Wednesday 26 March 2008

LAKI-LAKI NOMOR DUA


Oleh Yuni Kristianingsih


Sore itu aku melihatnya duduk di bangku paling belakang di kelas Fisiologi Tumbuhan. Dia memakai gaun berwarna hijau tua dan topi putih berhias pita lebar dari satin berwarna hijau. Aku tidak pernah melarah siapa pun memakai apapun di dalam kelasku tapi bibir berwarna seperti kelopak bunga azalea itu nyaris membuatku tidak bisa mengajar. Aku mengakhiri pelajaran setengah jam lebih awal dengan alasan bahwa mendadak aku merasa sakit.

Satu menit setelah mahasiswa terakhir meninggalkan ruangan, dia beranjak dari kursinya. Kukira dia ingin menghampiriku tapi ternyata dia benar-benar hendak melewati pintu.

"Tidak ingin bicara denganku?" tegurku.

Dia berhenti. "Tidak."

"Kenapa? Bukankah kamu sudah datang?"

"Aku hanya ingin melihatmu."

"Lalu?"

"Aku kan sudah melihatmu."

Dia benar-benar tidak punya perasaan.

"Kamu ini," keluhku. "Kau pikir apa aku bisa melihatmu lalu tidak terjadi apa-apa dengan diriku?"

"Seharusnya kan begitu."

"Tapi kenyataannya kan tidak begitu."
"Aku pulang."

Dan kerena dia benar-benar hendak pulang dan karena benar-benar telah terjadi sesuatu pada diriku, aku menariknya ke dalam pelukanku. Lalu sisa sore itu aku habiskan bersamanya pada sebuah tempat paling nyaman di rumah kontrakanku. Ranjangku.

Wanitaku. Cantik dan agak naif. Kadang terlihat seperti boneka yang dipasangi busana yang sangat serasi. Kali ini hijau. Gaun hijau, tas hijau, sepatu hijau, perhiasan zamrud. Beberapa waktu yang lalu putih. Gaun putih, tas putih, sepatu putih, perhiasan mutiara. Lain kali mungkin ungu. Gaun ungu, tas ungu, sepatu ungu, perhiasan dari batu amethyst. Melihatnya seperti sedang melihat-lihat pameran lukisan di galeri seni. Indah.

Namun selalu saja setelah segalanya berlalu aku merasa agak tidak enak hati. Selalu saja setelah cinta melambungkan aku ke bintang cinta kemudian menghempaskan aku ke dasar neraka. Bersamanya seperti mengkonsumsi narkoba namun dengan kesadaran penuh. Apa tidak gila namanya?

Aku tidak bohong ketika kukatakan tadi aku mendadak merasa sakit. Kalau dikaitkan dengannya rasa sakit adalah lingkaran setan. Aku kesakitan kalau dia tidak ada. Aku juga kesakitan ketika dia datang. Aku tidak tahu mana yang lebih menyakitkan, apakah sakit karena rindu atau sakit karena takut berpisah. Rasa sakit yang satu menjadi sebab rasa sakit yang lain bahkan kadang aku tidak tahu mana yang sebab mana yang akibat. Seperti lingkaran yang tak berujung pangkal. Sedangkan dia? Dia memberi obat pada satu rasa sakit lalu menimbulkan rasa sakit baru. Aku harus bersabar sampai dia memberiku obat lagi lain waktu. Kesabaran yang sungguh konyol. Tapi aku memang tak bisa berbuat lain selain sabar. Aku harus tahu diri. Sungguh, aku selalu tahu diri, bahkan meskipun aku tidak mengerti kenapa aku harus tahu diri.

Bulan lalu dia pergi ke Peracis Selatan. Aku membujuknya dengan segala cara agar tidak pergi tapi dia tetap pergi hanya karena punya kewajiban memenuhi undangan salah satu kerabat suaminya untuk berkunjung ke kediaman mereka di Eze. Tapi kurasa itu hanya alasan suaminya saja. Pria itu jelas akan sangat bangga jika dia pergi ditmani bonekanya yang paling elok. Wanitanya. Wanitaku. Brengsek!

Sewaktu dia berpamitan aku ngamuk-ngamuk. "Pergi saja ke neraka!" teriakku. "Aku tidak akan memikirkanmu! Tidak akan!"

Namun aku tidak bisa melakukan itu. Pada kenyataannya tiap malam aku membiarkan komputerku menyala dan menunggu-nunggu email darinya. Dia berjanji meluangkan waktunya untuk menulis surat padaku. Untuk sementara aku menanggap itu merupakan wujud kebaikan hati.

