Saturday 13 December 2008

PURPLE RHAPSODY


Oleh Yuni Kristyaningsih Pramudhaningrat

Hujan turun dengan tiba-tiba, menimbulkan keributan sebentar yang sebenarnya lebih karena kaget -mengingat mendung yang menghiasi langit hanyalah jenis awan yang tipis dengan sedikit sekali warna kelabu- daripada karena air yang jatuh . Tetes-tetes air itu tidak berupa tetesan yang besar melainkan hanya kecil saja dan jatuhnya pun dengan keteraturan yang mengagumkan. Suaranya seperti suara piano dalam denting-denting nada minor yang mengharukan.

Dia memperhatikan semua itu dari tempat duduknya. Dia pelanggan coffe shop itu. Dia datang hampir setiap hari selama satu atau dua jam. Semua pegawai disana mengenalnya sebagaimana dia pun mengenal mereka sehingga tampaknya tidak ada yang berkeberatan jika dia mengklaim meja di dekat jendela itu sebagai mejanya. Di depannya, di atas meja ada nampan berisi peralatan minum teh gaya Inggris yang terbuat dari porselen: teko, cangkir, tempat gula, tempat creamer, piring kue dan sebuah vas berisi setangkai bunga gerbera merah. Cammomile tea dan almond muffin adalah menu kesukaannya. Dia tidak pernah mengganti pesanannya dan kelihatannya dia merasa itu bukan sebuah masalah. Saat itu, di atas meja, laptopnya menyala, memperlihatkan sebuah halaman untuk menulis e-mail tapi tak tertulis sebuah huruf pun di sana kecuali alamat penerima dan bagian subject yang diisi dengan kalimat bagaimana kabarmu?

Alamat e-mail itu tidak pernah dengan sengaja dihafalnya. Tapi barangkali justru karena itu dia mengingatnya. Hati lebih mudah menyimpan sesuatu dibanding otak. Masalahnya kemudian adalah apa yang diingat dari proses di luar sadar itu lebih sulit untuk dilupakan. Dia tahu bagaimana rasanya ingin melupakan sesuatu yang tidak bisa dilupakan. Beberapa waktu yang lalu dia sangat ingin melupakannya. Alamat e-mail itu dan juga semua tentang pria itu. Sebab mengingatnya membuat dia merasa begitu sengsara. Tetapi ketika semua usaha dan bentuk-bentuk penyangkalan yang dia lakukan terasa sia-sia dia menyadari bahwa tidak mengingatnya justru membuatnya jauh lebih sengsara. Akhirnya dia membiarkan dirinya mengingat pria itu.


Dia senang mengirim e-mail kepadanya tak peduli akan mendapat jawaban atau tidak. “Terkadang aku suka mengabaikan,” kata pria itu suatu hari dulu.

“Aku sudah biasa diabaikan,” jawabnya ketika itu. Meskipun kemudian pria itu juga melakukan hal yang sama kepadanya. Mengirim e-mail tanpa mengharapkan balasan.

Sekarang dia berpikir betapa bodohnya dirinya. Waktu itu dia belum tahu bahwa diabaikan dapat membuatnya terdampar di tempat itu. Menghirup teh, memandangi hujan, mendengarkan Chopin lalu diam-diam menangis. Ketika cinta bergabung dalam satu komposisi dengan kesetiaan yang konyol dan harapan yang naif maka yang timbul kemudian adalah kisah tentang kebodohan yang sangat layak ditertawakan.


Kadangkala dia berpikir tentang jodoh. Dia merasa dirinya cukup mampu menerima hal-hal di luar logika. Menurutnya jodoh adalah sebuah keutuhan dari potongan-potongan adegan dalam sebuah skenario besar bernama kehidupan. Di dalamnya menampung pertemuan dan perpisahan serta hal-hal yang kelihatan sepele dan sama sekali tidak penting yang disebut orang sebagai kebetulan. Tetapi meskipun kelihatan sepele sebuah kebetulan tetap adalah sesuatu.
Pada bagian yang disebut kebetulan itulah dia dan pria itu bertemu. Kalau dipikirkan kembali barangkali itu adalah kebetulan yang paling tidak diinginkannya.

