Monday 26 November 2007

GARIS PERAK


Oleh Yuni Kristianingsih



Hujan turun sepanjang siang hingga sore ini. Sebenarnya aku tidak bermasalah dengan hujan. Aku suka hujan. Menurutku musim penghujan adalah musim yang indah. Hanya saja jenis hujan yang seperti ini, hujan yang nyaris tidak bersuara, hujan yang turun dengan curah yang tenang dan konstan, hujan yang seperti enggan berhenti, adalah hujan yang memunculkan perasaan sentimentil. Untuk orang sepertiku, dengan alasan-alasan tertentu, hal-hal semacam itu merupakan gangguan yang meresahkan.

Hujan membuat ujung celanaku basah. Aku baru menyadarinya ketika telah menangkupkan payung di teras rumah kontrakanku. Seharusnya aku memakai payun yang lebih besar tapi payung yang bisa dilipat lebih praktis mengingat aku suka lupa membawa pulang barang milikku sendiri.

Pada musim penghujan begini rumah kontrakanku terasa dingin, lembab dan menyedihkan. Pada saat-saat tertentu malah sama sekali tidak mirip rumah melainkan hanya bangunan kecil memanjang yang jelas ditambahkan pada bangunan utama hanya karena alasan ekonomis. Pada minggu-minggu awal aku menempatinya aku berusaha keras membuat tempat itu menjadi tempat tinggal yang menyenangkan tetapi kemudian semangatku makin mengendur dari hari ke hari tergantikan oleh sikap masa bodoh sehingga makin lama rumahku pun makin mirip sarang yang jorok.

Akan tetapi hari ini, ketika aku meletakkan sepatu di rak aku segera tahu kalau ada sesuatu yang telah terjadi. Sepatu berwarna aquamarine berhias bebatuan warna hijau itu seperti hujan yang meresahkan.

Aku meletakkan tas di ruang tamu dan berjalan ke kamar tidur.

Kubuka pintu perlahan-lahan. Dan disana, di atas ranjang, kulihat makhluk itu tertidur seperti ulat dalam kepompong. Aku benar-benar terkejut. Bahkan untuk membayangkan Probo ingat padaku saja sudah sangat sulit dipercaya apalagi ini.

Aku menatapi wajahnya. Ada suatu masa ketika dia membuatku merasakan penderitaan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata saat aku brpikir aku tidak dapat lagi hidup dan mati bersama dengannya. Aku teringat hari-hari yang penuh frustrasi dan malam-malam yang menggelisahkan.

Dia tidur meringkuk seperti janin di dalam rahim. Dia hanya tidur seperti itu kalau sedang gelisah. Apakah yang sedang dia cemaskan? Aku menoleh pada dinding. Apa pendapatnya tentang dinding yang kosong tanpa foto?

Di meja kulihat Geo dan dua buku tebal berbahasa Inggris. Dia tak bisa hidup tanpa laptop kesayangannya itu dan juga buku. Dia mungkin saja lupa membawa sesuatu tetapi tidak kedua benda itu. Apalagi jika dia berniat untuk tinggal cukup lama di suatu tempat. Aku bertanya-tanya apakah dia ingin tinggal disini. Rasanya itu tidak mungkin.

Aku teringat pada suatu sore ketika aku meninggalkan rumah. Langit penuh awan yang membiaskan cahaya jingga dari spektrum warna matahari. Aku tidak melihatnya melambai di belakang pagar. Aku bahkan tidak melihatnya menyibak sedikit tirai jendela untuk mengintip kepergianku.

Kulihat dia berkedip dalam tidurnya. Aku ingin membangunkannya untuk bertanya kenapa dia datang. Mungkin dia ingin membicarakan perpisahan. Hatiku sakit sekali hingga mengurungkan niat.

Rasanya telah sangat lama sejak kami mulai menemukan apa-apa yang bisa kami kerjakan untuk tidak saling mempedulikan satu sama lain. Dia menawarkan diri memberikan pelajaran tambahan dan rekan-rekannya menemukan bahwa dia dapat diandalkan untuk menggantikan mengajar jika mereka berhalangan datang. Di hari Minggu dia telah memasak sebelum matahari terbit lalu sepertinya selalu ada orang yang menghendaki kunjungannya sepanjang hari itu, ntah itu neneknya, sepupunya atau temannya. Kadang-kadang aku merindukan mengobrol dengannya tetapi cerita tentang rumah sakit dan pasien tidak lagi menarik perhatiannya. Sekali waktu kami menenukan keadaan-keadaan yang mengharuskan kami kelihatan rukun. Namun karena aku takut akan terus menerus melihat keterpaksaan di matanya maka sebisa mungkin kami menghadiri acara keluarga.

