Oleh
Yuni Kristyaningsih Pramudhaningrat
Kata-kata itu diucapkannya dengan ringan seakan dia sedang
mengucapkan selamat pagi saja. “Rasanya aku perlu melihat kamus.
Barangkali ada arti kata mistress selain dari yang sudah
kuketahui.”
“Kau mengajakku bercanda di hari yang sepanas ini?”
“Harusnya aku yang berkata seperti itu, kan?” Mungkinkah
kelaparan membuatnya kehilangan kewarasan? Selama mengenalnya aku
telah mempelajari hal yang penting yaitu bahwa satu-satunya cara
untuk membuatnya kembali normal adalah dengan memberinya
makanan jadi kugeser piring berisi salmon panggang saos jamur ke
arahnya. “Makan yang banyak.”
“Aku tidak lapar.”
Aku berusaha mencari barangkali ada hal yang salah darinya. Dia
kelihatan sebagaimana biasanya. Memakai gaun sutera putih yang
berenda dan berpita. Rambutnya yang nyaris mencapai lutut dikepang
gaya Perancis dan diikat dengan pita satin berwarna putih. Dia
memakai kalung bergaya art deco dengan bandul sebutir mutiara.
Dan aroma melati masih selalu meruap dari tubuhnya. Dia kelihatan
seperti dirinya.
“So?”
Aku meneguk minumanku untuk mengalihkan perhatian. “Apa yang
terjadi?”
“Aku kabur dari rumah,” katanya. Dia adalah seorang dengan jalan
pikiran yang tidak lazim. Kadang-kadang dia mengatakan satu hal
padahal pikirannya sedang mengarah pada hal yang lain. Aku
menyayanginya tapi itu tidak mencegahku untuk menghalangi orang lain
menyebutnya sebagai orang yang berbeda.
“Kenapa?”
“Aku bertengkar dengan orang tuaku. Mereka pikir ada yang tidak
beres dengan diriku. Belakangan mereka ingin menikahkan aku dengan
seseorang.”
Keluarganya, sangat disayangkan, tidaklah semenarik dirinya. Mereka
jenis orang yang membosankan dan satu-satunya hal yang mereka
takutkan adalah darah biru mereka tercampur keturunan orang biasa
seakan itu sama artinya dengan turunnya martabat.
“Kalau memang tidak mau bukankah tinggal bilang “tidak”?”
“Aku ingin mereka tahu bahwa bagaimana caraku menjalani hidup ini
bukanlah urusan orang lain.”
“Bukankah memang seharusnya begitu?”
“Hanya saja sekarang aku jadi tidak punya tempat untuk pulang.”
“Tinggal saja di salah satu rumahku.”
“Kenapa aku harus begitu?”
“Apa yang kumiliki adalah milikmu juga.”
Dulu saat aku masih muda dan serampangan aku sering terlibat
perkelahian. Suatu hari seseorang menusukku dan itu membuatku tidak
sadar selama dua atau tiga hari. Untuk menyelamatkan aku dia menjual
semua perhiasannya. Ketika aku sudah pulih dan mengungkit masalah itu
dia hanya tersenyum dan berkata, “Semua yang kumiliki adalah
milikmu juga.” Sejak hari itu aku tahu aku tidak akan keberatan
memberikan nyawaku jika itu berguna untuknya.
“Aku tidak sudi menjadi sasaran amal baikmu,” katanya. Aku
mendengar nada amarah dalam suaranya.
“Siapa yang hendak menjadikanmu begitu?”
“Tapi kau berniat begitu. Itu menyinggung perasaanku.”
“Kau pikir aku tidak? Bahwa di dalam hati kau meragukan kesediaanku
untuk melakukan apapun untukmu saat kau membutuhkannya itu tidak
hanya menyinggung perasaanku tapi juga menghinaku.”
“Aku tidak bermaksud begitu.”
“Well then, akan kuanggap omongan ngawurmu itu akibat dari
kelaparan.”
Ketika melihatnya menyuap makanan kukira aku telah berhasil
membungkam mulutnya tapi ternyata beberapa lama kemudian dia berkata,
“Apa aku tidak memenuhi syarat untuk menjadi wanita simpananmu?”
Aku tersedak mendengarnya.
“Syaratnya apa saja?” Dia menyodorkan segelas air kepadaku.
“Cantik ya? Itu sudah pasti. Pacarmu yang terakhir itu siapa
namanya, Fay ya kalau tidak salah, kan sangat cantik. Aku pernah
lihat kalian. Rambutnya bergelombang dan indah sekali. Rambutku lemas
dan sangat lurus. Tidak bisa diapa-apakan.”
“Aku akui seleraku terlalu biasa” kataku setelah berhasil
melepaskan diri dari akibat tersedak. Aku selalu berusaha menjaga
supaya dia tidak tahu menahu tentang kehidupanku yang liar karena
kalau dia mengomentarinya itu akan sangat menggangguku. Dia jarang
berkomentar tentang wanita-wanita yang kumiliki dan sebenarnya aku
agak heran.
“Aku lumayan biasa.”
“Bi-a-sa.” Aku sengaja mengucapkannya dalam tiga suku kata.
“Aku bisa jadi biasa.”
Aku hampir tertawa mendengarnya. “Kau tidak perlu membuang-buang
energimu.”
“Aku kan sedang dalam posisi untuk meyakinkanmu.”
“Jadi ini semacam proposal?” tanyaku dengan geli.
“He-eh.”
“Boleh aku tahu apa motivasimu?”
“Aku ingin bersama seorang pria.”
Aku tersedak untuk kedua kalinya. Aku mengenalnya lebih baik dari
siapapun. Dia mungkin tertarik pada banyak hal di dunia ini tapi pria
tidaklah termasuk di dalamnya.
“Kenapa?”
“Karena belum pernah kulakukan sebelumnya.”
“Kenapa sekarang tiba-tiba ingin melakukannya?” Aku berteman
dengannya sejak aku masih bayi. Bahkan sejak masih sangat muda dia
telah menjalani hidup seperti seorang santa. Saat gadis-gadis
membanggakan kecantikan mereka dan mulai belajar cara-cara memikat
pria dia malah mengatakan “I
have made up my mind that I will never marry. I shall be wedded to my
art.”
Aku mengira itu hanya omongan saja tapi ternyata dia memang
melakukannya. Aku tidak pernah mendengar dia jatuh cinta pada seorang
pria. Aku pria tapi aku tidak malu mengakui bahwa tidak ada pria di
dunia ini yang cukup baik untuknya. Tubuhnya terbuat dari
gumpalan-gumpalan doa. Seorang pria hanya akan mencemarinya. “Apa
ada yang mengancammu? Pria yang hendak dinikahkan denganmu itu?”
“Tidak ada. Memangnya kenapa?”
“Siapa tahu kau sedang
dihinggapi ide konyol. Mungkin ide untuk membuat seorang pria
terhormat mengurungkan niat menikahimu dengan cara berada dekat-dekat
dengan pria bejat sepertiku.”
“Tidak ada yang seperti itu,”
katanya. Lalu dia memandang dengan bola matanya yang besar dan dengan
cara yang selalu membuatku ingin memasang lingkaran halo di atas
kepalanya. “Apa kau pria bejat?”
“I am.”
“Apa yang dilakukan seorang
pria sampai disebut bejat?”
“Banyak.”
“Oooo.”
Aku menyesap jus semangka di
gelasku. Memutuskan mungkin dia perlu dihibur karena hatinya sedang
terluka. Seorang malaikat kecil seperti dirinya jelas mengalami patah
hati ribuan kali dalam sehari jika tinggal di dunia sekarang ini.
“Aku ada meeting
jam tiga nanti. Berarti masih ada waktu dua jam. Kau mau
jalan-jalan?”
