Tuesday 2 July 2013

Dodog Wesi





Apalah arti seseorang tanpa ditemani kenang-kenangan dalam hidupnya?


Pertanyaan itu begitu mengganggunya, membuatnya tak mampu memikirkan hal lain.


Dia sedang berbaring di bawah lampu kandil berkerangka kuningan yang dipasang pada dodog wesi, sebatang kayu yang berada di bawah molo, membuatnya berada persis di bawah sudut paling runcing dari atap. Pelayannya sudah menyiapkan kamar untuknya tapi ketika ditawari beristirahat dia menggelar klasa mendong di lantai dan berbaring disana.


“Aku pergi untuk menangis. Jangan berharap aku melakukan hal lain.” Begitu pamitnya pada suaminya sebelum dia pergi. Sejak kemarin dia telah tidak mempedulikan harga dirinya dan membiarkan para pelayannya melihat betapa murungnya dia.


Lampu itu memendarkan cahaya lembut lampu neon yang dipasang di dalamnya. Walau disamarkan dengan baik tapi dia dapat melihat kabel yang melilit di lampu kandil berkerangka kuningan itu. Seseorang pasti bekerja keras demi lampu neon itu. Dulu sewaktu belum ada aliran listrik lampu minyak tanahlah yang dipasang disana. Setiap sore salah satu pelayan keluarganya akan menarik kerekannya dan menyalakan lampu. Di pagi hari kerekannya akan ditarik lagi untuk memadamkan lampu. Saat hari raya lampu akan dinyalakan sepanjang hari.


Segala hal penting terjadi di bawah kayu melintang berukir sulur-sulur tanaman itu itu. Pertemuan-pertemuan keluarga, pembicaraan-pembicaraan penting, akad nikah bahkan jenazah kakeknya dibaringkan dibawahnya sebelum dimakamkan.


Di antara semua bagian rumahnya entah bagaimana dodog wesi itu yang paling melekat di benaknya. Sejak kecil dia punya kebiasaan terserang demam sawan. Demam itu mirip seperti demam biasa hanya bedanya demam itu menyerang jika terjadi hal-hal besar menimpanya atau dia sedang sangat ketakutan akan sesuatu. Ketika dia diberitahu bahwa dia akan dinikahkan dengan seorang pria yang kini menjadi suaminya dia bermimpi pria itu memanjat tiang, mengambil dodog wesi rumahnya dan membawanya pergi entah kemana. Dia mengalami demam tinggi dan mengigau. Dia telah dibawa berobat kepada dua orang dokter tapi tidak turun juga demamnya. Pada malam ketujuh dia bermimpi pria itu datang, memanjat naik dan memasang kembali dodog wesi itu di tempatnya. Keesokan harinya dia bangun seakan-akan tidak sedang sakit. Demamnya hilang entah kemana.


Dodog wesi itu bagian dari dirinya. Suaminya telah membangunkan untuknya rumah dengan atap-atap menjulang dengan lengkungan-lengkungan bagian dalamnya dihiasi mozaik-mozaik, lukisan-lukisan dinding dan candelabra kristal buatan Perancis tapi entah bagaimana balok kayu berukir itu selalu berayun-ayun di matanya setiap kali dia mengingat masa kecilnya.


Aku adalah orang yang hidup dengan mengenang-ngenang masa lalu. Dia tak pernah malu mengatakan itu kepada siapapun. Dia tidak merasa malu mengakui kalau dia memiliki khayalan tentang dunia dimana waktu mengekal dan dirinya tetap seorang gadis kecil dari keluarga yang pernah sangat bahagia. Dia juga tidak merasa melakukan hal yang memalukan ketika dirinya menghamburkan kemarahan yang nyaris tidak masuk akal kepada suaminya ketika laki-laki itu menyodorkan cetak biru konstruksi bangunan baru rumah keluarganya. Bangunan baru!


Selama dua tahun belakangan ini suaminya selalu menemukan berbagai fakta untuk menunjukkan betapa buruknya rumah itu. Yang satu selalu membuatnya lebih kesal dari yang sebelumnya.


“Ada rumah rayap di senthong barat. Di musim penghujan mereka membuat lubang di bawah jendela dan laron-laron bermunculan dari sana. Kalau musim kemarau rayap-rayap itu akan memakan kayu.”