Pria itu masih begitu muda ketika bertemu dengannya untuk pertama kali. Pria muda dengan begitu banyak idealisme, kegilaan dan keresahan yang memenuhi kepalanya. Tipikal dari masa muda yang penuh warna. Sementara dia sendiri merasa masa muda telah meninggalkannya perlahan-lahan dan meskipun dia telah mampu mendapatkan warna alami dan citra dirinya dari masa itu tapi kenyataan bahwa kemudaan hampir-hampir telah menjadi semacam kenangan saja baginya membuatnya merindukan masa itu

Dia mengajar kelas creative writing pada semester itu. Sebenarnya dia benar-benar memaksakan diri untuk mengajar. Dia punya banyak pekerjaan. Harian umum tempatnya bekerja didirikan oleh kakeknya dengan penuh perjuangan. Harian umum itu seolah telah menjadi bagian dari sejarah keluarganya dan dia secara genetik maupun fisik terikat pada sejarah itu dan dia tidak diharapkan melakukan hal yang lain. Sebelumnya dia telah menolak beberapa tawaran resmi untuk mengajar di universitas. Dia menerima pekerjaan itu semata hanya karena yang memintanya adalah sahabat terkasihnya.

Pria itu ada di kelasnya. Pada awalnya dia tidak menyadarinya, memandangnya nyaris hanya sebagai salah satu dari sekian banyak karakter manusia yang harus dia hadapi dalam satu masa tertentu. Hingga pada suatu hari dia membaca tulisan pria itu. Aku Tidak Tertarik Pada Manusia adalah sebuah cerpen yang berisi surat seseorang kepada sahabatnya. Dia membacanya berulang-ulang, merasa seperti sedang membaca tulisannya sendiri di masa muda, begitu emosional, begitu jujur sekaligus begitu arogan. Semua mahasiswa harus membuat ulang tulisan mereka dan ketika pria itu mengumpulkan tugasnya dia bertanya “Kenapa kau tidak tertarik pada manusia? Bukankah ada begitu banyak keindahan di dunia ini tapi tidak ada yang seindah manusia?”

Pria itu memandangnya dengan heran. “Manusia itu keberadaannya cuma seperti ilusi,” jawabnya dengan raut muka mind your own business.

“Dan itu menyakitimu?”

“Siapa yang tidak?”

Dia memberi A+ pada pekerjaan pria itu dan diskusi semacam itu lebih sering terjadi. Dia tidak pernah menyangka bahwa apa yang semula dikiranya sebagai sesuatu yang cuma akan lewat sekilas, sesuatu yang kelihatan tidak berarti bisa menjadi sesuatu yang mempengaruhi hidupnya. Mungkin begitulah cara takdir berjalan. Diam-diam, perlahan-lahan, mengendap-endap dan mungkin pada waktu yang lain menyergap dengan cepat dan tidak bisa dihindari.

Dia menyaksikannya menjadi dewasa, melalui tulisan-tulisannya, mula-mula dia hanya biji yang jatuh dari pohon, bergulir tak tentu arah oleh kontur lingkungan yang berantakan, ditimbun tanpa rencana oleh tanah, daun-daun kering, ranting-ranting dan segala macam kotoran, disana dia diam, mengumpulkan tenaga untuk memecah kulit bijinya yang keras, menggeliat kesakitan ketika tunasnya yang lemah berusaha menemukan jalan di sela padatnya tanah untuk melihat matahari dan akarnya yang keras kepala menyerap kelembaban. Dia menyaksikan tunas itu tumbuh dari hari ke hari, menggeliat, menggelepar, tapi semakin kuat, semakin keras kepala, tumbuh semakin menjulang sekaligus mencengkeram semakin dalam. Dia menyaksikannya babak belur, menangis dan tertawa menemukan jati diri.