“Pembicaraan kita kan belum
selesai.”
“Sudah.”
“Kamu menolakku ya?”
“Hanya membuatmu menyadari
betapa leluconmu itu membuatku kesal.”
“Maaf.” Dia memain-mainkan sendoknya. “Aku ingin menulis
tentang wanita. Banyak hal yang masih perlu kupelajari. Aku bahkan
tidak mirip seorang wanita.”
“You don’t know what you talking about.” Dia selalu
mengingatkan aku pada wanita dalam lukisannya Waterhouse. Dari dulu
bahkan sampai sekarang aku masih sering merasa kuatir jangan-jangan
di malam hari dia akan kembali ke dunianya yang sesungguhnya, di
dalam lukisan.
“Hanya kau pria yang aku percayai. Biarkan aku bersamamu.”
Aku tahu aku suka bermain-main. Kadang-kadang aku tidak tahu batas
antara mana yang boleh kulakukan dan mana yang tidak. Dan sama sekali
tidak kenal perbedaan antara gila dan waras.
Barangkali aku sudah gila ketika pada akhirnya aku benar-benar
membawanya ke rumahku. Kutempatkan dia di kamar yang paling bagus.
Kubiarkan dia melakukan apapun yang dia sukai. Aku selalu berusaha
untuk menjaganya dan membuat hatinya senang. Dia mengatur rumahku
seperti seorang queen consort, menjadi nyonya rumah dan
pendamping yang luar biasa dalam setiap kunjungan dan jamuan yang
harus kuhadiri atau kuadakan. Kalau aku tidak bisa tidur dia akan
membiarkan aku berbaring di pangkuannya. Aku punya banyak wanita tapi
tidak pernah berbaring di pangkuan seorang wanita sebelumnya.
Aku sedang berada di pangkuannya ketika ayahnya datang. Pria tua itu
terlihat begitu marah menemukan puterinya membiarkan seorang
laki-laki –dan dari jenis rendahan sepertiku- berada di
pangkuannya. Kepada puterinya dia berkata, “Aku datang untuk
mengatakan kalau kau bukan lagi bagian dari keluarga.....” Dia
menyebutkan nama keluarganya. “Kami akan melupakan kalau kau pernah
ada.” Kemudian pria itu pergi.
Aku melihat sahabatku diam. Dia menggulung-gulung ujung rambutnya
dengan telunjuknya sebagaimana kebiasaannya kalau sedang resah. Aku
duduk di dekatnya, cukup dekat untuk dapat mendengar detak
jantungnya. “Aku adalah keluargamu,” kataku. Dia mendongak
menatapku. “Aku adalah keluargamu.” Aku mengulanginya. Lalu
kulihat dia tersenyum. Aku tidak punya keluarga. Dengan senyumannya
itu dia menjadi satu-satunya keluargaku.
Aku menyuruh seorang pelukis untuk melukis kami berdua. Lukisan itu
kupajang di ruang tamu dan setiap aku pulang aku memandangnya dan
mengingat bahwa sebagai keluarga kami bisa sangat bahagia.
Dia mempunyai seorang teman laki-laki yang dipanggilnya sebagai
Seven. Aku tidak pernah menyukai Seven. Suatu hari Seven datang
mengantarkan kaca matanya yang ketinggalan. Perasaanku tidak enak..
Bagaimana mungkin seseorang yang punya masalah penglihatan, yang
tidak dapat melihat dengan jelas sesuatu yang jaraknya lebih dari dua
meter di depannya dapat ketinggalan benda sepenting itu?
Ketika dia datang dan melihat kaca matanya dia terlihat gembira.
“Beruntung aku bisa pulang ke rumah tanpa terjatuh,” katanya.
“Apa yang kau lakukan di rumah Seven sampai kau perlu melepas kaca
mata?” tanyaku.
“Aku melepasnya sewaktu mandi. Aku lupa memakainya kembali.”
