Wednesday 21 September 2011

DALAM HUJAN



Oleh Yuni Kristyaningsih Pramudhaningrat


Sudah dua hari hujan terus turun namun sepertinya tak ada banyak orang yang merasa resah karena hujan itu. Tidak pernah ada ancaman banjir di daerah ini. Topografi berbukit-bukit meniadakan kemungkinan itu. Kalaupun terjadi banjir itu murni hanya masalah teknis saja, seperti misalnya bulan lalu, sesek di Kali Rondo Kuning yang memang sudah memplak-memplak terbalik hanya dua hari sebelum hari Minggu Kliwon – satu hari yang sejak turun temurun dijadwalkan sebagai hari kerja bakti desa- membuat sungai meluap, melongsorkan gampengan sawah bengkok bayan desa, menghanyutkan tanamannya dan membuat penduduk satu pedukuhan di daerah lembah sungai pada sore harinya sibuk membersihkan halaman rumah mereka dari ranting-ranting bis kucing, suket gajah, damen, tunas-tunas bawang merah dan macam-macam kotoran yang dihanyutkan air sungai itu. Seandainya rumahku tidak berada di pedukuhan itu, seandainya adikku tidak mengomel-omel karena tanaman portulaca kesayangannya hanyut, seandainya nenekku tidak ribut mencari dua bayi angsa yang baru berumur seminggu yang sepertinya harus dicatat sebagai dua korban makhluk hidup atau seandainya ayahku tidak menyuruhku menyirami halaman dengan air untuk menghilangkan lumpur, aku pasti tidak akan menyadari kalau kejadian itu ada.

Aku adalah orang yang termasuk dalam hitungan yang merasa resah itu. Aku sedang liburan selama dua minggu. Tapi karena di rumahku tidak mengenal liburan – bagi kami yang masih harus bersusah payah mencari beras untuk kami makan hari ini, liburan hanya privilege bagi orang-orang kaya- maka liburanku hanya berarti ‘pulang ke rumah’ atau lebih tepatnya ‘tambahan satu tenaga kerja’ dan aku dengan segera terlibat dalam kesibukan pekerjaan yang cukup kukuasai sejak aku kecil yaitu menjaga toko.

Di musim ini hujan memiliki kebiasaan turun pada sore hari. Kalau hujan turun dalam waktu yang biasa itu aku bisa mengatasi keresahanku, kalau hujan turun pagi atau siang hari keresahanku mengambil tempat secara harfiah. Orang-orang disini tidak suka berjalan di bawah hujan. Kalau hujan turun mereka secara otomatis akan menghentikan kegiatannya. Dan kalau kebetulan kegiatan mereka adalah berkunjung ke tokoku tentu itu membuat aku kesal. Karena terus terang satu-satunya hiburanku saat menjaga toko adalah memperhatikan para pembeli yang datang dan berkomunikasi dengan mereka.

Tapi hujan yang terus turun tanpa memperhatikan waktu memberiku pemahaman bahwa keresahan dan hiburan bagi hatiku tidaklah terlalu penting bagi Tuhan bila dibanding kebahagiaan orang-orang yang sedang mengurus baon mereka. Saat ini waktunya mereka tonjo jagung dan hujan yang turun menjadi pertanda awal akan keberhasilan usaha pertanian mereka musim ini.