Terkadang, ketika memandanginya yang sedang tidur -biasanya pria itu pamit tidur sambil berkata, “Begitu bangun nanti aku akan memelukmu” biasanya pula dia selalu sudah pergi sebelum pria itu bangun- tapi sebelum pergi dia selalu memandanginya. Dia mengingatkannya pada puteranya.

Dia sering memandanginya seakan pria itu adalah putera yang tidak pernah dia miliki. Dia menderita suatu penyakit di jantungnya. Dia pernah mengandung sekali saat umurnya 24 tahun, anaknya lahir prematur dan meninggal hanya sehari setelah dilahirkan. Dia sendiri tidak tahu tentang kelahiran itu, waktu itu dia sedang sakit, tidak sadar selama beberapa hari, dokter melakukan sesuatu padanya, dia tidak tahu apa, tidak ada yang membicarakan itu dengannya, dan bayi itu lahir. Dia tidak pernah melihatnya, dia tidak tahu apa wajahnya mirip dengan dirinya atau suaminya, dia tidak tahu apa warna rambut dan matanya. Sekeras apapun dia mencoba membayangkannya dia tahu itu hanyalah sosok yang dia reka-reka dan bukan benar-benar puteranya.

Ketika dia sudah bisa memahami apa yang terjadi dia menyadari kenyataan bahwa dia tidak akan bisa melahirkan anaknya sendiri, bahwa selamanya tidak akan ada sesuatu yang menjadi bayangannya, selamanya dia akan selalu menjadi sosok yang utuh tidak terbelah yang dari rongga-rongga tubuhnya tidak akan keluar apa-apa kecuali kekosongan.

Pria itu entah bagaimana mengingatkannya pada anaknya. Melihatnya tidur dia berpikir barangkali seperti itulah puteranya tidur.

Dia sering menatapinya, mengelus rambutnya. “Kamu bayi yang besar,” katanya. Pria itu begitu banyak bicara dan begitu banyak tingkah kalau sedang bangun, dia melakukan segala hal dengan penuh semangat dan energi, termasuk ketika mencumbunya, tapi saat dia tidur dia kelihatan begitu manis dan lucu. Seperti bayi. Pria itu tidak suka disebut bayi tapi dia tetap menyebutnya “bayiku”.

Di lain pihak dia tetap menghormati suaminya, tetap memandang pernikahan mereka sebagai sesuatu yang suci, tapi di sisi lain dia mengambil jarak darinya, memberinya alasan dan kesempatan untuk meninggalkannya. Mereka berbicara dengan bahasa yang sopan satu sama lain. Membiarkan tata karma menutupi pudarnya cinta kasih mereka, sekaligus membantu mengkristalkannya menjadi nyaris abadi. Suaminya tidak dapat meninggalkan dirinya sebagaimana dia juga tidak dapat meninggalkan suaminya. Dia menerima itu sebagai sebuah konsekuensi dari hidup.

Dia melihat pria itu, kekasihnya, mencintainya dengan cara sebagaimana seorang pecinta muda, dengan cinta yang alami, tulus sekaligus begitu berkobar-kobar. Pria itu mengutip percakapan-percakapan mereka dalam tulisan-tulisannya. Puisi-puisinya ditulis untuknya. Dia benar-benar seperti pohon, tumbuh begitu tinggi sekaligus menancap begitu dalam. Kelihatan begitu jauh tapi juga begitu dekat.

Ketika meninggalkannya dia tidak punya niat apa-apa selain memikirkan kebaikan pria itu.

“Kau pergi karena aku membuatmu bosan? Karena aku tidak terlalu cerdas untukmu?” Pria itu bertanya saat dia mengucapkan selamat tinggal.

