Monday 18 June 2007

NAUSEA


Oleh Yuni Kristianingsih

Sesungguhnya aku tidak heran dengan apa yang menimpaku kini. Orang memang akan menerima kembali apa yang dia lontarkan pada kehidupan. Aku mengetahui apa yang kulakukan -tentu saja juga menyadari dan menikmatinya- jadi aku pun tahu apa konsekuensi logis dari hal itu. Aku tidak menyebut ini kemalangan. Kebodohan juga tidak. Cuma mengherankan kenapa di dunia ini hitungan matematis bisa menyimpan ketidakteraturan dalam komposisi yang wajar tanpa berubah menjadi keributan.


Aku adalah jenis orang yang dalam menghadapi apapun, setiap kali, selalu sepenuh hati. Maksudku, suatu hal bisa membuatku bahagia sebahagia-bahagianya ataupun begitu sengsara hingga membuatku menangis tersedu-sedu. Aku tidak malu mengakui kalau aku punya perasaan, sebagaimana aku juga tidak malu memperlihatkannya. Bukankah kita memang tidak perlu merasa malu mengakui apapun yang sedang kita rasakan?

Saat mengandung aku, ibuku mengurung diri di mihrab. Sembahyang, puasa dan menjauhi manusia. Menurutnya dunia ini sudah benar-benar gila maka dia berdoa dengan sungguh-sungguh agar aku tidak tercampuri kegilaan itu. Ibuku tdk melahirkan manusia istimewa seperti Isa, dia pun tidak sesuci dan sesabar Maryam binti Imran, dia cuma melahirkan aku. Manusia biasa yang cuma tidak bisa berpura-pura.

Beberapa tahun yang lalu aku mengenal seorang pria. Seperti biasanya aku tdk menyembunyikan apapun darinya. Pikiranku, khayalanku bahkan juga ketololanku. Kukatakan padanya bahwa setelah bertemu dengannya setiap hari terlihat lebih cerah dibanding sebelumnya. Dia pun berpikiran sama. Begitulah. Kadang cuma perlu alasan sederhana agar dua manusia bisa bersama.

Pria itu jatuh cinta pada senja. Kupikir begitu berdasar kenyataan bahwa tiap kali mengajakku berkuda ke lembah dia selalu memakai kalimat ajakan yang sama: "Ayo melihat matahari terbenam bersamaku."

Di lembah itu, di antara bunga-bunga rumput dan perdu-perdu rendah, dia duduk memandangi matahari. Saat langit mulai merona jingga dia menjadi begitu sentimentil dan romantis. Dibacakannya berpuluh-puluh puisi untukku. Ketika matahari telah berwarna sangat jingga di berubah menjadi binatang liar yang mengunyah dan memamah aku menjadi cacahan kecil yang sulit ditata lagi menjadi persis seperti sebelumnya.

"Kau seperti binatang," kataku pada suatu senja ketika perilaku purbanya menyebabkan aku harus memunguti biji-biji kancing di antara rerumputan.

"Memang ada binatang purba hidup dalam jiwaku," jawabnya. "Tetapi hanya padamu aku mengijinkan dan membiarkan diriku menjadi binatang."

"Kenapa?"

"Karena kupikir memang sebaiknya begitu."

"Begitu bagaimana?"

"Aku suka memperlihatkan segala-galanya tentang diriku kepadamu."

"Kenapa?"

"Karena kupikir kau akan suka jika aku begitu," jawabnya. "Sukakah kau jika aku begitu?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Karena aku lebih suka mencari-cari sendiri segala-galanya tentang dirimu, di dalam dirimu dan diriku."

"Kalau begitu carilah."

Itu adalah pencarian tanpa akhir. Teka teki yang tidak selalu bisa kami temukan jawabannya. Dan karena itulah kenapa ketidaktahuan kadang disebut indah.

Pria itu jatuh cinta pada eksistensi. Kemengadaan. Penting baginya untuk benar-benar berada pada sesuatu. Dia menganggap orang yang tidak melakukan apa-apa lebih memalukan daripada membunuh diri sendiri. Menurutnya eksistensialisme adalah penemuan besar seperti halnya teori relativitas-nya Einstein. Dia pun sering menyitir kata-kata Epicurus: kematian bukanlah apa-apa bagi tenggang rasa kita, karena sesuatu hal yang terhapus tidak mampu merasa dan sesuatu hal yang tidak merasa bukanlah apa-apa bagi kita.(1)

Jika eksistensi adalah istri sahnya maka yang menjadi kekasih gelapnya adalah absurditas. Dia tergila-gila pada ide bahwa seseorang bebas menyimpan segala macam sampah, bahkan juga penyakit lepra(2), di dalam imajinasinya. Meskipun kelihatan selalu bisa mengendalikan dirinya dengan baik tapi aku yakin jika hati dan otaknya dibelah maka akan terlihat dua bagian tubuhnya itu penuh berisi perempuan. Dengan kesadaran lembut aku tahu aku adalah penyakit lepranya. Dia tidak pernah menggandeng tanganku di muka umum pastilah karena takut menulari orang-orang. Hal itu dapat kumaklumi dan tidaklah terlalu menggusarkan hatiku karena aku tahu dia adalah penggemar salah satu syair Sophocles(3). Aku tidak pernah membayangkan hal-hal erotik berkaitan dengan fisiknya tetapi kalau tubuhnya terbuat dari cokelat kurasa dia cukup enak untuk dimakan.

