Thursday 21 June 2012

AKU INGIN MELIHAT MATAHARI TERBIT BERSAMAMU


Oleh Yuni Kristyaningsih Pramudhaningrat


Aku ingin melihat matahari terbit bersamamu.


Aku membuka daun jendela kayu jati berukir bunga-bunga bulat yang menjulur kesana kemari itu dan melihat langit sudah terang tapi matahari belum tampak. Apakah aku bangun terlambat?


Aku melihat seseorang berdiri di jalan setapak di dalam taman, di antara batang-batang melati. Aku melangkah ke pintu dan kemudian berjalan mengitari bunga azalea dalam pot keramik besar dan serumpun mawar putih menuju ke arahnya. “Guten Morgen,”sapaku. Berjalan tanpa alas kaki di atas batu-batu bulat pada pagi hari adalah rutinitas penghuni rumah itu. Aku mengetahuinya dari sisa-sisa ingatanku.


Sapaanku tidak dijawab. Orang itu hanya menoleh sebentar lalu tanpa mengubah gerakannya yang meliuk dengan lembut mengikuti pola-pola tertentu dia berkata “Tidurmu nyenyak?”


“Iya. Terima kasih.” Semalam aku tidak dapat tidur sekejap pun. Rumah tradisional itu tidak memiliki palang pintu. Dia bisa masuk dan menusuk dadaku dengan pisau kapan saja. Aku tidak takut mati. Aku hanya tidak ingin tidak terjaga ketika dia sedang membalaskan dendamnya. Aku berharap dia melakukannya. Setidaknya dengan begitu aku punya alasan untuk meminta maaf. Saat ini mustahil meminta maaf padanya tanpa melukai harga dirinya.


“Ini apa?” Aku mengamatinya. “Tai-chi?”


Andrew dan aku berlatih tai-chi setiap pagi. Aku suka gerakannya yang seperti menari. Dalam taraf tertentu ini adalah jurus bela diri yang berbahaya. Prinsipnya adalah memukul balik musuh dengan memanfaatkan tenaga musuh itu sendiri. Aku belum pernah menggunakannya untuk memukul orang tapi mungkin Andrew pernah.


“Maukah anda mengajariku?” kataku. Dia punya kebiasaan berbicara dengan kalimat-kalimat pendek. Aku berharap kesopansantunan akan mengubahnya sedikit. Aku percaya pada kata-kata. Orang yang sedikit bicara membuatku ngeri. Sejak aku datang kemarin kami belum bertukar kata lebih dari setengah lusin.


“Tidak. Ini tidak cocok untuk anak muda sepertimu.”


“Saya sudah tua. Umur saya tiga puluh tiga saat ini.”


Dia tertawa tapi tidak ada nada senang di dalam tawanya. “Itu umur dimana orang-orang bertindak bodoh,” katanya. Puterinya meninggal saat berusia tiga puluh tiga. “Bukan untuk disebut tua.”


Aku melihat sosoknya yang tinggi dan besar. Matanya yang berwarna seperti laut pada musim badai dan rambut kecokelatan dengan beberapa jumput warna keperakan. Dia tidak memperlihatkan definisi kata ‘tua’. “Saya bodoh sejak lahir. Dan mungkin akan tetap begitu sampai mati,” kataku.


Dia menghentikan gerakannya. Sepertinya merasa terganggu.


“Sepertinya kau terbiasa mendapatkan pemaafan,” ucapnya sambil berjalan ke arah bangku taman dan meraih handuk kecil yang tersampir di kursi. Tubuhnya berkeringat. Aku mengikuti berjalan di belakangnya.


“Tidak dari diri saya sendiri,” jawabku. Tidak juga dari pria ini dan kekasihku, kurasa.


“Oya? Yang seperti itu susah untuk dilihat. Orang mungkin iri padamu.” Aku tahu dia mengatakannya untuk melampiaskan kemarahan. “Orang cenderung tidak menyukai orang yang melakukan sesuatu tanpa mendapat resiko apapun.”


“Apakah ada orang yang begitu?”


“Aku tidak tahu. Mungkin beberapa.”


Dia duduk di bangku taman dan mengusap lututnya.