Dia bergerak untuk meluruskan kaki dan semenit atau dua mnit kemudian dia membuka mata. dia menggerakkan kepalanya dan itu membuatnya melihatku.

Karena dia tak juga mengatakan sesuatu maka aku berkata, "Tidur lagi saja. Ini masih hujan."

Tapi dia malah bangun dan duduk. "Aku sudah tidur cukup lama," katanya seperti menyesal.

"Tadi datang jam berapa?"

"Jam sebelas."

"Naik apa?"

"Bis."

"Tidak mabuk?" Untuk sampai ke Malang seseorang dari Ponorogo harus melewati daerah Ngantang. Rute di jalur itu seperti arena roller coaster.

"Aku baik-baik saja." Dia turun dari ranjang dan berjalan keluar. Sikapnya biasa-biasa saja seolah aku adalah orang yang dia temui setiap hari dan bukannya orang yang telah tidak dilihatnya selama enam bulan. Tidak ada ciuman. Tidak ada pelukan. Sama sekali tidak ada tanda-tanda keberadaan unsur emotif bernama kerinduan.

Dari kamar mandi aku mendengar bunyi kran dinyalakan. Aku membuka lemari baju untuk berganti pakaian. Kulihat pakaianku telah disetrika dan ditata dengan rapi. Di sebelahnya ada pakaiannya. Kuperhatikan gaun yang dia bawa hanya sedikit.

"Aku membawa spaghetti dari rumah." Kudengar suaranya dari arah dapur.

Aku keluar kamar. Di dapur yang selama ini tidak kufungsikan selain untuk membuat kopi, di atas meja makan, kulihat kotak-kotak tupperware berisi makanan. Kulihat ada lima kotak berisi macam-macam makanan buatan sendiri : spaghetti yang ditumis dengan bawang putih cincang, meat ball dengan saos kental berwarna merah, empal daging sapi dengan taburan serundeng, sambel goreng ati dan kotak terakhir berisi manisan buah mangga kesukaannya.

"Pasti repot menyiapkan semua ini," kataku.

"Aku punya banyak waktu," jawabnya.

"Terima kasih." Aku mengambil satu buah meat ball dan memakannya. "Ini sedap," kataku sambil menghisap jariku yang terkena kuahnya. "Kau tidak makan?"

"Kau saja." Kau dan bukan Kangmas seperti biasanya. Mungkinkah kesedihan membuat orang lupa pada sopan santun? Dia mengambilkan piring dan sendok untukku. Aku mengambil sedikit makanan itu dan memakannya sendirian.

Dia menjadi sangat pendiam. Kami bukan sedang bertengkar meskipun juga bukan tidak ada masalah tapi kediaman seperti itu membuat hati jadi sakit. Saat makan malam tiba, dia mengambilkan makanan untukku dan meletakkannya begitu saja di depanku tanpa mengatakan apap-apa seolah-olah itu merupakan hal yang paling wajar di seluruh dunia. Dia juga membuatkan aku kopi. Tapi karena dia lebih memilih makan di depan Geo dan bukannya denganku maka aku sulit mengucapkan terima kasih.

Ketika aku memutuskan untuk mengambil program spesialis ini aku tidaklah sesenang yang orang bayangkan. Pindah dari rumah yang nyaman bukanlah hal yang mudah bagiku. Meskipun definisi rumah yang nyaman itu tidak sepenuhnya benar. Saat itu aku dan Probo seperti hidup di dua pulau yang berbeda. Buruknya hubungan kami sedikit banyak telah mendorongku untuk benar-benar pergi. Tidak kusangka itu malah memperparah keadaan. Mungkin cintanya telah menguap dan sekarang dia datang untuk membicarakan perpisahan.

Hatiku benar-benar resah.

*

"Ke arah mana aku bisa lari pagi?" Dia bertanya ketika aku keluar dari kamar mandi. Matahari baru berupa semburat kuning tipis di ufuk timur tapi dia telah memakai celana corduroy longgar dan kaos lengan panjang. Dia menenteng sepasang sepatu kain berhak datar.

