Saturday 8 March 2014

Aku, Djenar dan Taufan


Oleh Yuni Kristyaningsih

Aku bukan orang yang kuat. Gambarannya seperti ini: satu persen kekuatanku dikucilkan oleh sembilan puluh sembilan persen kelemahan. Makanya aku hancur setelah Taufan mengkhianatiku. Hancur. Seperti cokelat batangan yang leleh terkena hangatnya lidah, kerasnya email gigi dan asamnya hasil ekskresi kelenjar saliva.

Aku tak mampu mencintai seseorang selain diriku sendiri. Dan Taufan adalah bayangan yang selalu kulihat di cermin saat aku menghitung jumlah bulu mataku yang jatuh hari itu. Dia adalah diriku. Walau dia laki-laki dan aku perempuan. Aku mencintainya dengan satu dan lain cara. Walau aku tak bisa membuktikannya. Tidak dengan perbuatan dan ucapan bahkan tidak dengan pikiran. Tapi aku merasa konsep cintaku ada. Walau absurd. Walau utopis. Tapi ada.

Dia tak pernah mengatakan dia mencintaiku. Mungkin dia memang tidak mencintaiku. Tapi apa bedanya. Banyak orang yang mengaku mencintaiku tapi melakukan hal yang sama seperti mereka yang membenciku. Aku menganggap kata-kata adalah jebakan. Dan Taufan memakai kediaman seperti orang lain menggunakan kata-kata. Dia memang belajar bagaimana menyatakan sesuatu, memahami dan mencari tahu tapi pengakuan adalah kelemahan kami berdua.

Aku tidak bersahabat dengan manusia. Mereka aneh. Jika diharapkan berlaku manis seperti pangeran dan puteri dalam dongeng pengantar tidur, mereka menipu dan berbuat kejahatan. Tapi jika diduga seculas Machbeth-nya Shakespeare, ternyata mereka menyayang dalam kebaikan. Aneh sekali. Aku jadi pusing. Dan memilih sendirian. Tapi aku tak pernah kesepian. Karena alam menemaniku. Dan juga Taufan.

Aku pecinta kebebasan. Sedang Taufan sangat memujanya. Itu satu-satunya perbedaan kami. Tapi aku tidak menyadarinya. Karena apa? Sebab saat itu aku masih sangat muda.

Aku suka naik ke atap jika perjalanan ke alam khayaliku sudah sampai pada episode yang membosankan, atau saat bola mataku sudah terlalu keruh sehingga harus dicuci dengan air mata, atau saat sistem tubuhku dialiri banjir bah hormon endorphin.

Taufan ada disana juga (biasanya dia sampai setelah merambati pergola yang rimbun). Membentangkan tangan, menatap langit dan memenuhi paket alveoli dadanya dengan udara.

Dia mengulurkan tangan padaku. “Kemarilah, Pipit Mungilku.” Nada suaranya tidak jelas apakah permintaan, bujukan atau perintah. Aku tidak tahu. Dan juga tidak peduli. “Terbanglah bersamaku, Burung Kecilku. Mari kita hitung berapa jumlah gumpalan awan. Ayo kita lihat barangkali saja akan ada aurora atau gerhana. Ayo kita cari asal aroma wangi itu, apakah benar dari melati ataukah telah bercampur dengan gardenia. Ayo.”

Aku pun menyambut ulurannya. Lalu kami terbang berdua. Meniru sifat udara yang dengan kurang ajar memasuki semua celah tak berpenghuni.

Tapi saat itu aku masih sangat muda.

Suatu ketika aku melihatnya menyandang ransel. Dua koper, satu hitam dan satunya cokelat berdiri di dekat kakinya. Dan sopir taksi telah membuka pintu bagasi.

Aku heran. Dia tidak pernah terbang tanpaku.

“Aku pergi, Pipit Mungilku,” katanya. Sambil bercanda dia bercerita kalau dalam empat tahun ke depan (mungkin setengah tahun lebih awal atau lebih akhir) dia berkewajiban memenuhi lipatan-lipatan otaknya dengan deterjen pencuci bernama ilmu, membiasakan tangannya bekerja sana dengan imajinasi dan kecerdasannya untuk membuat sebentuk mesin baru yang rumit. Dan sebagai tanda terimanya adalah dua huruf, I dan r, di depan namanya.

