Thursday 21 June 2012

I WANT TO BE YOUR MISTRESS



Oleh Yuni Kristyaningsih Pramudhaningrat

Kata-kata itu diucapkannya dengan ringan seakan dia sedang mengucapkan selamat pagi saja. “Rasanya aku perlu melihat kamus. Barangkali ada arti kata mistress selain dari yang sudah kuketahui.”
“Kau mengajakku bercanda di hari yang sepanas ini?”
“Harusnya aku yang berkata seperti itu, kan?” Mungkinkah kelaparan membuatnya kehilangan kewarasan? Selama mengenalnya aku telah mempelajari hal yang penting yaitu bahwa satu-satunya cara untuk membuatnya kembali normal adalah dengan memberinya makanan jadi kugeser piring berisi salmon panggang saos jamur ke arahnya. “Makan yang banyak.”
“Aku tidak lapar.”
Aku berusaha mencari barangkali ada hal yang salah darinya. Dia kelihatan sebagaimana biasanya. Memakai gaun sutera putih yang berenda dan berpita. Rambutnya yang nyaris mencapai lutut dikepang gaya Perancis dan diikat dengan pita satin berwarna putih. Dia memakai kalung bergaya art deco dengan bandul sebutir mutiara. Dan aroma melati masih selalu meruap dari tubuhnya. Dia kelihatan seperti dirinya.
So?”
Aku meneguk minumanku untuk mengalihkan perhatian. “Apa yang terjadi?”
“Aku kabur dari rumah,” katanya. Dia adalah seorang dengan jalan pikiran yang tidak lazim. Kadang-kadang dia mengatakan satu hal padahal pikirannya sedang mengarah pada hal yang lain. Aku menyayanginya tapi itu tidak mencegahku untuk menghalangi orang lain menyebutnya sebagai orang yang berbeda.
“Kenapa?”
“Aku bertengkar dengan orang tuaku. Mereka pikir ada yang tidak beres dengan diriku. Belakangan mereka ingin menikahkan aku dengan seseorang.”
Keluarganya, sangat disayangkan, tidaklah semenarik dirinya. Mereka jenis orang yang membosankan dan satu-satunya hal yang mereka takutkan adalah darah biru mereka tercampur keturunan orang biasa seakan itu sama artinya dengan turunnya martabat.
“Kalau memang tidak mau bukankah tinggal bilang “tidak”?”
“Aku ingin mereka tahu bahwa bagaimana caraku menjalani hidup ini bukanlah urusan orang lain.”
“Bukankah memang seharusnya begitu?”
“Hanya saja sekarang aku jadi tidak punya tempat untuk pulang.”
“Tinggal saja di salah satu rumahku.”
“Kenapa aku harus begitu?”
“Apa yang kumiliki adalah milikmu juga.”
Dulu saat aku masih muda dan serampangan aku sering terlibat perkelahian. Suatu hari seseorang menusukku dan itu membuatku tidak sadar selama dua atau tiga hari. Untuk menyelamatkan aku dia menjual semua perhiasannya. Ketika aku sudah pulih dan mengungkit masalah itu dia hanya tersenyum dan berkata, “Semua yang kumiliki adalah milikmu juga.” Sejak hari itu aku tahu aku tidak akan keberatan memberikan nyawaku jika itu berguna untuknya.
“Aku tidak sudi menjadi sasaran amal baikmu,” katanya. Aku mendengar nada amarah dalam suaranya.
“Siapa yang hendak menjadikanmu begitu?”
“Tapi kau berniat begitu. Itu menyinggung perasaanku.”
“Kau pikir aku tidak? Bahwa di dalam hati kau meragukan kesediaanku untuk melakukan apapun untukmu saat kau membutuhkannya itu tidak hanya menyinggung perasaanku tapi juga menghinaku.”
“Aku tidak bermaksud begitu.”
Well then, akan kuanggap omongan ngawurmu itu akibat dari kelaparan.”
Ketika melihatnya menyuap makanan kukira aku telah berhasil membungkam mulutnya tapi ternyata beberapa lama kemudian dia berkata, “Apa aku tidak memenuhi syarat untuk menjadi wanita simpananmu?”
Aku tersedak mendengarnya.