Dia bercerita tentang bunga mimosa yang sedang bermekaran di St Raphael, jambangan Roman Etruscan bernuansa warna biru yang dia beli di Antibes, bunga violet yang mengharumkan jalan-jalan di Nice, pohon zaitun berusia lebih dari seribu tahun di Beaulieu, petak-petak geranium merah yang menghiasi taman di hotel kecil tempatnya menginap di tanjung Cap Estel, dinding batu tempat dia dapat duduk menghadap ke laut dan mencium wangi mawar liar di Eze, yacht-yacht mewah yang memenuhi pelabuhan di Monte Carlo, laut mediterania yang sebiru safir dan ngarai-ngarai yang penuh dengan bunga anemone.

Pada semua tempat yang dia sebutkan mungkin suaminya menciumnya ratusan kali dan mengucapkan kata cinta jutaan kali. Aku benar-benar cemburu.

"Kau segala-galanya bagiku," kataku sambil merasai kelembutan rambutnya di bahuku. Dari jendela kulihat langit berwarna jingga. segalanya terlihat mengagumkan dalam kesuraman senja.

"Aku tahu. Terima kasih."

"Tapi aku bukan segala-galanya bagimu."

"Oh, please..."

"Pada kenyataannya begitu. Berapa kali kau memikirkan aku dalam sehari? Masih bisa dihitung kan? Aku? Tidak mungkin lagi dihitung!"

"Aku memikirkanmu."

"Ya. Hanya kalau kau sedang ingat kalau kau harus memikirkan aku. Lainnya tidak."

Kami biasa bertengkar meskipun saling berpelukan, biasa berpelukan meskipun saling bertengkar.

"Kau membuatku merasa jadi pecundang."

"Kamu bukan pecundang."

"Tapi aku merasa begitu."

"Kamu bisa tidak merasa begitu."

"Tapi aku tidak bisa."

"Kamu bukan tidak bisa tapi tidak mau."

"Aku benci. Kau egois."

"Aku juga benci. Kau pembohong."

"Aku tidak pernah berbohong padamu."

"Katamu kamu mencintaiku apa adanya. Katamu cinta tidak perlu memperhatikan hal lain. Katamu kita tidak perlu peduli kita akan berakhir di mana dan bagaimana. Nyatanya?"

"Aku laki-laki bajingan."

"Aku wanita jalang."

'Kau bukan wanita jalang!" protesku dengan marah.

"Kamu juga bukan laki-laki bajingan!"

Aku menatapi langit senja lalu dirinya. "Kita saling mencintai."

Kadang orang mengatasnamakan cinta untuk memenjarakan pikiran-pikiran bebas kekasihnya. Aku mencoba untuk tidak masuk dalam golongan itu meskipun sebenarnya aku ingin.

"Ya. Kita saling mencintai."

Tak ada yang bisa kulakukan selain percaya.

***

Sering aku bertanya kapankah hidup tidak berkaitan dengan masalah prioritas. Selalu ada yang masuk urutan pertama atau kedua atau entah keberapa. Atas dasar apa pemilahan-pemilahan itu? Besarnya kepentingan? Besarnya kewajiban? Aku benci sekali. Apakah hanya karena aku datang belakangan dalam hidupnya lalu aku jadi yang kedua?

Mengapa aku disebut tak berhak menjadi lebih penting dari pria itu, sementara aku menyimpan cinta dalam setiap selku, dalam setiap napasku, dalam setiap serat syarafku? Tidak pentingkah itu semua?

Sering di pagi hari aku bangun dan menyebut diriku tolol. Di luar sana kemungkinan untuk jatuh cinta adalah satu kali per menit atau bahkan lebih cepat dari itu. Ada orang yang jatuh cinta setiap hari pada orang yang berbeda. Ada yang jatuh cinta pada beberapa orang sekaligus pada saat bersamaan. Ada yang jatuh cinta untuk melupakan cinta yang lalu. Ada yang jatuh cinta untuk kemudian melupakannya. Tapi kenapa aku jatuh cinta, mencintai lalu tidak bisa lupa? Bukankah itu bodoh namanya?

mencintai seseorang bukanlah hal yang memalukan. Jiwaku selalu memakai pernyataan itu sebagai pembenaran dan tameng pertahanan diri. Bahkan terhadap celaan yang muncul dari pikiranku sendiri.

***

"Aku mendapat beasiswa ke Jerman."

Itu adalah sore yang lain yang masih bisa kami nikmati bersama. Sore yang rasanya lebih berharga daripada segenggam berlian seperti yang dia gunakan untuk berhias ketika itu.