Dia mendapat kecelakaan ketika masih muda yang membuatnya berhenti menjadi tentara dan mulai belajar kedokteran. Dia perlu membawa tongkat kemana-mana tapi dia tetap tipe pria Eropa yang elegan dan menakutkan. He has my bad temper in an original version.


“Masih pagi,” ujarnya. “Kembalilah ke kamar. Kami baru sarapan sekitar jam delapan.”


“Saya ingin pergi ke suatu tempat.”


Sebelah alisnya menaik. “Menurutku kau akan tetap pergi walau aku melarangmu kesana.”


“Saya ingin melihat matahari terbit.”


“Matahari terbit setiap hari.”


Aku ingin melihat matahari terbit bersamamu. Kekasihku berkata begitu tahun lalu dan juga tahun-tahun sebelumnya.


Saat itu aku tertarik pada banyak hal tetapi matahari terbit tidaklah termasuk di dalamnya.


Aku tidak percaya akan masa depan. Meskipun aku tahu bahwa dalam hidup ini orang selalu akan ngunduh wohing pakarti, ketidakpercayaan itu membuatku hidup sesuka hatiku. Aku sama sekali tidak tahu kalau pada suatu hari dia akan menjadi salah satu buah perbuatan yang harus aku petik.


Bagiku cinta baru bisa dipikirkan setelah semua hal yang lain diurus dengan baik. Itu baru fair. Kebanyakan orang memperlakukan cinta seperti semacam hiburan saja. Sesuatu yang diam-diam mereka nikmati ketika mereka kelelahan atau melarikan diri dari hal-hal lain yang lebih serius dan realistis.


Kekasihku wanita yang terlalu romantis, dia gembira karena hal-hal kecil dan sangat mudah terluka. Dia mencintaiku dengan sepenuh perasaan. Sesuatu yang selalu membangkitkan rasa kasihanku


“Saya tahu,” jawabku, menatap laki-laki itu. “Tapi matahari tidak sama setiap harinya.”


Aku mengangguk padanya dan hendak melangkah pergi. Beberapa langkah aku mendengar suaranya. “Apa kau tahu dia mengidap hemochromatosis?”


Aku berbalik. “Apa itu?”


“Jadi kau tidak tahu?”


“Maaf saya tidak tahu. Tolong anda jelaskan apa itu.”


“Aku tidak suka padamu.” Dia berbicara dengan nada datar seperti biasanya. “Ketika dia meminta persetujuanku atas pernikahan kalian kami bertengkar hebat. Kukatakan dalam hubungan semacam itu orang sepertimulah yang akan lebih cepat bosan dibandingkan orang seperti dia. Tapi rupanya dia sangat percaya kepadamu. Dia mewarisi kebodohan ibunya.”


Saat pertama kali bertemu ayahku, ibuku jatuh cinta padanya dan menyerahkan seluruh hatinya. Ayahku terlalu manja untuk bisa mengambil tanggungjawab semacam itu jadi dia pergi. Perlu waktu dua puluh tahun baginya untuk menyadari bahwa aku adalah anak yang lahir karena kecerobohannya.


“Saya...” Aku ingin sekali meminta maaf tapi tidak mampu mengucapkannya.


“Lalu ketika kau memutuskan hubungan dengannya aku berpikir aku harus meluangkan waktu untuk membujukmu.” Dia tertawa kecil. Sangat satir. “Kau harus lihat bagaimana dia begitu antusias menyiapkan pernikahannya. Kau tahu dia menganggap dirinya harus menjalani hidup seperti biarawati karena pandangan orang-orang yang kolot tentang anak haram. Dia tidak pernah peduli pada pria manapun seumur hidupnya. Ide tentang pernikahan dan keluarga tidak pernah singgah di kepalanya. Sampai dia bertemu denganmu dan kau berhasil menyusupkan ide itu ke dalam angan-angannya. Dia mengikuti pelayanku sepanjang hari dan mengganggunya dengan pertanyaan bagaimana melakukan ini dan itu. Dia belajar memasak dan menangis ketika ikan yang dia goreng gosong. Katanya kau suka makan ikan. Dia membeli bermeter-meter kain brokat untuk dijahit menjadi kebaya. Dia memang sangat lugu dan bodoh.” Dia menatapiku. “Kenapa kau tiba-tiba membatalkan pernikahan?”