“Apa yang kau lakukan sampai perlu mandi?”
“Terlalu asyik bermain-main dengan warna jadi gerah.”
“Apa maksudnya ‘terlalu asyik bermain-main dengan warna’?”
“Aku mencoba mencampur beberapa warna. Aku ingin membuat
‘kecelakaan yang indah’ tapi jadinya malah kacau sekali.” Dia
tertawa. Kelihatan senang.
“Di mana Seven saat kau mandi?”
“Aku tidak yakin. Aku kan sedang mandi.”
“Di luar atau di dalam?”
“Aku tidak mengerti maksud pertanyaanmu.”
“Dia ada di luar atau ada di dalam bersamamu?”
Dia mendongak memandangku. “Ada apa denganmu? Perasaanmu sedang
tidak enak?”
“Jawab aku. Dia di luar atau di dalam?”
Dia memandangku lalu tertawa. “Aku tidak tahu apa yang ada di
kepalamu, tapi dia kan cuma Seven.”
“Dan aku juga cuma aku.”
“Apa maksudmu?”
“Bagimu aku cuma aku sebagaimana semua orang lain juga cuma
orang lain. Benar, kan?”
“Aku…aku tidak pernah berpikir seperti itu.”
“You hurt me.”
Aku tidak tahu kenapa aku bisa begitu marah. Aku tidak tahu kenapa
ada api yang berkobar tidak hanya di kepalaku tetapi juga di seluruh
tubuhku. Aku tidak tahu kenapa kemudian aku menjadikan tubuhnya
sebagai telaga untuk memadamkan api yang berkobar di setiap selku
itu. Aku tidak tahu kenapa setelahnya aku bahkan tidak bisa
mengatakan menyesal. Aku yang sebelumnya bahkan tak berani masuk ke
dalam kamarnya sekalipun aku sangat menginginkannya entah kenapa
tiba-tiba menjelma menjadi setan di depannya. Satu-satunya yang aku
tahu adalah bahwa mengembara di tubuhnya membuatku merasakan
kedamaian dan melihatnya menangis, dalam diam dan pesona kecantikan
yang luar biasa, membuatku merasa seperti tersesat dalam lukisannya
Pollock.
Esok harinya, aku tidak dapat menemukan dirinya di mana pun di rumah.
Hampir gila aku mencarinya. Tapi seolah dia lenyap ditiup angin.
Aku mencarinya kemana-mana. Aku mendatangi keluarganya,
teman-temannya bahkan setiap tempat yang pernah dia bicarakan tapi
tetap tidak bisa menemukannya. Mungkinkah dia kembali ke tempatnya,
di dalam lukisan?
Bertahun-tahun kemudian aku melihat namanya di sampul sebuah novel di
toko buku. Susah payah aku mendapatkan alamatnya. Sebuah rumah kecil
di pedesaan, dinaungi pohon jambu dan semak melati tumbuh dimana-mana
memenuhi halaman. Aku menunggu saat yang benar-benar tepat untuk
menemuinya. Barangkali setelah aku selesai membaca novel yang kalimat
pembukanya berbunyi “I want to be your mistress” itu.
Barangkali setelahnya aku bisa tahu kenapa dia pergi.
Catatan:
- John William Waterhouse (1849-1917) adalah pelukis berkebangsaan Inggris. Dia terkenal terutama karena mengkhususkan diri melukis tokoh wanita yang ada dalam mitologi dan karya sastra. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain Flora, Windflower dan Ophelia. Lukisannya memakai warna-warna yang indah dan selalu menggambarkan wanita yang sangat cantik.
- Jackson Pollock (1912-1956) adalah pelukis aliran abstrak ekspresionis berkebangsaan Amerika. Lukisan yang dimaksud adalah lukisannya yang berjudul Number 1, Lavender Mist yang dibuat pada tahun 1949.
Cerpen ini dimuat di majalah Femina no 20 Mei 2012
No comments:
Post a Comment