“Kau luar biasa menarik dan luar biasa cerdas, Sayangku,” jawabnya. “Tidak ada yang salah dengan dirimu. Tapi aku hanyalah pulau kecil. Seorang pria, sepertimu, seharusnya memiliki dataran yang luas untuk berpijak, bahkan kalau perlu dia membangun semestanya sendiri. Di pulau yang kecil kamu tidak akan tumbuh menjadi kuat.”

“Aku tidak mengerti.”

“Kau akan mengerti.”

“Aku cinta padamu. Aku sungguh-sungguh cinta padamu,” kata pria itu sambil memeluknya. Malam itu habis dengan cara yang sama seperti malam ketika mereka pertama kali menjaring cinta. Tapi saat dia pergi di pagi buta, dia melihat pria itu, kekasihnya, menangis dalam tidurnya.
Ketika dia pergi, dia benar-benar hanya memikirkan kebaikannya, sama sekali tidak disadarinya kalau kepergiannya menghancurkan pria itu, mencabut akar-akarnya sehingga dia kehilangan daya untuk tetap hidup. Dia benar-benar tak dapat menduganya.

Semester itu berlalu dengan cepat. Dia tidak lagi melihat pria itu di kampus. Bahkan tidak juga ketika bunga bungur jepang bermekaran. Pria itu sangat suka bunga bungur jepang. Pria itu pernah melukisnya -dia memakai gaun indah berwarna ungu muda, duduk di bawah pohon bungur jepang yang sedang bermekaran- dan menghadiahkannya ketika dia sedang berulang tahun sambil berkata, “Di dalam lukisan seperti inilah aku ingin mati.”

Satu dua kali dalam seminggu pria itu masih mengiriminya e-mail. E-mail-nya yang terakhir berbunyi:

Beberapa tahun terakhir, dalam kehidupanku yang sederhana dan mudah, sekaligus sepi dan tanpa kejutan apapun, kaulah satu-satunya kesenanganku. Barangkali, ketika seseorang mengatakan satu-satunya dia tidak mengacu pada arti harfiah kata satu. Ketika seseorang menyebut kekasihnya sebagai satu-satunya, dia toh masih punya hal lain selain kekasihnya sebagai satu-satunya, dia toh masih punya hal lain selain kekasihnya itu, dia punya ayah, ibu, adik, kakak, teman kuliah, teman kerja, teman lama, teman baru, teman ngobrol, si kekasih tidak mungkin satu-satunya baginya, dia hanya satu dalam perannya, bukan satu dalam eksistensinya apalagi entitasnya. Namun ketika aku menyebutmu satu maka benar-benar itulah yang kumaksud. Kamu adalah keluargaku, temanku, sahabatku dan bahkan mungkin kekasihku. Kamu adalah satu dalam kedirianmu, dalam entitasmu.

Setelah itu pria itu tidak mengirim e-mail lagi, tidak pernah terlihat di kampus lagi. Ketika dia mencarinya dia mendapatkan kabar bahwa seseorang telah menemukan pemuda itu terbaring di kamarnya, menggenggam salah satu di antara kertas-kertas berisi puisi-puisinya. Koran-koran dan stasiun televisi menggambarkan bahwa pria itu terbaring dengan indah persis seperti Pyramus yang menikam dirinya sendiri setelah mengira Thisbe kekasihnya mati dimangsa singa. Koran-koran mengutip puisi-puisinya lalu dengan cepat semua orang dapat mengutipnya.

Pada apa yang menjadi tujuan, Pujaan
Sehari aku berhenti
Menunggumu…
Atas nama yang lalu jadi bermakna, Adinda
Sekecap aku berucap
Namamu…
Bawah mana yang menjadi pijakan, Panutan
Sepenggalah aku goyah
Tersentuhmu…
Maka maafkan
Janganlah disembunyikan, perasaan
Di balik sepatu kacamu
Biar ini menjadi abadi

Melihat dan mendengar semua itu dia berusaha untuk tidak pingsan. Berusaha untuk tidak meminum obat penenang. Berusaha untuk tetap tersadar. Berusaha untuk merasakan semua kesakitan itu. Dia melakukannya untuk menghukum dirinya sendiri. Dia telah mencabut pohon itu. Dengan cara yang paling tidak dapat dia bayangkan. Dan dia tidak menemukan jalan pengampunan atas dosanya itu.

Hari ini adalah hari peringatan kematian pria itu. Dia masih duduk disana, menikmati tehnya dan membayangkan pria itu mengirim e-mail kepadanya. Sekali waktu dia membuka e-mail pria itu, passwordnya adalah namanya, melihat kembali percakapan mereka yang disimpan dengan rapi oleh pria itu dalam draft seakan sebuah harta yang berharga, sekaligus juga mencegah agar alamat e-mail itu tidak dihapus.

Hujan itu masih turun dan dia membayangkan tandan-tandan bunga bungur jepang yang berwarna merah muda keunguan bergoyang-goyang lembut oleh tetesan hujan itu. Dia menghela napas lalu mulai mengetik.

Aku sedang memakai baju berwarna ungu. Tapi aku sama sekali tidak mirip bunga bungur jepang yang sangat kau sukai itu.

Aku bertanya-tanya kenapa kau memilih pergi. Apa karena kau demikian marahnya atau karena kau sudah bosan? Dan aku selalu tidak dapat memahami jawabannya.

Kematian barangkali telah membuatmu lega. Selamanya kau akan dikenang sebagai seorang yang mencintai dengan sungguh-sungguh, seseorang yang memilih melompat bersama-sama cintanya ke suatu tempat dimana perubahan tak sanggup menjamah dan mempengaruhinya. Barangkali kau menikam dadamu karena cuma itu satu-satunya perlawanan yang dapat kau lakukan terhadap perubahan. Cinta tanpa perubahan. Kini kau sudah mendapatkannya. Juga semesta yang sangat luas untuk berpijak. Kau orang yang paling membuat iri, Kekasihku, karena bahkan orang yang ingin melupakanmu pun tidak akan bisa melupakanmu.

Catatan:
1.Ada banyak keindahan di dunia ini tapi tak ada yang seindah manusia adalah salah satu syair dari Sophocles
2.Pyramus and Thisbe adalah dongeng cinta yang tragis yang terjadi di Babilonia semasa Semiramis berkuasa. Dikisahkan Pyramus dan Thisbe bertetangga. Mereka menggunakan lubang di dinding untuk bercakap-cakap. Mereka saling mencintai tapi orang tua mereka melarang mereka menikah. Suatu hari mereka berjanji bertemu di suatu tempat di bawah pohon mulberry putih.. Thisbe yang pergi diam-diam sambil mengenakan kerudung agar tidak diketahui keluarganya tiba lebih dulu dan menunggu kekasihnya. Tiba-tiba muncul seekor singa yang baru saja memangsa sesuatu sehingga mulutnya berlumuran darah. Thisbe yang ketakutan lari bersembunyi di balik bebatuan tanpa menyadari bahwa kerudungnya terjatuh. Singa itu mendekati mata air dan minum karena haus. Dia melihat kerudung Thisbe dan tanpa sadar menggunakannya untuk mengelap mulutnya. Pyramus yang datang terlambat menemukan kerudung Thisbe yang berlumuran darah dan jejak singa di sekitarnya. Dia mengira kekasihnya meninggal dimangsa singa. Dia pun menikam jantungnya dengan pedangnya. Beberapa saat setelah itu Thisbe kembali dari persembunyiannya untuk melihat apakah singa itu masih ada atau sudah pergi. Tetapi dia malah menemukan tubuh kekasihnya. Menyadari kekasihnya bunuh diri demi dirinya Thisbe pun menikam jantungnya dengan pedang yang sama. Pohon mulberry putih itu menjadi berwarna ungu kemerahan akibat darah mereka.
3.Puisi dalam cerpen ini adalah puisi karya sahabat terkasih saya Muhamad Imam
Cerpen ini dimuat dalam majalah sastra Horison edisi Januari 2009