“Saya sudah menikah. Saya pikir tidak adil bagi...”


“Lalu kenapa kau memulainya, demi Tuhan?” Suaranya meninggi. “Seorang pria terhormat tidak seharusnya memulai sesuatu yang tidak dapat dia lakukan sampai akhir. Tidakkah kau mendapatkan pelajaran itu ketika kecil?”


“Saya bukan pria terhormat.”


“Oh, itu jelas sekali.” Ketajaman suaranya membuatku merasa agak nyaman. Aku harus mendapatkan hukuman darinya entah bagaimana. Itu akan membuatku merasa lebih baik. “Aku seharusnya membunuhmu. Semua orang akan maklum kalau kulakukan itu. Tapi bahkan puteriku sendiri saja tidak membuat keributan sedikit pun. Walaupun sebenarnya dia punya hak untuk itu. Katanya itu supaya hidupmu tidak terusik. Kau punya keluarga dan anak-anak. Kau punya pekerjaan yang mengharuskanmu menjaga martabat. Dia lebih memilih menghinakan dirinya sendiri dengan berkumpul bersama iblis di neraka.”


Aku menyaksikan kesedihan mendalam yang tersembunyi di dalam kata-kata kerasnya. “Kalau membunuhku dapat...”


“Tidak. Aku tidak bisa membiarkanmu menemuinya disana. Setidaknya itulah yang kuharapkan.” Dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Lakukan apa yang kau mau dan segeralah pergi. Sudah cukup aku melihat wajahmu hari ini dan kemarin.”


Berjalan kaki aku mengikuti jalan yang sudah kuketahui. Jalanan desa yang mengikuti arah tepian sungai. Langit sudah terang dan aku melihat beberapa orang berjalan di pematang sawah. Mungkin ini waktu dimulainya jam kerja bagi petani.


Aku berjalan dengan langkah yang makin kupercepat. Di langit sebelah timur, di balik pegunungan sudah terlihat semburat merah keemasan meskipun ujung celanaku basah kuyup oleh embun. Setelah mendaki dua bukit kecil, menyeberangi sungai, melewati beberapa rumah, berjalan di daerah persawahan, aku sampai di tempat itu. Masih sama seperti yang ada dalam ingatanku.


Aku melihat cahaya pertama matahari menyinari ujung-ujung ranting jati yang kering.


Tempat paling indah di desaku adalah pemakaman. Berada di satu bagian dari tanah milik keluargaku. Di atas sebuah bukit kecil yang kanan kirinya diapit oleh dua sungai berlereng terjal. Di lereng-lereng itu tumbuh bunga-bunga anggrek liar. Bunga yang akan mati jika kau mencoba memindahkannya dari tempatnya tumbuh. Pemakaman itu dikelilingi hutan jati. Dahulu tidak ada satu pun pohon disitu kecuali pohon pulai tua yang bunganya melimpah ruah pada musim penghujan. Kemudian kakekku menanaminya dengan pohon jati satu demi satu sejak dia masih kecil sambil membayangkan batang-batangnya yang tumbuh lurus akan menjadi tiang-tiang dari rumah-rumah yang akan dibangun anak cucunya kelak. Kalau kau sempat berada di sana pada saat matahari terbit atau tenggelam kau akan berpikir hidup itu lumayan menyenangkan.


Aku melepas sandal yang aku pakai di pintu masuk pemakaman yang hanya berupa dua pohon kamboja berjarak dua atau tiga meter yang ranting-rantingnya saling bertautan membentuk semacam lengkungan. Banyak sekali bunga kamboja yang gugur berserakan di tanah. Aku memungut salah satunya.


Sewaktu kecil aku suka mencari bunga kamboja dengan jumlah mahkota genap karena katanya siapa yang menemukannya akan beruntung. Aku tidak tahu kalau bunga kamboja itu makhota bunganya selalu ganjil. Aku memang tidak pernah beruntung.


Aku berjalan berkeliling sebentar lalu duduk di dekat sebuah nisan dari marmer hitam. “Aku datang untuk melihat matahari terbit bersamamu.” Aku berkata sambil melihat ukiran huruf emas di bagian kepala nisan itu. Disana terukir nama wanita itu.


Aku melihat cahaya menyilaukan memantul dari embun di pucuk-pucuk daun sesemakan liar.


Aku ingat setiap patah kata yang ditulisnya dalam surat terakhirnya padaku:


Dear I.


I knew everything that happened was to save you. Your family and your name. And that’s okay, because I love you so much. But somehow I’m always the one who get hurt. How can I deal with it?


Today, I did things I abhor to protect the one thing I value most, my pride. If anyone can understand it, it’s you. Your compassion is a gift, I. Carry it with you, as I will carry my regret. Always and forever.


Y.


Untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku mengakui aku merasa kesepian. Barangkali inilah yang dirasakan kekasihku ketika dia berjalan masuk ke danau dan menenggelamkan dirinya.






Catatan:


Guten Morgen : bahasa Jerman berarti selamat pagi


Ngunduh wohing pakarti : memetik buah perbuatan sendiri


Hemochromatosis adalah penyakit genetis dimana tubuh mengalami ketidakmampuan memetabolisme zat besi sehingga menyebabkan kerusakan mental dan fisik. Penyakit ini banyak diderita oleh orang keturunan Eropa. Pada beberapa kasus, penyakit ini diduga menyebabkan penderitanya memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Hemingway dikabarkan menderita penyakit ini.


Pemakaman yang saya gambarkan dalam tulisan ini adalah pemakaman Thuk Sekar di desa Wotan kecamatan Pulung kabupaten Ponorogo. Nama Thuk itu adalah penggalan dari kata puthuk yang berarti bukit. Pemakaman ini berada di atas bukit dikelilingi hutan jati. Bukit dan tanah-tanah di sekitarnya dimiliki oleh keluarga saya sejak turun temurun.