Ini tempat yang tepat untuk belajar bagaimana bertawakkal kepada Tuhan. Aku berpikir begitu saat colt tua yang aku tumpangi –dalam perjalanan ke ibukota kabupaten untuk menemani nenekku kulakan- menurunkan sepasang suami istri di tempat yang disebut Bedengan. Jangan membandingkan orang mbau jaman sekarang dengan orang mbau jaman dulu. Penampilan mereka jauh beda. Mereka naik colt untuk pulang-pergi pada jam yang sama mirip pegawai masuk-pulang kantor. Dandanannya pun sedikit banyak miriplah. Si suami mengenakan setelan batik yang warnanya belum pudar, membawa sesuatu yang diuntil-until dengan karung plastik, menilik bentuknya sepertinya itu adalah cangkul dan sabit. Kalau saja yang membawa barang yang diperlakukan demikian itu adalah kakekku aku pasti akan berpikir alasan sepenuhnya adalah masalah keamanan, bahwa benda yang dibawa berpotensi melukai orang lain. Karena yang membawanya bukan kakekku aku berpikir cangkul dan sabit itu tidak dibawa dengan rasa bangga. Si istri membawa rinjing yang ditutupi dengan pethuk’an kain batik. Menurut pemiliknya –hasil dari kebiasaan nenekku mengajak ngobrol siapapun di dekatnya- isinya adalah ingkung pitik dan uba rampe untuk selamatan. Hujan sudah turun, benih dan pupuk sudah dibeli meskipun seperti yang sudah-sudah harganya secara misterius naik setiap kali musim tanam tiba sehingga para petani terpaksa berhutang, meski begitu sebuah harapan baru yang mengembang dengan indahnya sudah cukup menjadi alasan untuk mengundang teman dan kerabat untuk makan-makan, untuk mensyukuri hidup.

Ada aura kegembiraan di baon itu pada saat ini, pikirku. Ingkung pitik itu tandanya. Aku memandang ke arah hutan kayu putih yang terhampar dari jarak satu meter dari badan jalan hingga mencapai horison. Tanaman kayu putih dijaga supaya tumbuh hanya setinggi orang dewasa untuk memudahkan pekerjaan para pemetik daun kayu putih. Tiap pohon berjarak satu meter dari pohon yang lain. Pemerintah membiarkan warga sekitar hutan untuk memanfaatkan tanah kosong di sela-sela pohon kayu putih itu untuk menanam tanaman produktif seperti jagung, kedelai atau singkong. Hal itu menguntungkan warga yang tidak memiliki lahan dan kebanyakan hanya menjadi buruh tani. Pemerintah sendiri juga memperoleh keuntungan karena menurunkan biaya perawatan tanaman kayu putih. Petani yang mbau-lah yang merawat pohon-pohon kayu putih itu dan adanya kegiatan bercocok tanam menjadikan daunnya tumbuh lebat dan mudah dipetik. Dulunya para pemetik daun kayu putih itu mengalami jam-jam penuh kesengsaraan saat mereka memetik daun pohon yang berada di tengah hutan karena dikelilingi oleh belukar berduri. Sekarang mereka dapat bekerja dengan mudah.

Sejak kecil aku berpikir tempat itu indah bahkan dengan nuansa warnanya yang nyaris monokrom. Hijau di musim hujan, coklat kusam di musim kemarau. Orang-orang yang mbau itu sebagian mendirikan gubuk kecil di lahan bagian mereka. Gubuk mungil beratap genteng sisa –menilik warnanya yang hitam karena jamur dan gripis-gripis pinggirnya- dan dinding dari anyaman bambu. Dari dulu aku berpikir gubuk-gubuk itu terlihat sangat bersahabat. Sesuatu yang akan menyilahkanmu masuk dan memberimu segelas air dingin pada hari yang sangat panas. Kepada teman-temanku aku biasa membanggakan hutan kayu putih itu, menyebutnya sebagai semacam sanctuary, tempat dimana kau bisa mengajak anak cucumu berjalan-jalan menyaksikan matahari terbenam sambil mengajarkan nilai-nilai filosofis hidup. Tempat itu membuatku entah bagaimana merasa bahagia seperti kalau aku memandang lukisannya Renoir.