“Jangan menangis.” Dia menunduk, menghisap air murni yang keluar dari mataku. “Aku ini badai. Aku bisa datang kapan saja. Di hari terik atau hari hujan. Di laut atau daratan. Aku tak terhalangi, Burung Kecilku. Sedang kau adalah titik tengah pusaran badaiku jadi jangan menangis.”

Aku tahu Taufan adalah angin ribut. Mula-mula bertiup sepoi-sepoi lalu menghantam dan menggulung. Dia sangat berbahaya bagi serangga dan tangkai bunga. Jika tidak hati-hati dia dapat dengan mudah menelannya dalam arusnya. Tapi ada juga yang suka menari dalam pusaran badai. Aku.

Tapi saat itu aku masih sangat muda. Dan belum mengenal cinta.

Begitu cinta berada dalam pelukanku badai jadi terasa sangat menyakitkan.

Saat umurku dua puluh tahun, ayahku menikahkan aku dengan Djenar. Pemuda dengan wajah dan perawakan mirip pangeran dalam cerita Sleeping Beauty yang musik pengiringnya selalu memenuhi kamarku tiap malam sejak aku masih kecil. Senyum dan sinr matanya menyenangkan hatiku. Tiap pagi dia mengucapkan good morrow dari sisi ranjangku dan membuatku merasa telah terbebas dari sihir. Dia menjadikan aku puteri walau aku bukan puteri.

Djenar menyuguhkan hidangan baru bagiku. Cinta. Cinta yang menghangatkan seperti selimut. Dia mengajariku mata pelajaran baru. Pelajaran menjadi perempuan. Yang rumit tapi menyenangkan. Dia memberiku rumah baru. Sangkar dari emas. Perkawinan. Yang pengap tapi membebaskan.

Aku bahagia.

Tapi Taufan tidak menyukai Djenar. Sang badai tidak mnyukai sangkar. Aku tak mengerti. Bukankah Djenar baik? Tapi Taufan tetap membencinya.

“Kau mengkhianatiku!” teriaknya. Sebuah sore yang indah. Matahari jingga berada di belakang punggungnya. Telapak kakinya meninggalkan jejak di antara tangkai bunga rumput berdaun lembut.

Ketika itu dia sendirian. Aku juga. Sedang Djenar, sang pemilik sangkar, tidak bersamaku. Badai datang dan aku tanpa sangkarku? Tenang. Bukankah aku ini burung? Aku bisa terbang menghindar.

“Aku tidak melakukan apa-apa,” kataku.

“Kau biarkan lelaki itu mengurungmu padahal kau adalah burung kecilku.”

“Tetapi dia suamiku.”

Kulihat bara api pecah di matanya. “Hanya aku yang boleh memilikimu. Badai. Aku.”

“Tetapi aku miliknya.”

Kudengar dia mengerang. Lalu tiba-tiba dia berubah menjadi tornado. Badaiku menjadi badai. Dia menggulung dan menghisap. Dan aku tepat berada di titik tengahnya. Biasanya aku menari disana tapi sekarang aku tidak suka. Jadi aku terbang menghindar. Tampak seluruhnya menyatu dengan badai untuk membinasakan aku. Tapi aku adalah pejuang sejati, jadi aku terbang, terbang dan terbang. Namun aku terlambat menyadari bahwa badai kali ini berbeda. Dia lebih kuat, lebih jahat dan lebih menghancurkan. Dia melingkupi duniaku sampai aku menjadi sesak, tulang-tulangku remuk dan akhirnya aku lumat menjadi serpihan sel-sel yang tercecer.

Ketika matahari tenggelam, saat dia menjadikan bajunya sebagai buluku dan kedua lengannya sebagai sayapku, kesadaran meninggalkan aku. Aku kehilangan seluruh kekuatan dan kemampuan untuk merasa. Aku adalah burung kecil yang telah terpatahkan sayapnya, tercabuti bulunya dan terbelit arus badai.

Aku terbangun di ranjang sang badai. Berharap semuanya hanya ilusi tapi di atas bantal aku menemukan bulu-buluku yang terburai. Rasa itu kembali menyerang seperti hantu.

Susah payah aku bangun dan mencari-cari pisau. Untuk mengiris nadiku sebagai hukuman bagi sang badai.

No comments: