Thursday 27 May 2010

KELOPAK BUNGA LOTUS YANG TERTIUP ANGIN



Oleh Yuni Kristyaningsih Pramudhaningrat

Aku mendapatkan suratnya pagi itu, ah bukan, agak siang sedikit. Jam biologisku memulai perputarannya bukan pada jam enam, seperti umumnya para dosen yang berdedikasi, tapi pada jam sembilan. Aku tidak menyebut diriku tidak berdedikasi, aku lumayan berdedikasi kupikir, tapi itu masalah kepraktisan saja. Aku mengajar pada jam-jam siang, sebelum waktu makan siang dan sesudahnya. Tak ada yang bisa kulakukan di kampus pada pagi hari, kecuali membaca koran atau kegiatan yang agak ilmiah sedikit seperti melakukan klasifikasi terhadap serangga-serangga kecil yang ada di taman atau yang kulakukan belakangan ini, membuat program komputer untuk mengestimasi struktur molekul tiga dimensi protein. Tapi sekarang ini musim penghujan dan aku bisa mengerjakan program itu di rumah. Menikmati pagi sambil minum teh Darjeeling yang wangi dan makan nasi goreng ikan asin buatan istriku yang manis itu tentunya lebih menyenangkan daripada berkeliaran di taman dengan ujung celana basah karena embun. Kupikir aku benar-benar tak punya alasan untuk datang ke kampus pagi-pagi sekali.

Suratnya berada di antara undangan-undangan untuk rapat perencanaan penelitian bersama yang didanai sebuah foundation internasional, seminar tentang biologi sel dan acara haul pondok pesantren tempatku belajar dulu dan buku Ecology of Tropical Forest yang beberapa minggu lalu dipinjam oleh salah satu mahasiswaku. Aku tidak yakin kapan aku menerima surat itu. Loker itu terletak di gedung jurusan sementara kantorku di gedung fakultas yang terpisah oleh taman dan beberapa bangunan. Aku hanya menengoknya kalau aku kebetulan mampir kesana. Dan itu tidak setiap hari.

Sampul suratnya bergambar lukisan pohon poplar di musim gugur. Pohon-pohon itu terlihat menonjol karena warna biru, emas dan merah muda yang digunakan untuk menggambarkannya terlihat kontras dengan hutan dan langit di belakangnya yang dilukis dengan warna pucat. Lukisan itu dibuat dengan goresan kecil-kecil dan garis warna yang berbeda-beda secara berdekatan satu sama lain sehingga lukisan itu pada akhirnya kelihatan bertekstur.

Nama dan alamatku ditulis dengan tinta, aku sangat yakin dia menulis menggunakan pena, bukan ballpoint. Huruf-hurufnya ditulis dengan gaya tulisan yang kelihatannya hanya dimiliki oleh seorang yang sudah tua, tegak bersambung seperti cara menulis di pelajaran menulis halus di sekolah dasar, padahal umurnya hanya beberapa bulan lebih tua dariku sedangkan aku saja belum berumur tiga puluh. Dia memang seorang yang menyukai hal-hal klasik. Lagu, film bahkan peradaban pada masa lalu sangat menarik perhatiannya. Kalau saja tidak akan membuat kesal tukang pos aku yakin dia pasti akan menulis alamat suratnya dengan aksara Jawa. Dia menguasainya seperti menguasai abc.

Aku mengajar Biologi Dasar hari ini. Ada tiga kelas yang harus kuajar minggu ini dengan topik yang sama. Benar-benar sangat membosankan. Tapi aku pergi juga karena aku membutuhkannya untuk menenangkan diri. Membaca suratnya selalu seperti melihat film atau membaca buku, selalu melemparkanmu ke dalam sesuatu dimana kau tidak ingin terlempar dalam keadaan sadar ke dalamnya.

H-ku tersayang, demikian dia memulai suratnya. Dia masih saja menyebutku Heathcliff. Aku pernah memprotes, bahwa aku sama sekali tidak mirip Heathcliff yang tolol, menyebalkan dan kejam itu. Kukatakan aku tak mau mati demi cinta. Kalaupun aku mati demi sesuatu maka sesuatu itu adalah hal yang sepenuhnya hanya menjadi urusanku sendiri saja. Aku ingat waktu itu dia menghilang begitu saja dari Yahoo Messenger dan tidak muncul-muncul lagi selama beberapa minggu. Sampai sekarang dia tidak pernah menjelaskan kenapa dia begitu marah ketika itu.