Sudah tiga hari dia tinggal. Kami belum berbaikan, maksudku Probo belum mau bicara denganku. Bicara yang benar-benar bicara dan bukan mengatakan hal-hal singkat dalam percakapan sehari-hari seperti yang kami lakukan selama tiga hari ini. Rumah yang sempit ini membuat aku tidak enak. Rumah kontrakanku sebenarnya hanyalah bangunan memanjang kira-kira seluas empat kali enam meter persegi, terbagi menjadi ruang tamu, kamar tidur dan dapur. Kami seperti dua orang asing yang terpaksa harus tinggal bersama sehingga harus membuat sejumlah peraturan agar tidak saling menggangu. Jika aku sedang mengerjakan tugas kuliah di kamar dia akan memakai ruang tamu. Sebelum tidur aku memakai baju tebal dan kaos kaki supaya tidak perlu menyusupkan badanku ke dalam selimut yang dia pakai. Parahnya lagi selama dia disini hujan terus turun setiap hari.

"Kampusku," jawabku. "Ada jalan-jalan yang lapang di bawah pepohonan. Orang-orang biasanya berolahraga disana." Aku melihat matanya dan menambahkan cepat-cepat, "Akan kutunjukkan tempat dimana aku biasa lari pagi."

Jalan-jalan menghirup udara segar adalah apa yang kuimpikan akan kami lakukan hingga kelak kami lanjut usia. Aku pernah mengatakan padanya bahwa memikirkan hal itu membuatku bahagia dan Probo mengatakan betapa sederhana konsep kebahagiaan bagiku.

Aku ingat, kencan di taman selalu menjadi kegiatan menyenangkan. Probo senang sekali belajar bahasa asing. Aku tidak tahu persis berapa bahasa yang telah dikuasainya karena menurutnya dia belum menguasai suatu bahasa sampai dia mampu membaca karya sastra dalam bahasa tersebut.Setiap kali berjalan-jalan dia punya kebiasaan menyebutkan tidak saja nama benda tetapi sebuah ungkapan memakai kata benda tersebut. Lucu sekali melihatnya melakukan itu.

Aku menoleh memandang Probo. Dia tidak bicara dan sepertinya memang tidak ingin bicara. Betapa anehnya. Dulu dia banyak bicara. Sekarang seakan-akan kebisuan telah menjadi satu bagian dari kami.

Taman di kampus Brawijaya yang lebih mirip hutan itu selalu menjadi tempat yang nyaman bagi mereka yang ingin menghabiskan waktu pagi atau sore harinya untuk berolahraga. Pohon-pohon yang rindang dan suara-suara serangga adalah latar belakang yang menyehatkan dan romantis. Karena terlalu lama memperhatikan tandan bunga palem yang baru pecah upihnya aku sampai tidak sadar kalau Probo telah agak jauh dariku. Bunga azalea berwarna lembayung menarik perhatiannya. Aku memandanginya dari jauh. Segerombolan mahasiswa terusik oleh sosoknya, yang sebenarnya kalau mau jujur juga agak mengusikku. Dengan pipi yang merona kemerahan, bulu mata yang lentik pada matanya yang besar dan rambut dikepang gaya Perancis, dia kelihatan lebih menarik perhatian dari bunga mana pun. Anak-anak muda itu bersiul dan menegurnya, "Hei, boleh kenalan, nggak?"

Kukira mereka akan benar-benar mengodanya kalau aku tidak segera menghampirinya. "Rhododendron, "kataku keras-keras, "adalah perdu berkayu. Merupakan tumbuhan yang menghijau sepanjang tahun. Kabarnya di pegunungan yang mengelilingi Kathmandu ada azalea yang telah hidup selama ribuan tahun. Penduduk sekitarnya memakainya sebagai obat." Di dekatnya aku berkata, "Aku tahu semak azalea yang lebih rimbun dari ini."

Rupanya para pemuda itu telah membuatnya terganggu sehingga Probo kehilangan minat untuk mengamati azalea.

"Dasar tidak tahu sopan santun." Aku mendengar dia menggerutu.

"Orang biasanya menunjukkan penghargaan atas sesuatu dengan cara mereka sendiri," kataku.

"Apa maksudnya itu?"

"Siapa yang bisa disalahkan kalau ada laki-laki yang tertarik pada wanita cantik?""