Di kawasan hutan kayu putih itu ada bagian kecil hutan, kira-kira radius 500 meter, yang ditumbuhi pohon-pohon besar seperti sengon, mahoni, akasia dan lain-lain. Tempat itu disebut Tambak Buntu. Orang tidak bisa membicarakan tempat itu tanpa menyinggung-nyinggung hal yang magis. Diceritakan bahwa nenek moyang kami, Raden Jayengrono, membuat tempat itu untuk membingungkan musuh. Tidak ada musuh yang menyerang daerah timur Ponorogo itu tanpa mengalami kekalahan dan rasa putus asa. Di masa revolusi baik pihak Belanda ataupun Jepang tidak pernah lama menaruh perhatian pada daerah di sebelah timur Tambak Buntu dan entah bagaimana dengan cepat merasa bosan dan segera angkat kaki tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti. Di jaman sekarang dipercaya orang-orang yang tumindak culika di daerah kami tidak akan bisa melarikan diri apalagi menikmati hasil kejahatannya, akan selalu tertangkap dalam hitungan jam saja. Terima kasih pada kesan magis itu karena membuat orang-orang enggan mengulurkan tangannya untuk memodernkan tempat itu. Ketika aku masih remaja, hutan itu menjadi tempat singgahnya burung-burung untuk kawin di bulan Mei, tempat pohon-pohon sengon laut memamerkan bunganya yang berwarna merah tua cerah di bulan Oktober dan lokasi karnavalnya kupu-kupu warna-warni di bulan Pebruari.

Nenekku mengajakku bicara dengan topik ‘gule opo soto’ ketika aku melihat ada beberapa pasang kupu-kupu beterbangan melintasi jalan. Time did go by, swiftly, mercilessly, at everywhere else, Dearest, but at our place, unspoiled as it was by any haste or rush of modernity. Aku bermaksud meng-sms-kan kalimat itu kepada sahabatku nanti malam sekedar untuk menularkan kebahagiaan. Aku mengalami momen-momen sentimentil dalam perjalanan pergi pagi itu dan mengira akan mengalami hal yang sama dalam perjalanan pulang sore harinya -mengingat perasaanku telah dimanjakan oleh kesempatan makan sate dan gule kambing di Pasar Songgolangit dimana penjualnya menyajikan makanannya seolah itu jangan tewel saja saking banyak dan besarnya potongan dagingnya dan juga karena kami mendapatkan semua barang-barang yang kami butuhkan- namun ternyata momen lain menungguku.

Aku dan nenekku bercakap-cakap dan bercanda tentang seorang sepupu yang melakukan hal absurd menggelikan beberapa hari sebelumnya dan menyenangkan diri kami sendiri dengan makan kerupuk rambak sepanjang perjalanan pulang. Bukan main riuhnya suara rambak itu beradu dengan gigi kami. Di dekat pabrik tapioka Tajug sopir menaikkan penumpang wanita yang menggendong rinjing kosong. Nenekku mengenalinya sebagai orang yang berjualan nasi keliling dan dengan segera mengobrol dengannya.

Di daerah Klego tahu-tahu hujan turun begitu deras sampai-sampai muncul kabut putih di kaca jendela. Sekitar lima ratus meter arah barat dari Tambak Buntu terlihat ada banyak sepeda motor dan dua mobil polisi parkir tak tentu arah di pinggir jalan. Tak tampak ada orang di dekat kendaraan-kendaraan itu. Kami mengira mungkin baru saja terjadi kecelakaan lalu lintas. Sopir memelankan laju kendaraan dan menyapa satu-satunya orang yang dia lihat.

Rame men eneng opo, Kang?” tanyanya membiarkan wajahnya tersiram hujan hanya untuk memuaskan rasa ingin tahu.

Eneng wong dibong,” jawab orang yang sedang melaju di atas sepeda motor itu.

Jawaban itu menimbulkan seruan kaget dari semua penumpang. Termasuk nenekku yang sepertinya baru saja memutuskan hendak tidur barang sekejap. “Omahe sopo sing kobong, Le? Jale tekok’o,” katanya tergagap. Barangkali baru ingat kalau ada seorang keponakannya tinggal di desa itu.

Sanes griyo, Mbah. Tiyang niku,” jawab sopir. Dia melongokkan kepala keluar sebentar. “Kok yo ora eneng wong liwat to. Gek piye lek arep takok.”

Kendaraan menaikkan penumpang lagi di desa Sukun. Anehnya di situ tidak turun hujan. Aspal dan tanahnya tidak memperlihatkan ada bekas hujan lebat yang baru turun. Dari orang yang naik itu diperoleh kabar bahwa ada orang yang dibakar di baon di barat Tambak Buntu.

