Friday 10 April 2009

PULANG



“Akhirnya kau pulang.”
“Ya.”
“Apa kau baik-baik saja?”
“Ya, aku baik-baik saja, terima kasih.”
“Kau tidak lupa untuk apa kau datang kan?”
“Tentu saja tidak.”
“Syukurlah kalau begitu.”
“Ya, itu pantas untuk disyukuri.”
Mungkin memang suatu yang pantas disyukur. The Royal Princess sudah datang. Dengan begitu beberapa orang bisa lega karena terbebas dari kewajiban. Beberapa orang yang lain boleh kembali bersikap sebagai pelindung yang sok tahu. Bahkan beberapa orang juga boleh mempersiapkan penjagalan. Kambing hitam telah siap, berjalan sendiri ke altar upacara persembahan, korban yang patuh. Bukankah itu suatu yang pantas disyukuri?
Sore riuh oleh ucapan-ucapan selamat datang dan malam gemerlap oleh pesta penyambutan dan cahaya bulan. Tidak saja karena aku telah pulang tetapi juga karena hari ini aku berumur dua puluh dua tahun. Dulu kukira di umur itu dunia dan aku akan menjadi sangat berbeda sehingga dengan berani kupilih hari itu untuk memulai kehidupan dalam tanggung jawab kedewasaan. Sekarang aku tahu seharusnya aku menetapkan waktu yang jauh lebih lama. Akan tetapi aku mendapati diriku sebagai seseorang yang selalu menerima tantangan bahkan meskipun terhadap ketidaktahuan.
Ini adalah sebuah negeri yang indah. Tempat dimana kau bisa menemukan obyek lukisan yang spektakuler: padi yang pucuk-pucuk daunnya kelihatan renyah seperti sayuran untuk salad, sungai yang meliuk seperti barisan renda di gaun pengantin, hutan pinus yang harumnya disintesis menjadi wangi yang tertinggal di tubuh pria sehabis mandi, padang rumput yang membentuk ombak berlapis-lapis pada musim kemarau yang berangin atau pemandangan senja yang serupa latar belakang film Gone With The Wind.
Van Gogh mungkin akan menyenangi tempat ini tapi jangan berpikir untuk tinggal kecuali memang ingin benar-benar memotong telinga atau tinggal di rumah sakit jiwa.
Semua yang tinggal disini adalah penodaan bagi keindahan ciptaan Tuhan. Semua adalah sampah. Sesuatu yang sudah kehilangan kegunaan luhurnya. Sesuatu yang merusak pemandangan. Hanya saja sampah disini tidak tahu bahwa diri mereka adalah sampah. Mereka terus saja menganggap dirinya berharga. Berkeliaran membiarkan dirinya menjadi makanan bagi kebusukan. Itulah mengapa pabrik daur ulang tidak mungkin didirikan disini.
Ini adalah suatu daerah dimana orang menjadi sangat perhatian kepada orang lain hingga kisah-kisah paling pribadi pun beredar tidak hanya di balik pintu-pintu tertutup melainkan sudah menjadi bahan pembicaraan umum di pasar-pasar seperti halnya harga bahan makanan.
Ini adalah suatu daerah dimana orang-orangnya begitu tulus hingga setiap kebaikan yang tidak mampu dibalas akan mendapat imbalan berupa keburukan, gratis tanpa tambahan biaya.
Ini adalah suatu daerah dimana orang-orangnya begitu terhormat hingga tidak ada keseganan untuk berlaku curang, termasuk untuk menggauli isteri tetangga.
Ini adalah suatu daerah dimana orang-orangnya begitu penuh kasih sayang hingga tiap kali ada yang tertimpa kemalangan akan tergopoh-gopoh mengucapkan kalimat keprihatinan kemudian di belakangnya tergopoh-gopoh pula menertawainya.
Ini adalah suatu daerah dimana cinta masuk dalam kategori investasi dan diperhitungkan secara matematis sejauh mana itu bisa menguntungkan di masa mendatang.
Di jaman purba tempat ini indah setiap sel-selnya lalu datanglah pembaharu yang menetapkan bahwa keindahan cukup berada di kulit luar saja. Sang reformis itu bernama uang.
Sayangnya, benar-benar sangat disayangkan, di salah satu sudut tanah ini tersimpan ari-ariku. Sayangnya salah satu sungainya pernah menghanyutkan potongan pertama rambutku. Sayangnya orang-orang itu menempati pohon keturunan dimana aku juga menempati salah satu cabangnya. Sayangnya jika aku mati nanti orang-orang itu akan mengklaim bahwa jasadku harus ditanam di tempat ini.
***
Pohon itu masih menempati tempat dimana pertama kali dia tumbuh. Pohon itu masih memiliki salah satu dahan tempat aku bisa duduk memandangi pelangi mencium danau di musim penghujan. Dan bunga aneka warna berselang seling di antara semak belukar. Kecantikan yang bisa dipetik tanpa ijin dan juga tidak perlu meninggalkan sejumlah uang setelahnya. Ketulusan alam yang seharusnya membuat orang malu bertingkah selayaknya binatang purba.
“Disini kau rupanya.” Kudengar suara itu. Raksasa yang hanya pantas berbuat dosa lalu dikalahkan dan kepalanya disimpan sebagai souvenir kejayaan. “Bisakah kau turun supaya kita bisa bicara?”
“Aku tidak boleh bicara denganmu,” jawabku.
“Kau turun atau aku yang naik?”
“Pergilah.”
Tapi dia merayap naik seperti ular sanca. Sampai di dekatku aku mencium tubuhnya menebarkan aroma kebinatangan. “Hari ini tidak akan ada pelangi,” katanya. “Beberapa hari lalu sudah muncul. Pelangi tidak muncul setiap hari.”
Pelangi tidak seharusnya dibicarakan dengan raut muka seperti itu. Dia hanya cocok bicara tentang peperangan atau tipu daya atau uang. Itu kata-kata dengan konotasi serupa.
Orang pasti berpikir salah satu alasanku datang adalah karena orang ini. Demi sesuatu yang dinisbahkan kepada cinta dan alasan sisanya adalah hal-hal lain yang serupa dengan itu. Memang akan selalu ada alasan atas segala sesuatu tapi kurasa alasanku sama sekali tidak ada hubungannya dengan orang ini. Namun itu bukanlah hal yang perlu diterangkan agar orang mengerti.
“Aku sedang disini waktu kau datang. Gaun merahmu itu seperti ajakan untuk berkelahi.” Dia terkikik. Seperti tokoh antagonis dalam film. “Waktu itu aku benar-benar ingin memenuhi tantanganmu. Tapi semua orang mengawasiku seakan-akan aku ini binatang pemangsa. Harusnya mereka bersyukur bahwa kau bukan rusa kecil berbintik-bintik.”
Namun aku yakin dia sendiri berpikir atau bahkan merasa yakin kalau aku memang rusa kecil berbintik-bintik yang jika dimasak dengan cara tertentu akan menghasilkan daging yang manis dan selembut beludru.
Aku adalah keturunan terakhir sebuah keluarga yang telah berkuasa di daerah ini sejak generasi paling tua yang mampu kami telusuri silsilahnya. Mereka, keluargaku, merasa aku seharusnya merasa bangga dan membalas kebaikan itu dengan membagi semua kegembiraan pada mereka dan menahan semua kesedihan untuk diriku sendiri.
Sekarang aku merindukan kesadaran itu, bahwa aku hanya makhluk yang berdaging, berdarah, bertulang, bernyawa dan berhati, bahwa memiliki naluri primitif itu: beristirahat dan menangis.