Cerpen ini dimuat di majalah horison edisi Juni 2012

I WANT TO BE YOUR MISTRESS



Oleh Yuni Kristyaningsih Pramudhaningrat

Kata-kata itu diucapkannya dengan ringan seakan dia sedang mengucapkan selamat pagi saja. “Rasanya aku perlu melihat kamus. Barangkali ada arti kata mistress selain dari yang sudah kuketahui.”
“Kau mengajakku bercanda di hari yang sepanas ini?”
“Harusnya aku yang berkata seperti itu, kan?” Mungkinkah kelaparan membuatnya kehilangan kewarasan? Selama mengenalnya aku telah mempelajari hal yang penting yaitu bahwa satu-satunya cara untuk membuatnya kembali normal adalah dengan memberinya makanan jadi kugeser piring berisi salmon panggang saos jamur ke arahnya. “Makan yang banyak.”
“Aku tidak lapar.”
Aku berusaha mencari barangkali ada hal yang salah darinya. Dia kelihatan sebagaimana biasanya. Memakai gaun sutera putih yang berenda dan berpita. Rambutnya yang nyaris mencapai lutut dikepang gaya Perancis dan diikat dengan pita satin berwarna putih. Dia memakai kalung bergaya art deco dengan bandul sebutir mutiara. Dan aroma melati masih selalu meruap dari tubuhnya. Dia kelihatan seperti dirinya.
So?”
Aku meneguk minumanku untuk mengalihkan perhatian. “Apa yang terjadi?”
“Aku kabur dari rumah,” katanya. Dia adalah seorang dengan jalan pikiran yang tidak lazim. Kadang-kadang dia mengatakan satu hal padahal pikirannya sedang mengarah pada hal yang lain. Aku menyayanginya tapi itu tidak mencegahku untuk menghalangi orang lain menyebutnya sebagai orang yang berbeda.
“Kenapa?”
“Aku bertengkar dengan orang tuaku. Mereka pikir ada yang tidak beres dengan diriku. Belakangan mereka ingin menikahkan aku dengan seseorang.”
Keluarganya, sangat disayangkan, tidaklah semenarik dirinya. Mereka jenis orang yang membosankan dan satu-satunya hal yang mereka takutkan adalah darah biru mereka tercampur keturunan orang biasa seakan itu sama artinya dengan turunnya martabat.
“Kalau memang tidak mau bukankah tinggal bilang “tidak”?”
“Aku ingin mereka tahu bahwa bagaimana caraku menjalani hidup ini bukanlah urusan orang lain.”
“Bukankah memang seharusnya begitu?”
“Hanya saja sekarang aku jadi tidak punya tempat untuk pulang.”
“Tinggal saja di salah satu rumahku.”
“Kenapa aku harus begitu?”
“Apa yang kumiliki adalah milikmu juga.”
Dulu saat aku masih muda dan serampangan aku sering terlibat perkelahian. Suatu hari seseorang menusukku dan itu membuatku tidak sadar selama dua atau tiga hari. Untuk menyelamatkan aku dia menjual semua perhiasannya. Ketika aku sudah pulih dan mengungkit masalah itu dia hanya tersenyum dan berkata, “Semua yang kumiliki adalah milikmu juga.” Sejak hari itu aku tahu aku tidak akan keberatan memberikan nyawaku jika itu berguna untuknya.
“Aku tidak sudi menjadi sasaran amal baikmu,” katanya. Aku mendengar nada amarah dalam suaranya.
“Siapa yang hendak menjadikanmu begitu?”
“Tapi kau berniat begitu. Itu menyinggung perasaanku.”
“Kau pikir aku tidak? Bahwa di dalam hati kau meragukan kesediaanku untuk melakukan apapun untukmu saat kau membutuhkannya itu tidak hanya menyinggung perasaanku tapi juga menghinaku.”
“Aku tidak bermaksud begitu.”
Well then, akan kuanggap omongan ngawurmu itu akibat dari kelaparan.”
Ketika melihatnya menyuap makanan kukira aku telah berhasil membungkam mulutnya tapi ternyata beberapa lama kemudian dia berkata, “Apa aku tidak memenuhi syarat untuk menjadi wanita simpananmu?”
Aku tersedak mendengarnya.
“Syaratnya apa saja?” Dia menyodorkan segelas air kepadaku. “Cantik ya? Itu sudah pasti. Pacarmu yang terakhir itu siapa namanya, Fay ya kalau tidak salah, kan sangat cantik. Aku pernah lihat kalian. Rambutnya bergelombang dan indah sekali. Rambutku lemas dan sangat lurus. Tidak bisa diapa-apakan.”
“Aku akui seleraku terlalu biasa” kataku setelah berhasil melepaskan diri dari akibat tersedak. Aku selalu berusaha menjaga supaya dia tidak tahu menahu tentang kehidupanku yang liar karena kalau dia mengomentarinya itu akan sangat menggangguku. Dia jarang berkomentar tentang wanita-wanita yang kumiliki dan sebenarnya aku agak heran.
“Aku lumayan biasa.”
“Bi-a-sa.” Aku sengaja mengucapkannya dalam tiga suku kata.