"Tidak masuk akal," sahutnya. Kulihat pipinya lebih merah dari sebelumnya.

Di hari Minggu biasanya aku membaca koran sambil berbaring di sofa menemani Probo menonton film. Selalu ada teka teki silang di koran minggu tapi entah kenapa di hari Minggu kemampuan otakku berkurang hingga lima puluh persennya maka TTS itu tidak pernah sempat kuisi penuh. Suatu kali aku menemukan cara agar aku bisa menyelesaikan soal-soal itu. Aku mencium Probo. Ya, dengan cara itu otakku bisa kembali normal. Setelahnya aku bahkan bisa menyebutkan siapa nama saudara perempuan Beethoven jika memang benar-benar ada.

"Kukira kaliandra tidak mekar di bulan Januari."

"Disini banyak yang berbunga di luar musim," kataku. "Bunga tanjung itu bahkan sudah mekar sejak bulan Desember."

"Mungkin karena dingin."

Aku jadi mencemaskan apakah mungkin dia mendapatkan gejala-gejala flu sehingga memutuskan untuk lari pagi. Sewaktu tinggal di Malang untuk pertama kalinya aku juga terganggu oleh hawa dingin meskipun sekarang sudah bisa kuatasi dengan baik.

"Aku berniat untuk tinggal." Jalan di antara Fakultas Kedokteran dan MIPA sepi. Ada serabut kabut tipis di atas atap. Kami sedang berada di dekat sekumpulan bunga cosmos merah muda yang sedang bermekaran. Daun-daunnya terlihat masih digayuti embun.

"Apa?"

"Kukura kau bertanya-tanya tentang hal itu."

"Ya. Aku senang kau memutuskan begitu."

"Kukira kau agak mengharapkannya," katanya. "Kau meninggalkan kunci duplikat."

Aku merasa agak malu. "Aku memang mengharapkannya tapi tidak bisa memintanya."

Aku bahkan tak bisa memintanya untuk melupakan janin itu.

Probowati lahir dengan jantung bermasalah. Dia menjalani serangkaian operasi sewaktu kecil. Di masa remaja dia mengalami satu dua kali serangan dalam setahun. Bahkan sejak aku mulai mencintainya aku tahu aku tak memerlukan apa-apa lagi di dunia ini selain melihatnya bahagia. Bahkan tidak juga seorang anak.

tujuh bulan setelah menikah dia hamil. Dokter dengan hati-hati mengatakan bahwa Probo sama sekali tidak direkomendasikan untuk melahirkan dan mengatakan padaku bahwa seharusnya aku membujuknya untuk melakukan aborsi. Saat itu usia kandungannya baru dua minggu. Probo tidak henti menangis. Dia memohon dengan sangat padaku agar tidak memberi ijin pada dokter. Sebagai dokter aku tahu resiko kehamilan itu bagi dirinya tapi sebagai suami aku tidak tega melihat dia menangis. Akhirnya aku memutuskan untuk menyerahkan semuanya pada kehendak Tuhan.

Pobo menjaga kandungannya dengan sangat hati-hati. Dia memeriksakan dirinya ke dokter dengan teratur, menjaga kualitas makanannya, membatasi kegiatannya dan berusaha untuk selalu merasa bahagia.

Pada bulan kelima Probo mengalami serangan dan pingsan sewaktu dia menuruni tangga. Waktu sadar aku ada di dekatnya. Yang pertama kali dia lakukan adalah meraba perutnya dan ketika dia memandangku aku meminta maaf. Dia tidak menangis waktu itu hanya menyuruhku meninggalkannya sendirian padahal rumah sakit selalu membuatnya ketakutan. Dia harus dirawat di rumah sakit selama satu bulan untuk memulihkan kondisinya.

Setelah kembali ke rumah pun aku tidak melihatnya menangis. Hal itu lebih membuat aku cemas bila dibandingkan jika dia berteriak-teriak histeris karena dengan begitu aku tidak tahu apa yang dia rasakan dan juga tidak tahu terapi apa yang tepat untuk membantunya. Sikapnya setelah itu berubah drastis. Mula-mula dia menjadi pendiam lalu menjadi seorang workaholic.

Suatu malam aku melihatnya sedang bersandar di pembatas balkon di depan kamar tidur kami. ketika aku bertanya apa yang sedang dia lakukan dia menjawab, "Biasanya aku terbangun di tengah malam karena ada tendangan di perutku. Sekarang aku tetap terbangun meski tidak ada yang menendang perutku." Aku pun tahu dia tidak pernah bisa merelakan anaknya. Sejak itu hubungan kami memburuk.

"Seharusnya kau menyuruhku ikut. Bukan memintanya."

Aku memandanginya.

"Paling tidak itu akan memberikan suatu kewajiban padaku," ucapnya. "Kewajiban. Aku membutuhkan itu. Sesuatu untuk kulakukan."

Aku merasa terkejut. Dulu, sewaktu hal buruk itu terjadi, aku perlu waktu yang lama untuk mengatasi kesedihanku. Waktu itu aku sempat berpikir untuk berteriak padanya "Lanjutkan hidupmu! Kau kan masih punya aku!" Tapi kupikir itu akan menjadi tindakan yang sangat egois. Sebuah refleksi dari kesedihan dan keinginanku untuk kembali dia cintai. Aku tidak tahu kalau keputusanku untuk diam malah memperparah kesedihannya. Aku sama sekali tidak menyadarinya.

"Melihatmu begitu dingin aku tidak tahu apa yang harus kulakukan."

"Kenapa kau berpikir begitu?" Dia memandangiku dengan heran.

"Kau makan sendirian, berganti pakaian di kamar mandi dan tidur menghadap ke tembok. Kau tidak begitu kecuali sedang marah."

"Bukan begitu. Kau tidak menciumku sewaktu aku datang jadi kupikir kau tidak merindukan aku."

Kupandangi istriku. Menjadi suami istri bukan berarti ada yang lebih kuat di antara kami. Justru karena tidak kuat makanya kami harus bersama. Untuk saling mendukung dan menguatkan. "Kalau aku memintamu untuk melupakan semua hal buruk, mengabaikan semuanya dan hanya mengurus aku bagaimana? Kau bersedia?" Aku mengulangi kata-kataku ketika dulu aku melamarnya.

Dia menatapku dengan bola matanya yang besar itu dan tersenyum. "Kalau kulakukan itu aku akan dapat apa?" Dia menjawab persis seperti dulu dia menjawabnya.

"Kurasa tidak akan dapat apa-apa kecuali diriku ini. Apakah itu cukup?"

"Hmm, kurasa tidak mengapa."

Kami berdua tertawa. Matahari telah membuat langit penuh dengan cahaya keemasan. Cahaya pelangi yang menyilaukan muncul dari tetes-tetes embun di kelopak-kelopak bunga cosmos itu. terlihat indah sekali. Seperti keindahan yang memenuhi hati kami berdua.

Wednesday 21 November 2007

ONCE IN A BLUE MOON


Oleh Yuni Kristianingsih

Hujan itu sungguh mengganggunya.

Hujan yang turun dalam rupa jarum-jarum lembut. Hujan yang meruapkan aroma campur baur antara bau rerumputan, dedaunan, kayu, tanah dan basah yang samar-samar. Hujan yang membuat hawa dingin merambat lebih pelan di udara. Hujan yang indah. Banowati sangat suka hujan tetapi semua itu mengganggunya. Sebab jarum-jarum lembut itu pedang yang tajam, aroma itu memusingkan, dingin itu menghanguskan dan keindahan itu melukai.
Banowati sangat suka hujan. Dulu ketika masih kanak-kanak dia memiliki seorang teman khayalan. Seorang anak laki-laki kecil yang menjelma dari rintik-rintik hujan. Mereka menghabiskan banyak waktu bersama terutama ketika dia harus tinggal di dalam kamar karena penyakit yang dia derita. Karena dia Banowati mencintai hujan. Teman khayalannya itu menghilang ketika dia beranjak dewasa tetapi jika dia dapat menemukan cara untuk bisa tetap berada di masa itu maka dia pasti akan melakukannya dengan senang hati.

Dia masih sangat suka hujan. Tetapi dia bersumpah kalau hujan yang jatuh diam-diam di atas tandan-tandan bunga Lagerstroemia indica itu sungguh mengganggu kedamaian hatinya.

Tandan-tandan bunga berwarna merah muda keunguan itu bersama hujan dan perpustakaan telah mengisi bagian terpenting dari hidupnya. Tetapi masa itu telah lama berlalu dan mengingatnya kembali hanya akan menyadarkannya bahwa waktu selalu hanya meninggalkan jejak-jejak samar atas kedatangan dan kepergiannya.

Jika di dunia ini ada puisi yang begitu murung sekaligus begitu indah maka itu adalah hujan.

Banowati dan orang itu, sahabatnya, sepakat akan hal itu. Beberapa tahun kemudian ada banyak hal yang juga dia anggap sebagai puisi. Tetapi hujan tetap menjadi puisi di hatinya dan dia merasa itu akan berlangsung untuk waktu yang lama.

Hujan adalah puisi. Dalam hujan ada banyak puisi tapi puisi yang ada di dalam hatinya lebih banyak lagi. Tetapi dia tidak melakukan perjalanan itu, mengabaikan banyak hal dan berjalan sampai sejauh ini, sama sekali bukan karena puisi. Setidak-tidaknya itu yang tidak mau dia akui.

Sebenarnya dia sangat gugup bahkan nayaris menjadi sakit karena hal itu. Yang membuatnya gugup bukanlah kekhawatiran akan reaksi sahabatnya ketika berjumpa dengannya. Sahabatnya itu seorang teman yang baik. Dia yakin seandainya dia datang dalam keadaan yang menyedihkan bahkan memalukan sekalipun sahabatnya itu akan tetap tersenyum dan memberinya sebuah pelukan penyambutan. Tetapi yang membuatnya gugup adalah mengetahui bahwa ini menyalahi aturannya sendiri.

Semenjak mereka saling bertukar puisi, sahabatnya telah menjadi hal yang berharga baginya. Demikian berharganya sampai-sampai dia ingin menyimpannya untuk dirinya sendiri, menyimpannya sedemikian rupa sehingga tak seorang pun bisa melongok ke dalamnya, menikmati keindahannya apalagi mengambilnya.

Banowati menyukai sesuatu yang abstrak. Baginya ada banyak ide yang kehilangan keindahannya ketika dipaksakan untuk menyeberang menjadi kenyataan. Dia mengira sahabatnya pun demikian. Maka untuk beberapa lama dia menikmati hubungan mereka yang tidak dapat diinderai itu. Sahabatnya menjadi orang yang sangat penting baginya. Seperti yang dia lakukan kepada kanvas, kepadanya Banowati menuang warna-warna rahasia hatinya. Menganggap sahabatnya memahami cinta dengan cara yang sama seperti caranya memahami. Tetapi kemudian waktu memeram mereka menjadi buah yang berbeda. Mereka menyelesaikan kuliah dan melanjutkan hidup di tempat yang berbeda. Banowati tidak memakai istilah berpisah karena baginya mereka tetap berada di samping yang lain untuk selamanya dan jarak hanyalah semacam horizon yang dapat diapresiasikan secara berbeda tergantung dari sudut pandangnya. ketika hidup mulai mendesaknya untuk mencari pendamping Banowati berkhayal pada suatu hari sahabatnya akan datang mencarinya dan memintanya menikah dengannya. Tiap kali Banowati memikirkan orang yang akan berada di sampingnya selama sisa hidupnya Banowati tidak pernah memikirkan orang lain kecuali sahabatnya.

Pada suatu hari di bulan Januari Banowati mendengar kabar bahwa sahabatnya akan menikah. Dia mengirim sms kepadanya, bertanya bagaimana orang seperti dia dapat jatuh cinta pada seorang wanita dan memandang wanita sebagai obyek dari sebuah hasrat purbawi.

Sahabatnya menjawab, "Aku memerlukan cinta yang nyata. Aku tidak cukup terhormat untuk sesuatu yang tidak mampu kuinderai."

Banowati menangis sepanjang hari. Ternyata sahabatnya tidak menyukai sesuatu yang hanya berupa ide yang abstrak. Dia menangis tidak hanya karena hal itu tetapi juga karena dengan demikian dia tidak punya alasan lagi untuk menolak lamaran Yvell, pria yang secara terang-terangan mengatakan pada semua orang bahwa dia mencintainya.

Pada akhirnya Banowati menikah dengan pria itu. Dia merasa bahagia oleh cinta dan perhatian yang besar dari suaminya. Mengenai sahabatnya, dia tetap menjadi sahabat yang baik baginya dan menyimpan dalam hati semua yang memang seharusnya hanya disimpan di dalam hati.