Namun garis darahku tak bisa begitu saja ditanggalkan. Bagaimana pun aku harus tetap berdiri di atas kehormatan dan martabat. Aku diharuskan sangat benci menangis dan tidak mungkin beristirahat. Seperti seorang ratu, aku harus selalu terjaga agar seseorang tidak bisa menyelinap ke dalam benteng dan merusak negeriku.
Sekarang aku harus memenuhi kewajiban terakhir seorang ratu yaitu menikah dengan seorng pangeran tampan dan hidup bahagia selamanya. Entah kenapa orang selalu menganggap dongeng itu indah dan bercita-cita untuk hidup sebagaimana kehidupan dalam dunia dongeng tetapi lupa menyadari bahwa dunia semacam itu tidak ada. Mungkin karena pada dasarnya manusia itu pemalas dan suka memimpikan hal-hal yang irrasional.
Aku tidak mengerti kenapa setelah semua yang kulalui aku harus kembali ke titik awal, bahwa wanita pada akhirnya harus menjadi persembahan bagi kemegahan citra seorang pria. Sementara nilainya hanya dianggap sebanding dengan kepastian bahwa tidak perlu ada yang harus kesulitan mempertahankan kepemilikan tanah pertanian, kepastian bahwa garis keturunan ini akan terus berlanjut dan sistem yang telah ada tetap berdiri kokoh dalam kepemimpinan keturunan ras murni. Di tempat ini semua berpikir kalau ada wanita yang harus melacurkan diri maka pilihannya adalah ratu. Karena ratu hidup untuk negara dan semua yang untuk negara adalah tidak apa-apa.
“Kenapa kau tidak bicara?”
“Aku sedang dipingit. Aku tidak boleh bicara denganmu.”
Dia terbahak-bahak. Saat suara tawanya mereda dia bertanya, “Benarkah kau ingin menikah denganku?”
“Aku harus menikah denganmu besok.”
“Aku tidak bertanya apa pendapatmu tentang pernikahan itu tapi aku bertanya apa pendapatmu tentang aku.”
“Aku tidak tahu kenapa kau tertarik dengan hal itu.”
“Karena memang sangat menarik.”
“Kudengar kau tidak pernah mendengarkan pendapat kecuali pendapatmu sendiri.”
“Itu karena pendapatku yang terbaik,” jawabnya tanpa merasa malu.
“Tak ada hal baik yang bisa kukatakan tentang dirimu. Tapi jangan khawatir. Setelah kau menikahiku aku tidak akan merepotkan diri dengan hal itu.”
Dia tertawa. “Aku akan senang menganggapmu sebagai hadiah. Tapi kau pasti tidak sudi dianggap begitu. Jadi aku agak curiga jika tiba-tiba kau menyerahkan diri begitu saja.”
“Kenapa kau tidak seperti orang lain saja? Orang-orang itu berpikir aku begitu karena telah jatuh cinta padamu.”
“Menganggap itu satu hal dan mengetahui adalah hal yang lain. Tentangmu aku ingin mengetahui bukan menganggap.”
Aku merasa heran. “Apa yang tidak kau ketahui tentang diriku? Aku tahu kau memakai uangmu untuk menjaga aku. Sejak empat tahun lalu ketika aku pergi untuk belajar aku tahu selalu ada orang-oarang yang kau suruh berkeliaran di sekelilingku. Aku benar-benar heran kalau masih ada yang terlewatkan darimu.”
“Apakah ini suatu bentuk protes?”
“Tidak. Aku sudah terbiasa dimata-matai seumur hidupku.”
“Aku begitu karena ingin tahu tentang dirimu. Dari dulu kau selalu menyembunyikan dirimu di dalam kotak prisma buatanmu sendiri. Apa yang terlihat oleh orang lain hanyalah cahaya menyilaukan dan bukannya dirimu.”