Pria itu jatuh cinta pada senja. Berpuluh-puluh lukisannya hanya berisi langit berwarna jingga dan siluet seseorang yg sedang duduk. Tdk jelas sesesorang itu laki-laki atau wanita karena yg terlihat hanya punggungnya. Rambutnya memang panjang tapi tidak ada korelasi yang jelas antara panjangnya rambut dengan jenis kelamin seseorang. Menurutku itu lukisan dirinya sendiri. Dia seorang yang sangat narsis walaupun tidak mengatakannya secara terang-terangan.

Tubuhnya selalu menebarkan aroma hutan pinus. Aroma dirinya yang tertinggal di bantalku sering membuatku bermimpi menjadi peri hutan yang terbang kesana kemari bersama kabut.

Dalam dunia nyata aku bukan peri dan aku tidak bisa terbang jadi aku menganggap hal itu sangat menarik.

Hanya saja belakangan ini, saat musim penghujan tiba, dimana senja berubah warna menjadi kelabu dan rerumputan menjadi lembab oleh hujan, jika aku memejamkan mata aku merasa mendengar suara gemuruh ombak. Ranjangku sering berubah menjadi pasir dan aku bermimpi menjadi puteri duyung yang berenang di sela-sela terumbu karang. Seperti kanak-kanak yang damai.

"Apa yang sedang terjadi?" tanyanya begitu dia mengira aku sudah tidak waras. Dia adalah orang yang tidak tahan terhadap perubahan yang tidak dapat dia duga sebelumnya dan nyaris menganggap hal itu sebagai kegilaan.

"Kau bertanya mengenai apa?"

"Dirimu."

"Tidak terjadi apa-apa denganku."

"Kenapa kau tidak lagi suka melihat matahari terbenam bersamaku?"

"Karena sekarang hujan."

"Tapi matahari tetap terbenam pada saatnya."

"Tapi kita tak bisa melihatnya. Lalu untuk apa pergi melihatnya?"

"Biasanya kau senang melihatnya."

"Aku masih senang melihatnya. Cuma tidak bisa melihatnya."

Dia mengetuk-ngetukkan jari-jari tangannya di paha. "Padahal tidak bisa melihatnya tetapi kau tidak terlihat sedang merasa rindu untuk dapat melihatnya lagi," katanya seperti mengeluh.


"Kau ingin aku membawamu kemana?"

"Laut."

Matanya terbuka sangat lebar, seolah-olah dia yakin bahwa aku sudah gila. "Kita tinggal di pegunungan. Tidak ada laut di gunung. Dan bukankah kau tahu aku benci laut?"

"Aku cuma ingin pergi ke laut."

"Dan aku cuma benci laut."

Aku ingin mengendarai lumba-lumba dan merasakan kepekatan air garam di rambutku. Aku ingin berenang di hutan ganggang, mencari kerang dan udang lalu membakarnya untuk makan siang. Tetapi keinginan yang sedang berusaha menjelmakan wujudnya adalah keindahan dalam satu batas tertentu dan belenggu pada batas berikutnya. Sublimasi atas toleransi bagi kesadaran akan keberadaan orang lain dalam penanda batas-batas itu membuat aku merasa imbesil disebabkan tidak pernah tega untuk sekedar berpura-pura.

"Apakah kau ingin pulang?"

Ayah dan ibuku mencintaiku tapi mereka tidak mencintai siapa yang aku cintai. Cinta adalah satu bentuk kegilaan dunia dan mereka menganggap pria itu, kekasihku, memiliki banyak kegilaan. Pada hari setelah dia menikahkan aku dengan kekasihku, ayahku berkata, "Walau kau dengar aku mati kau tidak perlu datang menyaksikan pemakamanku."

Sejak hari itu aku tahu aku tak punya lagi tempat untuk pulang. Kekasihku meyakinkanku bahwa dia dapat menjadi rumah bagiku. Cinta memang dapat mengobati luka tapi perlu lebih dari sekedar cinta untuk dapat memulihkan bekas luka menjadi seperti semula.

Dan laut itulah dulu rumahku.

Dan laut itulah apa yg dibenci kekasihku.

Dan kepada laut itulah aku ingin pulang.

