan bukannya simfoni. Kamu bukan maestro yang peka mendengar nada indah sedangkan aku ini tak bisa bicara. Tapi kamu letakkan pikiranmu dalam pikiranku dan kuusung hatimu dalam hatiku.

Hanya sayang sekali kalau kamu kemudian mati.

Saturday 8 March 2014

Aku, Djenar dan Taufan


Oleh Yuni Kristyaningsih

Aku bukan orang yang kuat. Gambarannya seperti ini: satu persen kekuatanku dikucilkan oleh sembilan puluh sembilan persen kelemahan. Makanya aku hancur setelah Taufan mengkhianatiku. Hancur. Seperti cokelat batangan yang leleh terkena hangatnya lidah, kerasnya email gigi dan asamnya hasil ekskresi kelenjar saliva.

Aku tak mampu mencintai seseorang selain diriku sendiri. Dan Taufan adalah bayangan yang selalu kulihat di cermin saat aku menghitung jumlah bulu mataku yang jatuh hari itu. Dia adalah diriku. Walau dia laki-laki dan aku perempuan. Aku mencintainya dengan satu dan lain cara. Walau aku tak bisa membuktikannya. Tidak dengan perbuatan dan ucapan bahkan tidak dengan pikiran. Tapi aku merasa konsep cintaku ada. Walau absurd. Walau utopis. Tapi ada.

Dia tak pernah mengatakan dia mencintaiku. Mungkin dia memang tidak mencintaiku. Tapi apa bedanya. Banyak orang yang mengaku mencintaiku tapi melakukan hal yang sama seperti mereka yang membenciku. Aku menganggap kata-kata adalah jebakan. Dan Taufan memakai kediaman seperti orang lain menggunakan kata-kata. Dia memang belajar bagaimana menyatakan sesuatu, memahami dan mencari tahu tapi pengakuan adalah kelemahan kami berdua.

Aku tidak bersahabat dengan manusia. Mereka aneh. Jika diharapkan berlaku manis seperti pangeran dan puteri dalam dongeng pengantar tidur, mereka menipu dan berbuat kejahatan. Tapi jika diduga seculas Machbeth-nya Shakespeare, ternyata mereka menyayang dalam kebaikan. Aneh sekali. Aku jadi pusing. Dan memilih sendirian. Tapi aku tak pernah kesepian. Karena alam menemaniku. Dan juga Taufan.

Aku pecinta kebebasan. Sedang Taufan sangat memujanya. Itu satu-satunya perbedaan kami. Tapi aku tidak menyadarinya. Karena apa? Sebab saat itu aku masih sangat muda.

Aku suka naik ke atap jika perjalanan ke alam khayaliku sudah sampai pada episode yang membosankan, atau saat bola mataku sudah terlalu keruh sehingga harus dicuci dengan air mata, atau saat sistem tubuhku dialiri banjir bah hormon endorphin.

Taufan ada disana juga (biasanya dia sampai setelah merambati pergola yang rimbun). Membentangkan tangan, menatap langit dan memenuhi paket alveoli dadanya dengan udara.

Dia mengulurkan tangan padaku. “Kemarilah, Pipit Mungilku.” Nada suaranya tidak jelas apakah permintaan, bujukan atau perintah. Aku tidak tahu. Dan juga tidak peduli. “Terbanglah bersamaku, Burung Kecilku. Mari kita hitung berapa jumlah gumpalan awan. Ayo kita lihat barangkali saja akan ada aurora atau gerhana. Ayo kita cari asal aroma wangi itu, apakah benar dari melati ataukah telah bercampur dengan gardenia. Ayo.”

Aku pun menyambut ulurannya. Lalu kami terbang berdua. Meniru sifat udara yang dengan kurang ajar memasuki semua celah tak berpenghuni.

Tapi saat itu aku masih sangat muda.

Suatu ketika aku melihatnya menyandang ransel. Dua koper, satu hitam dan satunya cokelat berdiri di dekat kakinya. Dan sopir taksi telah membuka pintu bagasi.

Aku heran. Dia tidak pernah terbang tanpaku.

“Aku pergi, Pipit Mungilku,” katanya. Sambil bercanda dia bercerita kalau dalam empat tahun ke depan (mungkin setengah tahun lebih awal atau lebih akhir) dia berkewajiban memenuhi lipatan-lipatan otaknya dengan deterjen pencuci bernama ilmu, membiasakan tangannya bekerja sana dengan imajinasi dan kecerdasannya untuk membuat sebentuk mesin baru yang rumit. Dan sebagai tanda terimanya adalah dua huruf, I dan r, di depan namanya.

“Jangan menangis.” Dia menunduk, menghisap air murni yang keluar dari mataku. “Aku ini badai. Aku bisa datang kapan saja. Di hari terik atau hari hujan. Di laut atau daratan. Aku tak terhalangi, Burung Kecilku. Sedang kau adalah titik tengah pusaran badaiku jadi jangan menangis.”

Aku tahu Taufan adalah angin ribut. Mula-mula bertiup sepoi-sepoi lalu menghantam dan menggulung. Dia sangat berbahaya bagi serangga dan tangkai bunga. Jika tidak hati-hati dia dapat dengan mudah menelannya dalam arusnya. Tapi ada juga yang suka menari dalam pusaran badai. Aku.

Tapi saat itu aku masih sangat muda. Dan belum mengenal cinta.

Begitu cinta berada dalam pelukanku badai jadi terasa sangat menyakitkan.

Saat umurku dua puluh tahun, ayahku menikahkan aku dengan Djenar. Pemuda dengan wajah dan perawakan mirip pangeran dalam cerita Sleeping Beauty yang musik pengiringnya selalu memenuhi kamarku tiap malam sejak aku masih kecil. Senyum dan sinr matanya menyenangkan hatiku. Tiap pagi dia mengucapkan good morrow dari sisi ranjangku dan membuatku merasa telah terbebas dari sihir. Dia menjadikan aku puteri walau aku bukan puteri.

Djenar menyuguhkan hidangan baru bagiku. Cinta. Cinta yang menghangatkan seperti selimut. Dia mengajariku mata pelajaran baru. Pelajaran menjadi perempuan. Yang rumit tapi menyenangkan. Dia memberiku rumah baru. Sangkar dari emas. Perkawinan. Yang pengap tapi membebaskan.

Aku bahagia.

Tapi Taufan tidak menyukai Djenar. Sang badai tidak mnyukai sangkar. Aku tak mengerti. Bukankah Djenar baik? Tapi Taufan tetap membencinya.

“Kau mengkhianatiku!” teriaknya. Sebuah sore yang indah. Matahari jingga berada di belakang punggungnya. Telapak kakinya meninggalkan jejak di antara tangkai bunga rumput berdaun lembut.

Ketika itu dia sendirian. Aku juga. Sedang Djenar, sang pemilik sangkar, tidak bersamaku. Badai datang dan aku tanpa sangkarku? Tenang. Bukankah aku ini burung? Aku bisa terbang menghindar.

“Aku tidak melakukan apa-apa,” kataku.

“Kau biarkan lelaki itu mengurungmu padahal kau adalah burung kecilku.”

“Tetapi dia suamiku.”

Kulihat bara api pecah di matanya. “Hanya aku yang boleh memilikimu. Badai. Aku.”

“Tetapi aku miliknya.”

Kudengar dia mengerang. Lalu tiba-tiba dia berubah menjadi tornado. Badaiku menjadi badai. Dia menggulung dan menghisap. Dan aku tepat berada di titik tengahnya. Biasanya aku menari disana tapi sekarang aku tidak suka. Jadi aku terbang menghindar. Tampak seluruhnya menyatu dengan badai untuk membinasakan aku. Tapi aku adalah pejuang sejati, jadi aku terbang, terbang dan terbang. Namun aku terlambat menyadari bahwa badai kali ini berbeda. Dia lebih kuat, lebih jahat dan lebih menghancurkan. Dia melingkupi duniaku sampai aku menjadi sesak, tulang-tulangku remuk dan akhirnya aku lumat menjadi serpihan sel-sel yang tercecer.

Ketika matahari tenggelam, saat dia menjadikan bajunya sebagai buluku dan kedua lengannya sebagai sayapku, kesadaran meninggalkan aku. Aku kehilangan seluruh kekuatan dan kemampuan untuk merasa. Aku adalah burung kecil yang telah terpatahkan sayapnya, tercabuti bulunya dan terbelit arus badai.

Aku terbangun di ranjang sang badai. Berharap semuanya hanya ilusi tapi di atas bantal aku menemukan bulu-buluku yang terburai. Rasa itu kembali menyerang seperti hantu.

Susah payah aku bangun dan mencari-cari pisau. Untuk mengiris nadiku sebagai hukuman bagi sang badai.