Teman nenekku terlihat mau menangis. “Uwong kok dibong ki gek dosane opo?”

Penumpang yang lainnya berkata “Mulane udan terus pirang-pirang ndino. Kuwi mesti kersaning Gusti Allah nggo nyiram wong sing dibong kuwi.”

Tidak ada lagi penumpang yang naik hingga kami sampai di Pulung sehingga banyak pertanyaan kami yang belum mendapat jawaban. Tindak kriminal benar-benar hal yang sangat tidak lazim di tempat kami. Barangkali hal yang hanya didengar sekali atau dua kali sepanjang hidup. Tempat kami nyaris bisa dibilang seperti negeri antah berantah bernama Amarta yang saking amannya orang tidak merasa perlu mengunci pintu di malam hari dan semua binatang ternak tidak perlu diikat karena akan selalu pulang ke kandangnya masing-masing di sore hari tanpa diganggu oleh seorang pun. Kalau terjadi tindak kriminal itu pasti akan disebut sebagai owahing kahanan.

Sewaktu ayahku membantu menurunkan barang dagangan aku bercerita kalau kami melewati tempat yang menjadi lokasi kejahatan. Ternyata berita lebih cepat sampai pada ayahku. Dia telah mendengar berita itu dan korbannya adalah perempuan.

Semakin sore semakin banyak potongan-potongan kabar yang sampai kepada kami. Bahwa korbannya perempuan. Bahwa korbannya dibakar memakai bensin. Bahwa orang itu berasal dari desa Singgahan. Kira-kira jam empat sore ada seorang pedagang sayur keliling berhenti di depan toko kami untuk membeli tali rafia. Karena dia datang dari arah barat ayahku menanyainya tentang orang yang dibakar itu. Dia menyebutkan sebuah nama. Nenekku yang duduk di kursi sambil memegang botol air mineral tapi airnya masih tetap penuh sejak datang tadi berseru “Gusti Allah nyuwun pangapuro. Kuwi...(menyebutkan nama)?” Korban ternyata adalah teman sesama pedagang yang biasa menjual jeruk kepada nenekku. Setengah jam kemudian ada suami istri naik truk berhenti di depan toko kami dan membeli sekilo kacang hijau dan lima biji belimbing manis. Darinya kami mendengar cerita yang lebih jelas. Korban adalah seorang wanita yang dibunuh dalam perjalanan pulang dari membeli gabah. Motif pembunuhannya adalah perampokan uang dua puluh juta dan perhiasan yang sedang dibawa korban. Pelakunya adalah kuli panggul yang bekerja di tempat korban. Berkali-kali aku mendengar nenekku berseru “Gusti Allah nyuwun pangapuro...”

Malam harinya nenekku berbaring berbantalan tangannya di kasur busa angin tipis beralas kloso pandan di depan televisi dan tidak mengatakan apa-apa ketika anak cucu menantu dan kerabat -yang setiap harinya memang biasa datang sekedar untuk jagongan dan minum kopi di rumahku- ribut membicarakan tentang kejadian itu. Dia hanya menghela napas panjang ketika siaran televisi lokal menyiarkan berita pembunuhan itu dan memperlihatkan wajah si kuli pembunuh.

Saat subuh dia mengeluhkan kepalanya sakit dan aku mengantarnya pergi ke dokter. Penyakit darah tingginya kambuh. Aku membelikannya ubi goreng untuk teman minum obat dan saat aku mengupas kemasan obatnya, aku mendengar dia bergumam, “Wong jaman saiki...”

Beberapa hari kemudian aku kembali ke kota. Saat melewati hutan kayu putih itu entah bagaimana aku merasa keseluruhan tempat itu berubah. Berubah bagaimana aku tidak dapat menjelaskannya. Jika terjadi hal buruk dan hal itu mengubah pandangan indahku tentang sesuatu biasanya aku akan menangis meraung-raung untuk menghilangkan efeknya. Tapi karena aku sudah terlalu tua untuk menangis meraung-raung aku hanya memalingkan muka dan memandang ke arah aspal sepanjang hutan itu. Bahkan lama setelahnya aku masih selalu terbayang-bayang pohon-pohon kayu putih, gubuk beratap genteng, rerumputan yang mosah masih terinjak orang-orang dan garis polisi yang mengelilinginya. Wong jaman saiki...