Senthong barat adalah kamarnya ketika masih kanak-kanak. Di dalamnya terdapat ranjang bertiang dengan ukir-ukiran berbentuk bunga, sebuah lemari kayu jati, meja tulis yang dapat dilipat dan sebuah kursi dengan dudukan yang dilapisi busa lembut. Dia diperbolehkan tidur di ranjang itu sejak berusia tiga belas tahun, beberapa hari setelah acara tarapan-nya dilangsungkan. Sebelumnya dia tidur ditemani pengasuhnya di kamar yang lain. Dia ingat bagaimana takutnya dia saat pertama kali tidur disana. Dia khawatir ada buto rambut geni muncul dari kolong ranjangnya dan membawanya entah kemana. Di salah satu tiang ranjangnya dia ingat ibunya sering bersandar sambil menangis saat menjaganya pada malam-malam ketika dia sedang sakit. Di lemari itu dia menyimpan mainan-mainannya. Meja lipat dan kursi beralas busa itu adalah temannya belajar.


“Adanya aliran air di dekat pondasi sebuah rumah adalah ide yang buruk. Lantai menjadi terlalu lembab dan itu buruk bagi bahan bangunan berupa kayu.”


Sejak dia mampu mengingat ada saluran air kecil di sepanjang tritisan timur. Air dari sungai mengalir di sepanjang saluran air itu dan tertampung di belik kecil di belakang rumah. Air itu menjadi sangat jernih disana. Kodok, endol kecil bersisik warna pelangi dan hydrilla tumbuh disana. Mereka menggunakan air itu untuk mandi dan menyirami tanaman. Petak-petak bayam, kenikir, kacang panjang, cabai, tomat dan sayuran lain menghijau sepanjang tahun selama belik itu penuh. Orang akan saling membunuh demi mendapatkan aliran air seperti itu. Seharusnya.


“Lapisan pertama lantainya terbuat dari tanah. Itu yang menjadikan lantai semennya mengeluarkan rembesan air di musim penghujan. Penambalan tidak bisa memperbaiki keadaan. Yang bisa dilakukan adalah meninggikan pondasinya.”


Keluarganya memakai lantai untuk kegiatan sosial. Jika ada acara, apapun itu, kursi-kursi akan disingkirkan ke gudang dan klasa-klasa mendong digelar di atas lapisan lampit, dan semua orang, apakah itu tamu kehormatan atau tamu biasa akan duduk di atasnya. Di atasnya pula sehari-harinya keluarganya makan dan berbincang-bincang. Dia sendiri memiliki kesenangan dengan lantai itu. Di bagian-bagian tertentu dari lantai rumahnya, bagian yang digosoknya sendiri hingga mengkilat dan berwarna kehijau-hijauan, bagian yang hanya dia sendiri yang tahu persis letaknya, dia bermain bola bekel disana bersama kawan-kawannya.


“Gentingnya sudah rapuh. Fragile. Literally. Seseorang dapat meremukkannya dengan ujung jarinya. Dan kalau boleh aku jujur, labu dan waluh yang kau biarkan merambat ke atap itu memperparah keadaan.”


Ada hari-hari tertentu ketika kakek dan ayahnya menyuruh orang-orang menurunkan sebagian genting untuk membersihkan talang. Pada hari-hari seperti itu ibunya akan memasak jangan gurih sewajan besar dan dia merasa senang hanya dengan melihat betapa orang-orang desa makan dengan begitu lahap.


Di kampung halamannya orang-orang mempunyai kebiasaan menanam sesuatu untuk orang yang dicintai. Labu dan waluh itu ditanam oleh kakeknya untuk istrinya. Labu dan waluh hanya hidup selama semusim tapi mereka memiliki biji yang banyak dan selalu dapat tumbuh lagi lebih besar di musim berikutnya. Apakah ada ungkapan cinta yang lebih romantis dari itu?


“Gedogan itu lebih parah dari yang lain-lainnya. Kalau diperbaiki tentu si Djenar itu tidak akan terpeleset sampai kakinya cedera begitu. Kita seharusnya melapisi tanah disana dengan pasir.”