“Aku bisa jadi biasa.”
Aku hampir tertawa mendengarnya. “Kau tidak perlu membuang-buang energimu.”
“Aku kan sedang dalam posisi untuk meyakinkanmu.”
“Jadi ini semacam proposal?” tanyaku dengan geli.
“He-eh.”
“Boleh aku tahu apa motivasimu?”
“Aku ingin bersama seorang pria.”
Aku tersedak untuk kedua kalinya. Aku mengenalnya lebih baik dari siapapun. Dia mungkin tertarik pada banyak hal di dunia ini tapi pria tidaklah termasuk di dalamnya.
“Kenapa?”
“Karena belum pernah kulakukan sebelumnya.”
“Kenapa sekarang tiba-tiba ingin melakukannya?” Aku berteman dengannya sejak aku masih bayi. Bahkan sejak masih sangat muda dia telah menjalani hidup seperti seorang santa. Saat gadis-gadis membanggakan kecantikan mereka dan mulai belajar cara-cara memikat pria dia malah mengatakanI have made up my mind that I will never marry. I shall be wedded to my art.” Aku mengira itu hanya omongan saja tapi ternyata dia memang melakukannya. Aku tidak pernah mendengar dia jatuh cinta pada seorang pria. Aku pria tapi aku tidak malu mengakui bahwa tidak ada pria di dunia ini yang cukup baik untuknya. Tubuhnya terbuat dari gumpalan-gumpalan doa. Seorang pria hanya akan mencemarinya. “Apa ada yang mengancammu? Pria yang hendak dinikahkan denganmu itu?”
Tidak ada. Memangnya kenapa?”
Siapa tahu kau sedang dihinggapi ide konyol. Mungkin ide untuk membuat seorang pria terhormat mengurungkan niat menikahimu dengan cara berada dekat-dekat dengan pria bejat sepertiku.”
Tidak ada yang seperti itu,” katanya. Lalu dia memandang dengan bola matanya yang besar dan dengan cara yang selalu membuatku ingin memasang lingkaran halo di atas kepalanya. “Apa kau pria bejat?”
I am.”
Apa yang dilakukan seorang pria sampai disebut bejat?”
Banyak.”
Oooo.”
Aku menyesap jus semangka di gelasku. Memutuskan mungkin dia perlu dihibur karena hatinya sedang terluka. Seorang malaikat kecil seperti dirinya jelas mengalami patah hati ribuan kali dalam sehari jika tinggal di dunia sekarang ini. “Aku ada meeting jam tiga nanti. Berarti masih ada waktu dua jam. Kau mau jalan-jalan?”
Pembicaraan kita kan belum selesai.”
Sudah.”
Kamu menolakku ya?”
Hanya membuatmu menyadari betapa leluconmu itu membuatku kesal.”
“Maaf.” Dia memain-mainkan sendoknya. “Aku ingin menulis tentang wanita. Banyak hal yang masih perlu kupelajari. Aku bahkan tidak mirip seorang wanita.”
You don’t know what you talking about.” Dia selalu mengingatkan aku pada wanita dalam lukisannya Waterhouse. Dari dulu bahkan sampai sekarang aku masih sering merasa kuatir jangan-jangan di malam hari dia akan kembali ke dunianya yang sesungguhnya, di dalam lukisan.
“Hanya kau pria yang aku percayai. Biarkan aku bersamamu.”
Aku tahu aku suka bermain-main. Kadang-kadang aku tidak tahu batas antara mana yang boleh kulakukan dan mana yang tidak. Dan sama sekali tidak kenal perbedaan antara gila dan waras.
Barangkali aku sudah gila ketika pada akhirnya aku benar-benar membawanya ke rumahku. Kutempatkan dia di kamar yang paling bagus. Kubiarkan dia melakukan apapun yang dia sukai. Aku selalu berusaha untuk menjaganya dan membuat hatinya senang. Dia mengatur rumahku seperti seorang queen consort, menjadi nyonya rumah dan pendamping yang luar biasa dalam setiap kunjungan dan jamuan yang harus kuhadiri atau kuadakan. Kalau aku tidak bisa tidur dia akan membiarkan aku berbaring di pangkuannya. Aku punya banyak wanita tapi tidak pernah berbaring di pangkuan seorang wanita sebelumnya.
Aku sedang berada di pangkuannya ketika ayahnya datang. Pria tua itu terlihat begitu marah menemukan puterinya membiarkan seorang laki-laki –dan dari jenis rendahan sepertiku- berada di pangkuannya. Kepada puterinya dia berkata, “Aku datang untuk mengatakan kalau kau bukan lagi bagian dari keluarga.....” Dia menyebutkan nama keluarganya. “Kami akan melupakan kalau kau pernah ada.” Kemudian pria itu pergi.
Aku melihat sahabatku diam. Dia menggulung-gulung ujung rambutnya dengan telunjuknya sebagaimana kebiasaannya kalau sedang resah. Aku duduk di dekatnya, cukup dekat untuk dapat mendengar detak jantungnya. “Aku adalah keluargamu,” kataku. Dia mendongak menatapku. “Aku adalah keluargamu.” Aku mengulanginya. Lalu kulihat dia tersenyum. Aku tidak punya keluarga. Dengan senyumannya itu dia menjadi satu-satunya keluargaku.