Catatan:

  • Sesek : jembatan dari bambu

  • Memplak-memplak : rusak hingga hampir tidak bisa dipakai

  • Gampengan : bagian sawah yang berada di dekat perairan (sungai), strukturnya mirip tebing, biasanya ditanami tanaman yang bisa mencegah erosi

  • Sawah bengkok : sawah yang diberikan kepada perangkat desa sebagai pengganti gaji. Sawah ini dapat dimanfaatkan tapi tidak dapat dijual. Biasanya lokasinya sama sejak jaman dulu. Jika seorang perangkat desa meninggal atau habis masa jabatannya sawah ini dikembalikan kepada desa dan akan diberikan kepada orang yang menggantikannya

  • Bayan : salah satu sebutan bagi perangkat desa

  • Bis kucing : tanaman berduri yang biasa digunakan sebagai pagar. Daunnya merunduk kalau disentuh dan memiliki bunga berwarna ungu indah. Nama latinnya adalah Mimosa pudica

  • Suket gajah : sejenis rumput dengan batang dan daun yang besar. Biasa ditanam untuk mencegah erosi dan dimanfaatkan untuk makanan ternak.

  • Damen : batang padi kering sisa panen

  • Portulaca : tanaman penutup tanah, batangnya berair, daunnya runcing berlapis lilin, bunganya indah berwarna-warni

  • Baon : bagian hutan yang dimanfaatkan petani untuk menanam tanaman produktif

  • Tonjo : menanam benih

  • Colt : kendaraan roda empat, merupakan satu-satunya kendaraan umum yang ada untuk jurusan Pulung-Ponorogo. Salah satu merk yang saya kenal adalah Mitsubishi T 120.

  • Kulakan : membeli grosir untuk tujuan dijual kembali

  • Mbau : kata kerja untuk baon, mengolah tanah baon

  • Diuntil-until : dibungkus dengan rapat, cara membungkusnya cenderung berlebihan

  • Rinjing : keranjang dari bambu yang dianyam rapat, berfungsi hampir seperti tas, hanya dibawa dengan cara digendong di punggung, merupakan barang bawaan yang lazim bagi perempuan-perempuan yang bekerja di pasar atau di ladang yang letaknya jauh dari rumah

  • Pethuk’an : kain persegi biasanya dari batik yang digunakan sebagai penutup atau pembungkus sesuatu

  • Ingkung pitik : ayam yang dimasak dalam keadaan utuh tanpa jerohan, dipanggang di atas bara api, untuk memberinya rasa kadang-kadang dimasukkan dalam kuah santan

  • Uba rampe : macam-macam barang untuk perlengkapan suatu acara

  • Gripis-gripis : aus dimakan usia

  • Tumindak culika : berbuat jahat

  • Jangan tewel : sayur nangka muda

  • Kerupuk rambak : kerupuk yang terbuat dari kulit sapi

  • Rame men eneng opo, Kang? : bahasa jawa dialek Ponorogo. Artinya: Ramai sekali ada apa, Kang?

  • Eneng wong dibong : Ada orang dibakar

  • Omahe sopo sing kobong, Le? Jale tekok’o : Rumahnya siapa yang kebakaran, Le? Coba sana tanyakan.

  • Sanes griyo, Mbah. Tiyang niku.... Kok yo ora eneng wong liwat to. Gek piye lek arep tekok : Bukan rumah, Mbah. Itu orang.... Kok ya tidak ada orang lewat. Terus bagaimana mau bertanya.

  • Uwong kok dibong ki gek dosane opo? : Orang kok dibakar itu dosanya apa?

  • Mulane udan terus pirang-pirang ndino. Kuwi mesti kersaning Gusti Allah nggo nyiram wong sing dibong kuwi : Pantas saja hujan terus turun beberapa hari. Itu pasti kehendak Gusti Allah untuk menyiram orang yang dibakar itu.

