Tuesday 18 December 2007

LUKISAN SENJA


Oleh Yuni Kristianingsih



"Bolehkah aku menikahimu?" Sepupunya bertanya.

Sore itu langit dilukis dengan campuran warna merah dan kuning keemasan. Gayatri ingin terbang ke bola ruby raksasa itu dengan sayap cahaya yang indah tapi persekongkolan antara tubuhnya dan rasa sakit memaku dirinya pada sebuah kursi mekanis beroda, mematahkan keinginannya untuk menjelajahi langit.

"Aku minta maaf."

Sepupunya yang berjongkok di depannya itu bernama Elan. Seseorang yang diharapkan memiliki semangat juang dan mengharamkan kata menyerah. Seperti arti namanya. Tapi angin pantai yang dingin dan mata kelam itu membuatnya terperangkap dalam labirin misteri tanpa jalan keluar. "Aku mencintaimu," katanya.

"Dan aku juga."

Mata itu memandang entah kemana. Mungkin pada ombak putih susu yang datang bergulung silih berganti. Mungkin pada cakrawala yang mulai berwarna jingga. Atau mungkin juga dia tidak melihat kemana-mana.

"Apa yang sedang kau pikirkan?"

"Aku memikirkanmu. Aku memikirkan diriku sendiri. Aku memikirkan hal-hal yang indah."

Elan menggenggam tangannya.

"Bisa jadi kematian itu tidak menakutkan seperti yang kita duga. Mungkin malah membahagiakan. Pernahkah kau berpikir begitu?"

Genggamannya bertambah erat. Dia melakukannya bukan untuk memberi kekuatan tapi untuk mendapatkan kekuatan. Agar dia tidak menangis. Agar dia tidak menceburkan diri ke laut.

"Kadang kupikir tempatku bukan disini. Tempatku jauh. Jauh sekali."

"Tempatmu di sampingku."

Gayatri termenung. Melamun. Tapi Elan seperti dapat melihat gumpalan-gumpalan doa keluar dari hatinya lalu terbang menembus langit. Elan merasa tersisih. Terjungkal oleh kesedihan.

"Kau sangat egois, Sepupu," katanya hampir menangis. "Teganya kau meninggalkan aku."

"Apakah aku pernah meningggalkanmu?" Gayatri balik bertanya dan itu seperti sebuah pukulan bagi Ealan. Ya. Sepupunya tak pernah meninggalkannya. Dia selalu ada disana untuknya. Bahkan saat semuanya menentang hubungan mereka. Dia selalu ada di tempatnya. Tak pernah kemana-mana. Tak pernah memandang siapa-siapa. Bahkan juga saat Elan sendiri menyerah dan pergi.

"Seharusnya waktu itu aku membawamu bersamaku." Tapi saat itu dia bahkan tak punya cukup kekuatan untuk menopang diriya sendiri. Adalah salah besar jika meletakkan sehelai bulu di tempat berangin kencang dan berharap bulu itu tetap di tempat semula.

"Apa hal itu begitu mengganggumu?" Suara lirih itu menunjukkan sekian banyak maaf yang dia cadangkan untuk Elan. "Kamu toh sudah pulang."

Elan tertawa sekalipun sebenarnya dia menangis. "Sialan kau, Sepupu, selalu membuat aku bergantung padamu."

"Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan."

Gayatri sendiri tidak mengerti kenapa dia bisa melewati segalanya dengan mudah. Dia memang sempat merasa sedih tapi ada lebih banyak kebahagiaan yang menerangi hatinya. Dia tahu apa artinya mencintai dan tak membiarkan kebencian dan kesedihan merusaknya. Dia sangat bersyukur karenanya.

"Apa aku membuatmu sedih?"

Tidak. Tentu saja tidak. Kalaupun ada yang membuat Elan sedih maka itu adalah keadaan dan nasib dan waktu.

"Kau ingin aku minta maaf?"

Sejak kapan yang tidak bersalah harus minta maaf. Sejak kapan cinta membolakbalikkan keadaan? "Aku tidak menyalahkanmu tapi aku memang tidak mengerti. Bisakah kau buat semua ini jadi mudah untukku?"

Dia memandang sepupunya yang pucat. Merasa melihat lilin yang panjangnya tinggal beberapa mili. Tapi nyalanya tetap terang seperti biasanya.

"Jangan memandangku seperti itu." Gayatri menegurnya. "Matamu sangat ekspresif. Jangan. Jangan menatapku begitu. Kau membuatku merasa berdosa."

"Aku mencintaimu."

"Terima kasih."

"Kenapa? Aku hanya ingin bersamamu. Kenapa tidak boleh?" Elan ingin bersamanya menghadapi saat-saat terapi yang menyakitkan. Dia ingin mengucapkan selamat malam sebelum Gayatri tidur. Dia ingin memeluknya sampai ujung malam. Sampai waktu yang tersisa untuk mereka habis.

"Aku benci mengucapkan selamat tinggal. Rasanya lebih menyakitkan dari apapun." Kalaupun harus pergi Gayatri ingin pergi bersama kenangan indah tentang sepupunya dan bukannya diiringi tangis atau ucapan selamat tinggal. Dia akan selalu merasa telah meninggalkannya seorang diri. Dan baginya itu seperti sebuah dosa yang tak terampuni.

"Ingat tidak? Waktu kecil aku sering berlari mengejarmu di pantai ini. Sebenarnya kamu tidak jauh dariku dan juga tidak berlari. Tapi aku selalu mengejarmu. Kau tahu kenapa?"

"Kenapa?"

"Karena aku takut kalau-kalau kau akan tiba-tiba menghilang begitu saja. Lucu, ya?" Elan sebenarnya sangat posesif tapi dia sendiri tidak menyadarinya. "Kalau sudah menggenggam tanganmu rasanya baru bisa tenang." Dia menempelkan tangan Gayatri ke pipinya. "Bisakah, bolehkah aku pergi bersamamu?"

"Aku tahu kau lebih kuat dari siapapun." Jemarinya menyusup di sela-sela rambut Elan. "Tahu tidak? Aku suka melihatmu dari kejauhan. Kelihatan indah seperti lukisan. Aku sangat suka lukisan."

Angin laut yang beruap garam menggumamkan lagu sedih. Elan menyandarkan kepalanya di lutut sepupunya dan tak tahan untuk tidak menangis. "Jangan bicara apa-apa. Sekali saja biarkan aku menangis. Sekali saja."

Gayatri membungkuk, memeluk kepala Elan. "Apapun itu tak satupun kulakukan karena kebencian. Cinta. Cinta selalu jadi alasan."

"Aku ingin menangis."

"Biar kutemani."

Dari kejauhan, matahari, senja, laut dan dua orang itu tampak seperti lukisan. Sangat indah.


Catatan:

Cerpen ini adalah cerpen pertama yang saya tulis dan pernah dipublikasikan di Majalah Sastra Horison edisi bulan Januari 2003. Cerpen ini merupakan cerpen pertama yang saya tulis.