Tetapi manusia adalah makhluk dengan banyak kerewelan. Ketika merasa bosan dengan masa sekarang, yang sebenarnya lebih sering disebabkan karena ketidakmampuannya menghabiskan musim yang tersedia baginya, dia pun berharap-harap untuk kembali ke masa yang telah lewat.

Gerimis itu telah hilang bersama angin. Demikian juga dengan keberaniannya. Jika sama sekali tidak bisa dicari alasan kenapa kita tidak bisa bersama dengan orang yang kita cintai padahal dia berada begitu dekat hingga nyaris dapat diraih hanya dengan mengulurkan tangan maka satu-satunya cara untuk tidak terjerumus ke dalam kesedihan yang membinasakan adalah dengan percaya bahwa itu semua adalah kehendak Tuhan.

Banowati membuka tas Gucci-nya dan mengambil notes berlogo keluarga suaminya. Dia menuliskan sesuatu, menandatanganinya, melipatnya dan memasukkannya ke dalam amplop dengan logo yang sama. Kemudian dia berkata kepada sopirnya. "Tolong berikan kotak dan amplop ini untuk Doktor Aji. Kantornya di sebelah sana. Kalau orangnya tidak ada titipkan di petugas administrasi."

"Perlu ditunggu balasannya, Nyonya?"

"Tidak."

Di dunia ini betapa banyaknya hal yang cuma bisa dipertahankan dalam kenangan saja.

Sore harinya sahabatnya menelepon.

"Kalau saja aku tahu kau akan datang aku pasti akan membatalkan every fucking class supaya bisa menemuimu."

Banowati mengenali suaranya sebagai bagian dari puisi-puisi itu. Seperti lagu Raindrop-nya Chopin yang selalu menemaninya menangis. "Tidak apa-apa. Aku juga hanya mampir sebentar."

"Baik-baik saja, kan?"

"Ya."

"Lukisanmu sangat indah. Terima kasih. I really appreciated that."

"You should be. Wajahmu susah dilukis, tahu?"

Pria itu tertawa. "Hanya aku heran. Apanya dari diriku yang mirip Napoleon Bonaparte? Aku bahkan belum pernah naik kuda seumur hidupku."

"Kalau kamu masih senarsis dulu bukankah itu pose yang indah?"

Pria itu tertawa lagi. "Akan kukirimkan novelnya Yasunari Kawabata," katanya. "Kau masih menginginkan itu, kan?"

"Sudah dibelikan Yvell minggu lalu. Setumpuk novelnya Kawabata. Entah dari mana dia mendapatkannya."

"Apa sih yang tidak diberikan Yvell kepadamu?"

Banowati memikirkannya sebentar. "Mungkin hanya bulan dan bintang saja."

Mereka berdua tertawa. Lalu sahabatnya bertanya, "Kapan kita bisa bertemu lagi?"

Sudah sifat manusia membenci perpisahan, bukan selalu karena sesuatu itu sangat penting baginya, tetapi kadang cuma karena dia telah terlalu terbiasa dengan hal itu hingga sesuatu itu menempati ruang yang luas di dalam hatinya. Saat sesuatu itu harus pergi hatinya pun akan terluka seluas ruangan yang sebelumnya dia sediakan untuk sesuatu itu.

Dulu, tiap kali kulihat bayanganmu berkelebat di luar jendela aku menyuruh ranting pinus berlari menangkap jejakmu meski kadang yang tertinggal cuma jejak hujan yang semakin samar. Hari ini kembali kulihat bayanganmu berkelebat di luar jendela tapi telah kumengerti kesedihan ranting pinus itu. Aku tak mau lagi berlari karena itu hanya akan menjauhkan aku dari rumahku dan itu tidak baik bagiku.

"Kapan?" Sahabatnya bertanya kembali.

"Once in a blue moon."

Catatan:

  1. Once in a blue moon adalah ungkapan untuk menyebut sesuatu yang sangat jarang terjadi.


  2. Ungkapan yang menyatakan bahwa hujan adalah suasana yang begitu murung sekaligus begitu indah diambil dari tulisan Joni Ariadinata dalam Aku Bisa Menulis Cerpen


  3. Pose yang dimaksud adalah pose Napoleon yang sedang menunggang kuda dalam lukisan berjudul Napoleon Crossing The Alps karya Jacques Louis David


  4. Puisi dalam cerpen ini adalah karya Drs Akhmad Tabrani MPd
Cerpen diatas dimuat pada tanggal 24 Agustus 2008 di Harian Tribun Jabar