  • Owahing kahanan : berubahnya keadaan

  • Gusti Allah nyuwun pangapuro. Kuwi...: Gusti Allah mohon ampun. Itu...

  • Kloso pandan : tikar dari anyaman daun pandan liar

  • Jagongan : duduk-duduk sambil mengobrol

  • Wong jaman saiki : orang jaman sekarang

  • Mosah masih : berantakan

  • Hutan di desa Sukun, kecamatan Pulung dan desa Tajug kecamatan Siman, Kabupaten Ponorogo adalah hutan homogen yang berisi tanaman kayu putih. Hutan ini pengelolaannya berada dibawah KPH Madiun. Di tengah-tengahnya berdiri Pabrik Minyak Kayu Putih (PMKP) Sukun.

  • Kasus pembunuhan dalam cerita ini terjadi sekitar bulan Maret 2011, menimpa seorang pedagang kaya yang kebetulan adalah teman sebaya nenek saya

Cerpen ini dimuat di majalah sastra Horison edisi September 2011

SEBUAH PERTANYAAN


Oleh Yuni Kristianingsih Pramudhaningrat


‘Apakah yang kita jalani ini cinta?’

Sebuah jeda yang lama.

Pertanyaan itu terkesan di hatinya seperti sewaktu melihat adegan seorang pemburu berdiri di tebing es berhadapan dengan beruang dalam film Brother Bear. Antara pemuda yang ingin melindungi adiknya dan beruang yang ingin melindungi anaknya sama-sama punya alasan untuk melakukan segala cara agar keluar dari tebing itu dalam keadaan hidup. Dia dan ia persis seperti pemuda dan beruang itu. Namun pada akhirnya salah satu harus membuat pecahan es untuk mengakhirinya. Pertanyaan itu adalah tebing es itu sementara dia sungguh tidak ingin menjadi Sitka.

*

‘Aku baru saja melihat Ingram dan Heathcliff. Mereka berdua sedang duduk mengobrol sambil berpegangan tangan. Jantung mereka berdetak seperti irama waltz. Aku senang setidaknya jantung mereka tidak seperti jantungku. Jantungku bersuara seperti debur ombak. Seperti apa suara detak jantungmu?’

Ia menderita Mitral Valve Prolapse Syndrome, sebuah penyakit jantung dimana penderitanya sering mengalami cronic fatigue dan sebuah gejala ringan sering berakhir dengan kematian yang tiba-tiba.

‘Suara mesin jahit.’

Dia memiliki jantung yang sangat sehat dan kelihatannya masih mampu berdetak untuk waktu yang lama.

*

‘Baik-baik saja?’

‘Sayangnya aku masih hidup meski tidak ada alasan untuk hidup.’

‘Itu bagus.’

‘Apanya?’

‘Banyak orang terlalu mencintai kehidupan. Itulah yang menjadikan dunia ini tidak lagi nyaman untuk ditinggali. Kalau berkurang satu orang yang begitu bukankah itu bagus?’

Ia kehilangan putera kembarnya yang masih berumur tujuh bulan dalam kandungan. Ini sudah yang keempat kalinya. Ia dibuahi dalam jeda waktu dua tahun dan selalu tidak mampu melahirkannya. Dia membuahi istrinya dalam jeda waktu dua tahun dan istrinya selalu berhasil melahirkan hasil pembuahannya.

*

This illness is rapidly consuming my life towards the close. But always never to close to send me to the grave as I want.’

Ia menghabiskan lebih dari empat bulan dalam satu tahun di rumah sakit hampir di setiap tahun di dalam hidupnya. Dia tidak pernah sudi menginjakkan kaki di rumah sakit dan selalu tidak punya keperluan disana.

‘Kenapa ingin sekali pergi ke kuburan? Memangnya ada apa disana?’

‘Barangkali suatu tempat untuk tidur nyenyak. Aku jarang bisa tidur.’

Disana tidak akan ada jendela. Bagaimana kau bisa tidur tanpa membuka jendela?’

‘Belum pernah kupikirkan sebelumnya.’

Makanya setidaknya sembuhkan dulu claustrophobia-mu itu sebelum pergi kesana.’