"Kapan berangkatnya?"

"What a question!"

"Memangnya kamu berharap aku akan mengatakan apa?"

"Jangan pergi or something like that. Tidak perhatian amat sih?"

"Misalkan aku benar-benar mengatakan itu aku tidak yakin kalau kamu akan menganggapnya sebagai bentuk perhatian."

"Tapi dengan mengatakan itu aku jadi tahu kalau kau enggan berpisah denganku."

"Aku selalu enggan berpisah denganmu."

"Oya? Kenapa aku tidak melihatnya?"

"Itu karena kamu hanya melihat ke arah dirimu sendiri saja."

"Aku kan hanya manusia biasa."

"Hahaha..."

"Mengapa sekali saja aku tidak bisa, tidak boleh berharap memilikimu untuk diriku sendiri? Apa itu terlalu berlebihan?"

"Maafkan aku."

"Apa kau tahu? Kalau aku cukup waras seharusnya aku mencekikmu agar hilang semua kekacauan dalam hidupku."

"Kenapa tidak kamu lakukan?"

"Karena aku memang tidak waras," jawabku. "Lagipula apa yang kudapat dengan berbuat begitu? Paling-paling setelah kau mati aku lalu bunuh diri. Aku tidak sudi mati seperti itu."

"Hahaha..."

"Jangan tertawa!"

"Hahaha..."

"Kubilang jangan tertawa!" Kubungkam mulutnya dengan mulutku. Dua tahun mengenalnya aku tetap dapat mendengar tawanya yang kekanak-kanakan yang membuatku jatuh cinta dulu.

"Kamu pria yang baik."

"Apa?"

"Kamu memikirkan tentang kita. Selalu memikirkannya. Padahal tidak memikirkannya pun tidak apa-apa. Kamu sungguh pria yang baik."

Andai kebaikan dapat dirumuskan dengan cara itu. Tapi apapun yang kami lakukan kami tahu seperti apa pandangan masyarakat: kami bukan orang-orang yang baik. "Demi Tuhan, maukah kau pergi bersamaku?"

"Aku tidak bisa meninggalkan keluargaku."

"Kita akan bahagia di sana."

"Aku tahu."

Bahkan sebelum semua ini dimulai aku telah tahu bahwa aku bukanlah sesuatu yang akan dia pilih meskipun pada kesempatan terakhir. "Seharusnya aku memang tidak perlu mengajakmu."

"Maafkan aku."

"Keluarga. Nama baik. Ya, ya, aku tahu. Aku tahu."

"Maafkan aku."

Namun sore itu aku terlalu marah hingga mengusirnya.

Hari ini aku berangkat. Kemarin atau kemarinnya lagi kami tidak bertemu. Kenyataannya bahwa tidaklah penting mengingat apa menu makan malam kita beberapa hari lalu membuat dadaku sakit.

Hingga saat terakhir, kudengar suaranya memanggilku. "Aku tidak perlu diantar," kataku saat melihat dia hanya membawa tas tangan mungil. Hari ini dia berwarna hitam. Gaun hitam, tas hitam, sepatu hitam, topi hitam, mutiara hitam.

"Apakah aku tidak boleh menangis?" tanyanya dalam rangkulanku.

"Tidak, kau jelek kalau menangis," jawabku padahal seperti yang dikatakan penyair, kecantikan wanita makin bersinar oleh air mata.

"Pulanglah dengan selamat."

"Apa itu penting?"

"Tutup mulutmu." Kurasakan kemejaku menghangat oleh air matanya.

"Maafkan aku."

"Pokoknya harus pulang dengan selamat. Harus pulang dengan selamat."

"Ya, ya," bujukku. "Aku pasti pulang dengan selamat. Aku janji."

Sebuah pelukan. Sebuah ciuman. dengan itulah aku pergi. Aku mungkin telah tidak waras. Tapi cinta memang bukan urusan waras atau tidak waras. Aku mencintainya dan aku tahu aku akan tetap mencintainya, bahkan meskipun aku tahu dia bukan hanya milikku.

Malang 11 Mei 2004

Catatan:


  • Pendeskripsian tentang Perancis selatan terinspirasi oleh penggambaran daerah Riviera dalam novel An Angel in Hell karya Barbara Cartland


  • Ungkapan segalanya terlihat mengagumkan dalam kesuraman senja diambil dari Stray Birds karya Rabindranath Tagore

Cerpen ini pernah dimuat di Majalah sastra Horison edisi Agustus 2005