Istal adalah tempat dimana dia akan bisa menemukan kakeknya jika tidak ada di tempat-tempat yang lain. Kakeknya mencintai kuda dan rasa cinta itu juga menurun kepadanya. Beberapa orang dapat bersaksi kalau kakeknya telah mengajarinya berkuda sejak usianya dua tahun. Kakeknya sering mendudukkannya di bagian depan pelana kudanya lalu berkuda melewati hutan-hutan pinus, memimpin para pekerja yang memikul keranjang-keranjang berisi jeruk keprok yang dia beli dan panen dari kebun-kebun yang jauh. Ketika itu belum ada kendaraan apapun yang bisa digunakan di daerah pegunungan kecuali kuda. Ketika dia sudah besar dia mendapatkan kudanya sendiri dan kakeknya pura-pura saja tidak tahu kalau dia sering melompati rintangan yang kata orang terlalu tinggi untuk seorang wanita.


“Seseorang yang bodoh menabrak loning sampai roboh separo. Orang yang melihatnya mengatakan kalau di dalam temboknya ternyata sudah menjadi tanah.”


Di loning itu saat bulan sedang terang kakeknya biasa duduk bercerita tentang orang-orang dari negeri dongeng seperti Bima, Damarwulan atau yang paling sering tentang Pangeran Samber Nyawa yang merupakan leluhurnya sendiri. Dia dan kawan-kawannya mendengarkan dan percaya bahwa semua yang dikatakannya itu nyata.


Bagaimana dia dapat membiarkan orang menghancurkan semua romansa itu demi sesuatu yang disebut ‘baru’?


“Yang akan kita lakukan bukan renovasi tapi restorasi.” Suaminya sering mengatakan itu. “Rumah itu akan terlihat sama seperti sebelumnya hanya diperkuat.”


“Setelah itu apa? Kau akan menjadikannya hotel lalu orang-orang datang keluar masuk seenaknya dan tidur di kamar kakekku tanpa rasa hormat, begitu?”


“Apa kau bermaksud mengatakan kau ingin tinggal disana?”


“Tentu saja tidak.” Dia tahu dia tidak dapat lagi tinggal disana. Tidak tanpa keluarganya. Dulu, ketika dia masih kecil, ada seorang dokter bodoh yang mengatakan bahwa umurnya tidak akan mencapai usia dua puluh tahun. Tapi ternyata dia berhasil hidup meski dengan susah payah dan malah keluarganya yang satu demi satu meninggalkan dia. Rumah itu terlalu penuh dengan kenangan. Orang yang hidup tidak bisa tinggal di tempat seperti itu.


“Akan lebih baik kalau kita biarkan saja rumah itu rubuh.” Dia telah mengatakan itu puluhan kali. “Kau laki-laki. Tentu saja kau tidak tahu bagaimana perasaanku.” Dia menangis sepanjang malam dan memusuhi suaminya selama berhari-hari.


“Sebenarnya apa yang kau takutkan?” tanya suaminya ketika kemarahannya agak reda. “Jika diperbaiki rumah itu bisa jadi sanggar seni. Kau bisa mengajari anak-anak melukis dan menari. Kau juga dapat membuat program pemberdayaan, entah apa begitu, untuk membantu para wanita disana. Bukankah itu yang juga dilakukan kakekmu?”


“Aku tak mau keluargaku dilupakan,” katanya, menyembunyikan dirinya di lekukan dada suaminya. “Orang-orang mudah sekali lupa. Aku juga pelupa. Aku tidak ingin melupakan apapun. Kemana perginya sesuatu yang dilupakan?”


“Kenangan,” jawab suaminya. “Hal-hal seperti itu, mereka pergi ke dalam kenangan.”


Dia bergumam entah apa. “Dinding semen berhias pecahan-pecahan kaca itu sekarang sudah tidak dijual lagi.”


“Kita akan menemukan yang benar-benar persis seperti itu. Kalau tidak ada aku akan membuatnya.”


Dia menyebutkan lagi beberapa hal yang tak mungkin lagi didapatkan tapi suaminya selalu mengatakan kalau itu bukan tidak mungkin.


Dia memandang balok kayu dengan ukiran sulur-sulur tanaman itu dan merasa mencintainya lebih dari sebelumnya.


Cinta, barangkali, adalah bentuk lain dari keberanian untuk bertahan hidup.


Dia menelepon suaminya. “Suruh kepala proyeknya menemui aku besok. Dan kalau masih mau membuatkan aku water garden seperti yang kaujanjikan itu lebih baik kau segera membeli teratai. Aku mau yang berwarna putih dan ungu.”


Bertahan hidup bahkan meski satu per satu hal-hal indah memudar dan pergi ke tempat dimana seharusnya hal-hal indah itu tinggal dan mengekal yaitu di dalam kenangan.