Aku menyuruh seorang pelukis untuk melukis kami berdua. Lukisan itu kupajang di ruang tamu dan setiap aku pulang aku memandangnya dan mengingat bahwa sebagai keluarga kami bisa sangat bahagia.
Dia mempunyai seorang teman laki-laki yang dipanggilnya sebagai Seven. Aku tidak pernah menyukai Seven. Suatu hari Seven datang mengantarkan kaca matanya yang ketinggalan. Perasaanku tidak enak.. Bagaimana mungkin seseorang yang punya masalah penglihatan, yang tidak dapat melihat dengan jelas sesuatu yang jaraknya lebih dari dua meter di depannya dapat ketinggalan benda sepenting itu?
Ketika dia datang dan melihat kaca matanya dia terlihat gembira. “Beruntung aku bisa pulang ke rumah tanpa terjatuh,” katanya.
“Apa yang kau lakukan di rumah Seven sampai kau perlu melepas kaca mata?” tanyaku.
“Aku melepasnya sewaktu mandi. Aku lupa memakainya kembali.”
“Apa yang kau lakukan sampai perlu mandi?”
“Terlalu asyik bermain-main dengan warna jadi gerah.”
“Apa maksudnya ‘terlalu asyik bermain-main dengan warna’?”
“Aku mencoba mencampur beberapa warna. Aku ingin membuat ‘kecelakaan yang indah’ tapi jadinya malah kacau sekali.” Dia tertawa. Kelihatan senang.
“Di mana Seven saat kau mandi?”
“Aku tidak yakin. Aku kan sedang mandi.”
“Di luar atau di dalam?”
“Aku tidak mengerti maksud pertanyaanmu.”
“Dia ada di luar atau ada di dalam bersamamu?”
Dia mendongak memandangku. “Ada apa denganmu? Perasaanmu sedang tidak enak?”
“Jawab aku. Dia di luar atau di dalam?”
Dia memandangku lalu tertawa. “Aku tidak tahu apa yang ada di kepalamu, tapi dia kan cuma Seven.”
“Dan aku juga cuma aku.”
“Apa maksudmu?”
“Bagimu aku cuma aku sebagaimana semua orang lain juga cuma orang lain. Benar, kan?”
“Aku…aku tidak pernah berpikir seperti itu.”
You hurt me.
Aku tidak tahu kenapa aku bisa begitu marah. Aku tidak tahu kenapa ada api yang berkobar tidak hanya di kepalaku tetapi juga di seluruh tubuhku. Aku tidak tahu kenapa kemudian aku menjadikan tubuhnya sebagai telaga untuk memadamkan api yang berkobar di setiap selku itu. Aku tidak tahu kenapa setelahnya aku bahkan tidak bisa mengatakan menyesal. Aku yang sebelumnya bahkan tak berani masuk ke dalam kamarnya sekalipun aku sangat menginginkannya entah kenapa tiba-tiba menjelma menjadi setan di depannya. Satu-satunya yang aku tahu adalah bahwa mengembara di tubuhnya membuatku merasakan kedamaian dan melihatnya menangis, dalam diam dan pesona kecantikan yang luar biasa, membuatku merasa seperti tersesat dalam lukisannya Pollock.
Esok harinya, aku tidak dapat menemukan dirinya di mana pun di rumah. Hampir gila aku mencarinya. Tapi seolah dia lenyap ditiup angin.
Aku mencarinya kemana-mana. Aku mendatangi keluarganya, teman-temannya bahkan setiap tempat yang pernah dia bicarakan tapi tetap tidak bisa menemukannya. Mungkinkah dia kembali ke tempatnya, di dalam lukisan?
Bertahun-tahun kemudian aku melihat namanya di sampul sebuah novel di toko buku. Susah payah aku mendapatkan alamatnya. Sebuah rumah kecil di pedesaan, dinaungi pohon jambu dan semak melati tumbuh dimana-mana memenuhi halaman. Aku menunggu saat yang benar-benar tepat untuk menemuinya. Barangkali setelah aku selesai membaca novel yang kalimat pembukanya berbunyi “I want to be your mistress” itu. Barangkali setelahnya aku bisa tahu kenapa dia pergi.

Catatan:
  1. John William Waterhouse (1849-1917) adalah pelukis berkebangsaan Inggris. Dia terkenal terutama karena mengkhususkan diri melukis tokoh wanita yang ada dalam mitologi dan karya sastra. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain Flora, Windflower dan Ophelia. Lukisannya memakai warna-warna yang indah dan selalu menggambarkan wanita yang sangat cantik.
  2. Jackson Pollock (1912-1956) adalah pelukis aliran abstrak ekspresionis berkebangsaan Amerika. Lukisan yang dimaksud adalah lukisannya yang berjudul Number 1, Lavender Mist yang dibuat pada tahun 1949.
Cerpen ini dimuat di majalah Femina no 20  Mei 2012