"Tidakkah kau juga ingin pulang?"

"Rumahku adalah kamu,"jawabnya.

"Setiap orang pasti punya hal yang dirindukan. Dan itu tidaklah mengapa."

Semula aku tidak tahu bahwa cinta bisa juga berarti pengasingan. Karena cinta kami telah begitu melebar, menutupi seluruh langit dan bumi kami, cinta kami pun menjungkalkan orang-orang di luar kami dalam keterasingan. Semua orang, termasuk orang tuaku, juga isteri dan anak-anaknya. Agar mereka tidak kesakitan maka kami harus mengecilkan dunia kami, menjadi begitu kecil hingga menjadi seperti tidak ada. Tapi tidak adanya kami bagi mereka bukan berarti tidak apa-apa bagi kami. Karena kami ingin ada.

"Kita sudah sangat bahagia disini."

Kami dapatkan cinta ini secara cuma-cuma, dari laut yang bergolak pada suatu tengah malam buta ketika kami masing-masing berharap pantai dan ombak dapat menidurkan mata dan hati kami yang insomnia. Tetapi sesuatu yang gratis itu pasti suatu hari harus melunasinya(4).

Sekarang sudah waktunya matahari terbenam tetapi awan-awan menyembunyikannya dlm kemuraman. Benar-benar sangat muram seakan-akan ada banyak orang yang sedang menangis di luar sana.

"Apa kau tidak bahagia?" Dia membentangkan tangannya. "Kemarilah." Kuhampiri dia. Dia memelukku dan mendudukkan aku di pangkuannya "Beritahu aku apa yang sedang kau pikirkan."

Aku membaui aroma cemara dari tubuhnya dan itu membuatku gelisah karena tidak lagi bisa kubayangkan suasana rimba sebagaimana biasanya. "Apa yang harus kulakukan?

"Apa?"

"Jika aku ternyata juga dikunjungi oleh perubahan sebagaimana semua hal di dunia ini, apa yang harus kulakukan?"

"Kau selalu mengkhawatirkan hal-hal yang aneh."

"Itu tidak dapat kucegah. "Bersamanya seperti sedang bermimpi. Kalau terbangun semuanya akan hilang dan yang tertinggal hanyalah rasa pedih yang sangat menyakitkan. Selama ini aku selalu berdoa agar terus tertidur sampai semua ini berakhir.

"Biarkan saja. Tidak perlu melakukan apa-apa," jawabnya."Apalagi yang bisa kita perbuat terhadap perubahan kecuali menerimanya?"

"Dengan begitu apakah tidak akan apa-apa?"

"Mungkin akan terjadi sesuatu tapi mungkin juga tidak akan terjadi apa-apa. Tapi di antara kita kurasa tidak akan apa-apa."

Kudekatkan telingaku ke tempat jantungnya berdetak. "Aku selalu mendengar suara ombak."

"Apa?"

"Kupikir aku mungkin sedang lelah. Aku mendengar apa yang pada kenyataannya tidak terdengar."

Dia terdiam. Bahkan hingga langit telah menjadi sangat gelap.

Inilah rasa sakit itu. Saat aku menjadi sangat sibuk menimbang apakah aku telah cukup membayar untuk semua yang kudapatkan. Saat aku berusaha agar terdapat sisa nol dan bukan hutang. Rasa sakit ini memuakkanku. Sebagaimana kesadaranku bahwa cinta bukanlah semacam 'kebaikan budi yg akan terus dibawa sampai mati', aku juga sadar bahwa pria ini, kekasihku, adalah apa yang tidak akan bisa kubayar.

"Kau boleh benar-banar mendengarnya." Dia berkata setelah terdiam sangat lama.

"Apa?"

"Tetapi selamanya kau adalah rumah bagiku."

Aku memeluknya dan menangis sepanjang malam.

Lalu disinilah aku pada akhirnya. Ke laut. Pulang.

Hidup ini mungkin hanyalah serangkaian peristiwa yang mempengaruhi kita seperti obat penenang. Kita bisa memilih untuk menjadi tenang atau bertahan untuk tetap tersadar. Tetapi kita tidak pernah bisa memilih untuk tidak menelannya. Kita selalu harus menelannya sekalipun itu membuat organ digesti kita merasakan mual yang memuakkan. Sebab dalam kemuakkan itulah terdapat semua hal yang menandakan bahwa kita ini ada.

Catatan:
1.Dikutip dari buku L'Homme Revolte karya Albert Camus
2.Dikutip dari kata-kata "menyimpan penyakit lepra di dalam jiwanya" dalam novel Olenka karya Budi Darma
3.Syair yang dimaksud adalah "Ada banyak keindahan di dunia ini, tapi tidak ada yang seindah manusia"
4.Dikutip dari komik berjudul Lineage jilid 2 karya Shin Il Sook