Catatan :


· Dodog wesi adalah sebutan untuk salah satu balok kayu yang berada dalam rangkaian kerangka rumah tradisional Jawa. Balok kayu ini berada di bawah molo dan membagi keseluruhan kerangka bangunan menjadi dua bagian yang simetris. Biasanya dihiasi dengan ukir-ukiran dan dipakai untuk menempatkan lampu kandil.


· Molo adalah balok kayu mendatar yang berada di puncak atap.


· Klasa mendong adalah tikar yang dibuat dari anyaman tanaman mendong, sejenis tanaman berserat yang tumbuh di rawa-rawa.


· Senthong adalah sebutan untuk kamar-kamar di rumah tradisional Jawa.


· Tarapan adalah upacara yang diadakan bagi anak gadis keturunan bangsawan Jawa yang mengalami datang bulan untuk pertama kalinya. Upacara ini didahului dengan tuguran (berjaga semalam suntuk) kemudian si gadis disuruh makan buah delima putih kukus yang di dalamnya diberi jenitri, juga meminum rebusan daun jungrahab yang diberi gula batu. Tujuh hari kemudian diadakan acara siraman. Si gadis dimandikan dengan berbagai rempah mandi dan rambutnya dikeramasi dengan merang, air asam dan santan kelapa lalu tubuhnya diasapi dengan bakaran ratus dan diberi lulur putih kemudian didandani dengan busana yang indah. Selama upacara si gadis diberi wejangan oleh orang tua dan para sesepuh. Setelah menjalani upacara ini seorang gadis dianggap sudah dewasa.


· Tritisan adalah bagian luar rumah dimana air hujan dari atas jatuh kesana. Biasanya bagian ini dijaga sangat bersih dan tidak boleh menaruh apa-apa disana.


· Belik adalah kolam buatan yang menampung air dari sungai. Biasanya airnya sangat jernih dan sejuk karena telah melewati proses penyaringan lewat tanah. Untuk menghalangi sinar matahari dan menjaganya tetap jernih biasanya orang menaruh tanaman air seperti enceng gondok atau teratai di dalam belik. Di desa-desa belik dipakai untuk keperluan mandi, mencuci dan menyiram tanaman.


· Endol adalah ikan kecil yang biasa hidup di sungai dan perairan. Berwarna putih keperakan, ikan yang jantan ukuran tubuhnya lebih kecil dari yang betina dan memiliki semburat warna pelangi yang indah. Ikan betina memiliki tubuh yang gemuk lucu tanpa semburat warna pelangi. Nama latinnya Nemacheilus panchax.


· Hydrilla adalah tumbuhan yang hidup di dalam perairan air tawar. Tempat hidupnya di dalam perairan yang tenang, bukan di dasar, bukan pula mengambang. Memiliki cara berkembang biak yang unik.


· Lampit adalah anyaman bambu yang biasa dipakai sebagai alas di lantai. Biasanya ukurannya sekitar dua kali tiga meter. Bambunya diraut tipis-tipis dibuat supaya tidak terasa keras ketika diduduki. Di daerah saya lampit seperti ini dibuat oleh wong nggunung, sebutan untuk orang-orang yang tinggal di desa-desa di lereng-lereng gunung. Biasanya dijual dengan dipikul berjalan kaki tapi harganya sangat murah.


· Talang adalah tempat bertemunya ujung atap sebuah rumah. Rumah tradisional di Jawa biasanya terdiri dari beberapa bagian yang berdekatan. Pada pertemuan bagian-bagian itu atapnya disatukan oleh talang. Karena berguna sebagai tempat mengalirkan air saat hujan maka talang ini harus sering dibersihkan agar rumah tidak kebanjiran.


· Jangan gurih adalah nama masakan bersantan. Bahannya dari tempe, tahu dan kadang-kadang kluwih. Dimasak untuk dihidangkan pada acara yang bersifat gotong royong seperti bersih desa, kerja bakti atau membantu salah satu warga. Jangan gurih ini salah satu masakan kesukaan saya.


· Gedogan adalah sebutan untuk kandang kuda atau istal


· Loning adalah bagian dari pagar yang dibuat agak rendah. Setiap rumah di desa saya dulu memiliki sepasang loning berhadap-hadapan di bagian gerbang depan rumah dan dipakai untuk tempat duduk. Orang-orang biasa duduk berbincang-bincang disana pada sore atau malam hari.