Ia selalu memiliki selera humor yang aneh mengenai kematian. Dia selalu menanggapi keanehannya itu sebagai sesuatu yang lucu.

*

Dia pergi ke Kyoto pada musim gugur dan tinggal disana sampai musim semi. Ia pernah tinggal bersama bibinya di Kyoto selama satu tahun untuk belajar bahasa Jepang. Dia meminta alamat bibinya di Kyoto. Ia tidak memberikan alamatnya. Dia menganggapnya menjengkelkan tapi dia mengiriminya foto hutan Kitayama.

Suppose we were walking hand in hand down one of the long roads underneath momiji trees canopy (I do like momiji tree in autumn). If we were, I really think it would be more than a moment of esteem. And if I lucky enough, maybe, you will kiss me,’ adalah tanggapan wanita itu.

‘Kiss’ adalah kata yang tidak pernah ia gunakan sebelumnya. Dia berpikir wanita itu sedang sakit.

Do you want me to kiss you?’

And do you?’

‘Hmm. Dimana kau ingin dicium?’

‘Di tempat-tempat yang pantas.’

‘Hahaha… I’ll think about it.’

And I’ll gather my luckiness.’

*

‘Apakah yang kita jalani ini cinta?’

Sebuah jeda yang lama.

*

Dia selalu menyukai mainan. Dia membentuk dunia bersama mainan-mainan itu, sebuah dunia tanpa ada berat atau ringan. Secara perlahan dan diam-diam dia menggunakan dunia itu untuk melindunginya dari rasa sakit dan penderitaan. Bagian paling tidak menyenangkan dari sebuah mainan adalah ketika dia harus beranjak dan menempatkan kembali mainan itu ke tempat penyimpanannya. Pertanyaan itu seperti alarm penunjuk bagi saat itu.

*

‘Aku membaca cerpenmu.’ Dia berkata dan menyebutkan sebuah judul.

Ia mengaku tidak memiliki ketertarikan apapun di dunia ini. Ketertarikan yang disebut-sebut orang sebagai ambisi. Ia hanya melakukan apa yang ia suka atau ia kira ia sukai. Ia suka menulis cerpen dan puisi. Kadang-kadang redaktur di surat kabar dan majalah cukup berbaik hati untuk memuat tulisannya. Dan setiap kali itu terjadi ia merasa pengakuannya mungkin salah, barangkali ia punya sedikit ambisi.

Dia suka sekali membaca. Jika sedang malas dia dapat tidak beranjak dari tempat tidurnya sepanjang hari asal dia masih berada di hadapan komputernya. Dia dapat saja lupa apa sarapan yang diantarkan istrinya padanya tapi dia sering tidak dapat lupa apa yang sudah dia baca. Dia tidak mengerti tentang puisi ataupun sastra, tapi kalau sedang bosan dia mengetik namanya di search engine-nya Google dan menemukan tulisannya. Dia membacanya satu atau dua kali.

‘Kan sudah kubilang jangan membaca tulisanku.’

‘Kau tahu aku tidak suka disuruh-suruh.’

‘Aku menulisnya untukmu. Maaf ya.’

‘Kenapa minta maaf?’

‘Barangkali saja kau berpikir aku mempermalukanmu. Menggunakan kenangan tentang orang lain untuk menulis bukankah seperti memotret orang yang kecelakaan lalu dapat penghargaan padahal orang yang kecelakaan itu mati di hadapannya?’

‘Kau memandang rendah dirimu sendiri.’

‘Karena di satu sisi ‘menyampaikan fakta yang benar’ sementara di sisi lain ‘mendapat kesenangan pribadi’, begitu? Iya, tentu saja.’

Dia tertawa. ‘Aku bahkan tidak mengerti dengan apa yang kau sebut membuat malu itu.’