“Setiap hati adalah kastil, dengan kamar-kamar, jendela-jendela, menara-menara dan ruang rahasia. Tamu semestinya merasa cukup tahu diri untuk tinggal di kamar saja dan melihat sebatas yang memang diperbolehkan untuk dilihat. Jika mendapati cahaya yang terlalu menyilaukan sebaiknya palingkan saja pandanganmu.”
“Tempat untuk apakah ruang rahasia itu?”
“Tempat yang bisa dikunjungi tanpa perlu mengajak siapapun.”
“Kenapa?”
“Meski semuanya hancur tapi aku harus selamat, bukan?”
“Siapakah musuhmu?”
“Aku juga menanyakan itu. Siapakah musuhku?”
Pria itu tertawa. Dia selalu banyak tertawa. Suatu ketika dia pernah berkata kalau aku selalu bisa membuatnya tertawa padahal kupikir aku selalu membuat orang jadi banyak menangis. Pria itu pasti tidak waras.
“Tak kusangka,” katanya, “ada orang yang masih bisa dibodohi oleh dongeng bahwa saat ini masih ada seorang pahlawan di dunia. Mengagumkan!” Tawanya membuat dahan bergoyang dengan irama yang sangat jelek. “Menurutku kau masih terlihat sangat manusiawi, Sayangku, bahkan untuk bersikap seperti pahlawan. Tanpa bermaksud menyuruhmu menghapus kesombongan dari dirimu –demi Tuhan, kau menjadi sangat menarik dengan semua keangkuhanmu itu- harus kukakatakan –dan maafkan aku- bahwa matahari itu masih akan tetap bersinar, bunga-bunga masih bisa mekar dan manusia masih bisa beranak-pinak tanpa, sekali lagi tanpa, well…dirimu.”
“Tentu saja. Kenapa kau harus mengatakan itu?”
“Kau bertanya kenapa?”
“Ya.”
“Karena aku berharap melihatmu memakai gaun merahmu, berdiri di depan semua orang dan berkata, “Persetan dengan kalian semua!” Saat itu aku akan memberimu tepuk tangan paling keras dan ucapan selamat.”
Aku memandangi rerumputan dan sesemakan. Keliaran sungguh memegahkan keindahan. Namun ada saatnya manusia kehilangan sisi manusiawinya ketika dia menghapus citra kealamiahannya dan membangun keserasian palsu antara dirinya dengan jagad. Itukah yang sedang kulakukan sekarang?
Pria itu meniupkan aura keganjilan ke bibirku. “Akan kutukar kasih sayangmu dengan diriku. Kuburkanlah jasadku di bawah jendela kamarmu. Sel-selku akan menyehatkan bunga-bunga mawar yang kau tanam. Dan ketika kau membuka mata di saat fajar maka semerbaknya akan mengasapimu dan mengundang burung parkit biru untuk menyanyikan suara biola bagimu.”
Pria menjerat wanita dengan kekuatan fisiknya dan kata-kata manisnya. Tapi dia bukan pengecualian. Dia produk tempat ini! “Pergilah. Jangan ganggu aku.”
“Memijaklah segera. Kau tidak selamanya menjadi buluh biji rumput yang tertiup angin.”
Tahukah pria ini bahwa cinta adalah cacat bagi neraka ini? Bagaimana pun dia tidak akan bisa berpikir selain bahwa aku adalah pate de foie gras yang bisa dia santap hanya dengan menggesekkan kartu kreditnya. Pria memang lahir dengan banyak ide gila.
“Kalau aku adalah aku mengganggu kedamaian hatimu maka pikirkanlah bahwa aku bukanlah aku.”
Sore meriah oleh suara serangga yang menggumam-gumam. Pria itu menyusuri pokok pohon lalu memijak tanah. Hatiku resah ketika sore dihiasi suara pria yang berteriak-teriak di padang, “Aku ada untuk memilikimu!”

Catatan:
Cerpen ini dimuat dalam Jurnal Cerpen Indonesia edisi 10