Kau mungkin akan menyebutku cengeng tapi akhir-akhir ini hujan membuatku khawatir. Bukan karena aku takut rumah ini akan roboh, angin memang cukup kencang akhir-akhir ini, rumah ini bagaimana pun telah melindungi keluargaku sejak seorang nenek moyangku memberontak melawan saudara tirinya yang bekerja sama dengan Belanda yang membuatnya harus menyingkir sampai ke daerah ini dan membangun kediaman baru yang menyerupai tempatnya dibesarkan. Rumah ini sama kokohnya seperti ketika dibangun. Hanya saja barangkali akulah yang telah merapuh.

Aku ingat rumahnya. Rumah yang cocok sekali menjadi setting adegan Prabu Anglingdarma bercinta-cintaan dengan Dewi Setyawati. Orang dapat mendengar suara gemerisik daun-daun sawo kecik, kicauan perkutut dan laras slendro manyuro yang merawankan hati sebagai latar belakang.

Hujan membuatku gelisah. Aku mendengar suaranya yang berisik dalam tidurku. Bagaimana bisa hujan yang seperti itu bisa terdengar sangat berisik? Hujan bersuara keras hanya pernah kudengar di hutan jati di akhir musim kemarau ketika hujan mulai turun jarang-jarang. Kira-kira satu kilo dari rumahku ada hutan jati yang, aku bisa meyakinkanmu, sangat indah. Hutan itu berada di tepi sungai yang curam dan sungguh, lereng-lerengnya benar-benar memukau. Kalau hutan itu dilukis oleh Constable atau Renoir pasti akan jadi lukisan yang berdaya magis. Kalau kau berada di tempat itu pada waktu hujan pertama kali turun kau akan mendengar suara bergelombang, bergemuruh, seperti musiknya Bach, bunyi tetes air yang mengenai daun-daun kering di dasar hutan. Suara itu, bagaimana pun pemberaninya dirimu, akan membuatmu terdorong untuk berlari menjauhinya. Itu adalah hujan yang bersuara keras. Sangat menakutkan. Dan sangat melodis. Membuatmu ingin, entah kenapa, menangis tersedu-sedu. Aku tidak pergi ke hutan jati itu. Tidak ada yang bisa dilakukan disana sekarang sekarang ini kecuali kau ingin mencari katimumul untuk dibakar. Aku tidak berpikir memakan serangga terlalu primitif untukku tapi aku merasa kasihan memakan binatang yang begitu lucu. Tapi rasanya aku tetap mendengar suara berisik hujan itu. Hal itu menggelisahkanku. Apakah aku sedang merasa kesepian?

H-ku tersayang,
Aku tahu aku tidak sendirian. Aku dianugerahi begitu banyak cinta, begitu banyak sahabat, bahkan terlalu banyak untuk seorang wanita yang cerewet dan membosankan sepertiku. Pengasuhku bercerita dulu ketika mengandung aku ibuku tersayang selalu berdoa agar aku dilimpahi banyak cinta kasih dalam hidupnya. Dan karena ibuku wanita yang baik Tuhan membawanya ke pangkuan-Nya saat melahirkan aku dan meninggalkan untukku semua cinta kasih yang dia doakan bagiku. Kau selalu bersamaku. Ada bagian kecil dari dirimu yang mencintaiku, kau akui atau tidak, bagian itu ada dan itulah satu-satunya alasan kenapa aku menulis surat ini sekarang.

H-ku tersayang,

Aku menghargai kehidupan. Sama sepertimu. Sangat tidak layak menyia-nyiakan rahmat Tuhan demi sesuatu yang dangkal dan egois, seperti rasa takut akan kesendirian. Aku tidak memutuskannya karena aku takut sendirian. Kita selalu, pada dasarnya, sendirian, berjalan masing-masing pada jalan kita. Aku hanya tidak bisa menemukan jalanku. Itu saja. Jalanku tidak pernah ada. Jalan dimana disana ada putera-puteraku yang berlarian mengejar capung dan kupu-kupu itu telah tidak ada. Bagaimana orang dapat berjalan apabila jalannya tidak ada?

H-ku tersayang,

Aku akan menghentikan umurku hingga tiga puluh tahun saja. Di umur itu aku masih tampak sama dengan tiga tahun lalu ketika dokter mengambil anak kembarku dari perutku untuk menyelamatkan hidupku. Aku masih tampak sama seperti saat semua itu terjadi. Hanya rambutku saja yang menjadi lebih panjang namun aku akan membereskannya segera. Kata pengasuhku kulitku menjadi lebih pucat sekarang. Aku akan berolahraga untuk mengembalikan warnanya menjadi seperti semula. Aku akan sama ketika aku menyadari aku sangat mencintaimu, ketika kau biarkan aku mengalihkan rasa kasihku kepadamu, rasa kasih yang tak sempat kuberikan pada putera kembarku, rasa cinta yang rentan dan lucu, yang pada suatu hari hujan di bulan Pebruari membuatku mendatangimu secara diam-diam dengan maksud untuk menyerahkan diriku kepadamu. Apa kau tahu? Waktu itu aku sudah menjahit sepasang baju tidur kembar, piyama untukmu dan gaun untukku. Baju-baju itu terbuat dari kain satin berwarna merah anggur bermotif bunga-bunga lotus yang indah sekali. Aku berencana untuk berpura-pura sakit agar kau menjengukku. Kau selalu menuruti kemauanku kalau aku sedang sakit. Lalu begitu kau sudah berada di kamarku aku akan memohon-mohon kepadamu untuk mencumbuku. Aku tahu kau akan menolaknya pada detik pertama, kau seorang pria baik-baik, atau mungkin kau akan mengajakku bicara tentang hal yang sama sekali berbeda, kau sangat pandai mengalihkan perhatian, kemudian barangkali kau akan menungguiku tidur sambil membaca buku seperti seorang gentleman. Tapi aku akan tetap memohon-mohon kepadamu, membiarkan setan menghampiri kita berdua kemudian pagi harinya aku akan berpura-pura telah kehilangan akal karena obat. Hari itu aku benar-benar berniat begitu. Aku ingin memiliki sebuah jejak darimu. Sebuah galur sempurna untuk apa yang aku yakin mampu kunisbahkan pada cinta kasih. Aku ingin memiliki sesuatu yang tak terpisahkan darimu. Namun melihat wajahmu dari kejauhan, kau yang sedang berbincang-bincang dengan para pemuda tentang sebuah cakrawala entah apa, kulihat matamu yang terlalu bening itu, matamu yang kucintai itu, tiba-tiba aku menjadi sedemikian malu. Bagaimana mungkin aku sempat berpikir, walau sebentar, untuk membuat matamu tidak bersinar sebagaimana seharusnya matamu bersinar, bening yang terlalu beningitu ? Aku pun pulang, dengan diam-diam sebagaimana aku datang. Di rumah ada suamiku. Suamiku himself! Memandang matanya yang seperti lautan pada waktu bulan purnama, begitu berbahaya, begitu mempesona, mata yang kucintai itu, aku merasa telah menjadi perempuan hina. Aku menangis semalaman tanpa seorang pun tahu apa yang kutangisi.

H-ku tersayang,

Aku mengutuki diriku sendiri. Apa sih susahnya menjadi Anggraeni? Dia hanya perlu mencintai Palgunadi seorang, tetap setia kepadanya dan ketika suaminya itu meninggal dia dengan penuh martabat ikut bela pati. Bahkan pekerjaan yang semudah itu pun tak mampu kulakukan. Aku tidak hanya mencintai suamiku seorang. Perselingkuhan dalam pikiran dan perencanaan bagaimanapun juga adalah sebuah pengkhianatan, bukan?

Dari ketiga hal itu kupikir hanya satu yang bisa kulakukan. Tapi ini pun bukan bela pati demi martabat, akan tetapi demi diriku sendiri. Aku ingin selamat dari cinta yang rentan dan lucu itu sekaligus juga sangat ingin mendekapnya. Aku ingin tahu apakah cinta dapat menemani orang menjalani hidup di neraka. Aku tahu tempatku di neraka tapi jika apinya dapat memadamkan hatiku yang penuh khianat itu kupikir akan sangat bagus. Karenanya aku ingin menghentikan umurku, agar aku yang mencintai suamiku, putera-puteraku dan juga kamu dengan begitu besarnya, aku yang tak mampu menggenggam cinta dalam dadaku yang sempit, aku yang seperti itulah yang akan menghilang. Menjadi tidak ada seperti jalanku yang telah menjadi tidak ada itu.

H-ku tersayang,

Setelah kematianku tulislah syair-syair yang indah. Kalau bisa maafkanlah aku dan kenanglah aku sebagai C kecil yang mengajakmu melakukan hal yang 'tidak-tidak'. Jika kau tidak bisa, tidak mengapa kau mengenangku sebagai Anggraeni yang mendekap cinta sampai ke neraka.

Foundly yours.


A


Benar-benar keterlaluan. Aku mencari-cari ponselku. Ternyata, sialnya, tertinggal di kantorku. Di pintu seorang dari bagian administrasi memanggilku dan memberikan sebuah bungkusan. Aku mengempitnya di ketiakku tanpa melihatnya. Aku benar-benar sangat marah.

Di kantorku ponselku tergeletak di meja. Aku menekan nomor Anggraeni. Tanpa sadar aku melihat kalender. Tanggal 27! Aku berdiri untuk memastikannya. Sudah seminggu yang lalu dia berulangtahun. Dan nomornya tidak bisa dihubungi. Bodoh! Aku memukul bungkusan itu. Tanganku agak sakit terkena sudut kardusnya. Aku merapikan sampulnya dan membukanya. Piyama satin berwarna merah anggur dengan motif bunga-bunga lotus

Aku sangat berharap untuk tak sadarkan diri.

Catatan:
1.Lukisan yang dimaksud berjudul Poplars (autumn) karya Claude Oscar Monet (1840-1926) seorang pelukis aliran impresionis berkebangsaan Perancis. Lukisan itu dibuat pada tahun 1891. Obyeknya adalah tiga pohon poplar yang berjajar. Monet melukisnya pada musim dingin, gugur dan semi untuk melihat perubahan warnanya.
2.Dalam cerita Mahabarata, Anggraeni adalah permaisuri Prabu Ekalawya atau lebih dikenal dengan nama Palgunadi, raja dari kerajaan Nisada atau Paranggelung. Dia adalah puteri dari bidadari bernama Warsiki. Dia sangat cantik, berbudi luhur, selalu penuh sopan santun dan sangat setia kepada suaminya. Pada suatu hari pada saat dia memetik bunga di hutan dia diganggu oleh raksasa jahat. Dia melarikan diri hingga bertemu dengan Arjuna yang sedang bertapa. Arjuna membunuh raksasa itu untuk menolongnya. Melihat kecantikannya Arjuna jatuh cinta kepadanya. Karena setia kepada suaminya Anggraeni menolaknya. Arjuna yang benar-benar ingin memilikinya memaksanya untuk menjadi istrinya. Anggraeni melarikan diri darinya hingga terperosok ke dalam jurang. Dia diselamatkan oleh ibunya yang sedang terbang di atas kerajaan itu karena merasa rindu kepadanya dan dia pun dikembalikan kepada suaminya. Anggraeni melaporkan tentang Arjuna kepada suaminya. Palgunadi sangat murka dan menantang Arjuna bertarung. Dia adalah seorang yang sangat sakti sehingga Arjuna dapat dikalahkan olehnya. Arjuna mengadu kepada gurunya Resi Drona. Akibat dari bujuk rayunya Resi Drona dapat membunuh Palgunadi yang sangat menghormatinya dengan memotong jarinya yang memakai cincin Mustika Ampal. Palgunadi pun tewas. Sepeninggal Palgunadi, Anggraeni melakukan bela pati, bunuh diri untuk membela kehormatan dirinya. Arjuna sangat menyesalkan hal itu. Karena rasa cintanya kepada Anggraeni dia memakai nama Palgunadi sebagai salah satu dasanama(nama lain)nya.
3.Katimumul adalah serangga bertubuh gemuk berwarna cokelat tua kehitaman. Termasuk keluarga kumbang. Keluar mendekati cahaya pada malam hari. Pada siang hari bersembunyi di tanah yang gembur di bawah tanaman semacam kunyit, ganyong, beluntas dan sebagainya. Serangga ini dapat dimakan.
4.Singkatan nama H dan C mengacu pada kebiasaan tokoh Catherine yang menyebut seseorang dengan inisial nama saat menulis buku harian, dalam novel Wuthering Heights karya Emily Bronte yang ditulis pada tahun 1847.

Cerpen ini dimuat di majalah sastra Horison edisi mei 2011