Tapi kalau disuruh memilih aku lebih suka menuliskan kenangan daripada yang lain. Waktu kita hanya berputar antara apa yang sedang kita lakukan bercampur baur dengan kenangan dan harapan. Apa yang sedang kita lakukan, masa kini kita, our moment, kadang berlalu begitu cepatnya dan sebentar saja sudah menjadi kenangan tanpa kita sadari. Harapan, sebagai wakil masa depan, seperti parfum. Jika kualitasnya baik akan meninggalkan jejak kedirian kita yang kalau ditelusuri akan membuat kita sampai pada diri kita sendiri, jika kualitasnya buruk hanya akan mengaburkan jejak itu, meskipun aku sering berpikir yang kualitasnya baik maupun yang tidak sama-sama sering dipakai untuk menutupi sisi buruk kita.’

‘Kupikir karena tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian itulah yang menjadikan hidup ini menarik. Itulah kenapa harapan itu penting. Membuat orang berpikir dia punya kemungkinan untuk mampu melakukan apa saja. Memiliki kemungkinan bagiku jauh lebih penting daripada benar-benar melakukannya atau tidak.’

*

‘Apakah yang kita jalani ini cinta?’

Sebuah jeda yang lama.

*

Ia menyukai dunia mimpi. Dunia dimana semua dongeng sah-sah saja untuk ada. Dunia dimana dia mendapat hak untuk membekukan masa kanak-kanaknya yang indah. Meski bukan luka-luka nyata tapi ia telah banyak menerima luka-luka semacam itu dari kehidupannya. Di dalam mimpi dia bisa berteman dengan para peri dan mengubah luka-luka itu menjadi hilang dalam kejapan mata. Ia menganggap dia adalah salah satu peri itu.

*

‘Aku bermimpi.’ Ia memulai percakapan.

‘Apa?’

‘Aku telah dikubur lama sekali. Kau selalu mengunjungi kuburanku tiap minggu. Kau mengetuk nisanku, memanggil namaku dan aku akan keluar. Mataku penuh dengan tanah. Kau biasanya menyeka tanah itu dari mataku. Suatu hari kau pergi jauh dan sedang bersama wanita lain. Minggu-minggu berlalu dan sepertinya kau lupa mengunjungiku. Aku takut kau datang pada saat aku sedang tidur jadi aku tidak mau tidur. Suatu hari akhirnya kau datang. Aku begitu lelah karena kurang tidur. Waktu kau mengetuk nisanku dan aku keluar, aku tampak sangat buruk rupa dan kau kelihatan kecewa.

“Kau kelihatan tidak sehat,” katamu. “Kenapa?”

“Aku tidak bisa tidur,” jawabku.

“Kau perlu istirahat yang baik selama sebulan,” katamu.

Kemudian kau pergi dan aku kembali masuk dalam kuburanku. Aku tahu aku tidak akan bisa tidur selama sebulan penuh dan pada saat kau kembali nanti, aku akan lebih buruk rupa dari itu, dan kau akan makin kecewa.’

‘Kau terlalu banyak pikiran.’

‘Menurutmu begitu?’

‘Kau memikirkan segala sesuatu padahal kau tidak harus melakukannya.’

‘Kupikir aku tidak bisa menanggung rasa cinta.’

‘Menurutmu begitu?’

‘Aku ingin bertemu denganmu.’

Mereka tinggal terpisah sangat jauh. Sebuah perjumpaan, barangkali misalnya secara tanpa sengaja bertemu dan menyapa di jalan saat mereka pergi makan siang, rasanya hanya akan dapat terjadi setelah Tuhan sendiri yang ikut campur.

Bisakah?’

Terhadap pertanyaan ‘bisakah?’ itu bahkan mereka sendiri pun tidak tahu jawabannya.’

*

‘Apakah yang kita jalani ini cinta?’

Sebuah jeda yang lama.

Selalu saja sebuah jeda yang lama.



Catatan:

  • Kata ganti orang ketiga tunggal yang digunakan dalam cerpen ini adalah dia dan ia. Kata dia menunjuk pada tokoh pria dan kata ia mengacu pada tokoh wanita

  • Mimpi tentang kuburan dikutip dari mimpi Teresa di dalam novel The Unbearable Lightness Of Being karya Milan Kundera.

Cerpen ini dimuat di www.sastradigital.com edisi september 2011