“Syaratnya apa saja?” Dia menyodorkan segelas air kepadaku. “Cantik ya? Itu sudah pasti. Pacarmu yang terakhir itu siapa namanya, Fay ya kalau tidak salah, kan sangat cantik. Aku pernah lihat kalian. Rambutnya bergelombang dan indah sekali. Rambutku lemas dan sangat lurus. Tidak bisa diapa-apakan.”
“Aku akui seleraku terlalu biasa” kataku setelah berhasil melepaskan diri dari akibat tersedak. Aku selalu berusaha menjaga supaya dia tidak tahu menahu tentang kehidupanku yang liar karena kalau dia mengomentarinya itu akan sangat menggangguku. Dia jarang berkomentar tentang wanita-wanita yang kumiliki dan sebenarnya aku agak heran.
“Aku lumayan biasa.”
“Bi-a-sa.” Aku sengaja mengucapkannya dalam tiga suku kata.
“Aku bisa jadi biasa.”
Aku hampir tertawa mendengarnya. “Kau tidak perlu membuang-buang energimu.”
“Aku kan sedang dalam posisi untuk meyakinkanmu.”
“Jadi ini semacam proposal?” tanyaku dengan geli.
“He-eh.”
“Boleh aku tahu apa motivasimu?”
“Aku ingin bersama seorang pria.”
Aku tersedak untuk kedua kalinya. Aku mengenalnya lebih baik dari siapapun. Dia mungkin tertarik pada banyak hal di dunia ini tapi pria tidaklah termasuk di dalamnya.
“Kenapa?”
“Karena belum pernah kulakukan sebelumnya.”
“Kenapa sekarang tiba-tiba ingin melakukannya?” Aku berteman dengannya sejak aku masih bayi. Bahkan sejak masih sangat muda dia telah menjalani hidup seperti seorang santa. Saat gadis-gadis membanggakan kecantikan mereka dan mulai belajar cara-cara memikat pria dia malah mengatakanI have made up my mind that I will never marry. I shall be wedded to my art.” Aku mengira itu hanya omongan saja tapi ternyata dia memang melakukannya. Aku tidak pernah mendengar dia jatuh cinta pada seorang pria. Aku pria tapi aku tidak malu mengakui bahwa tidak ada pria di dunia ini yang cukup baik untuknya. Tubuhnya terbuat dari gumpalan-gumpalan doa. Seorang pria hanya akan mencemarinya. “Apa ada yang mengancammu? Pria yang hendak dinikahkan denganmu itu?”
Tidak ada. Memangnya kenapa?”
Siapa tahu kau sedang dihinggapi ide konyol. Mungkin ide untuk membuat seorang pria terhormat mengurungkan niat menikahimu dengan cara berada dekat-dekat dengan pria bejat sepertiku.”
Tidak ada yang seperti itu,” katanya. Lalu dia memandang dengan bola matanya yang besar dan dengan cara yang selalu membuatku ingin memasang lingkaran halo di atas kepalanya. “Apa kau pria bejat?”
I am.”
Apa yang dilakukan seorang pria sampai disebut bejat?”
Banyak.”
Oooo.”
Aku menyesap jus semangka di gelasku. Memutuskan mungkin dia perlu dihibur karena hatinya sedang terluka. Seorang malaikat kecil seperti dirinya jelas mengalami patah hati ribuan kali dalam sehari jika tinggal di dunia sekarang ini. “Aku ada meeting jam tiga nanti. Berarti masih ada waktu dua jam. Kau mau jalan-jalan?”
Pembicaraan kita kan belum selesai.”
Sudah.”
Kamu menolakku ya?”
Hanya membuatmu menyadari betapa leluconmu itu membuatku kesal.”
“Maaf.” Dia memain-mainkan sendoknya. “Aku ingin menulis tentang wanita. Banyak hal yang masih perlu kupelajari. Aku bahkan tidak mirip seorang wanita.”
You don’t know what you talking about.” Dia selalu mengingatkan aku pada wanita dalam lukisannya Waterhouse. Dari dulu bahkan sampai sekarang aku masih sering merasa kuatir jangan-jangan di malam hari dia akan kembali ke dunianya yang sesungguhnya, di dalam lukisan.
“Hanya kau pria yang aku percayai. Biarkan aku bersamamu.”
Aku tahu aku suka bermain-main. Kadang-kadang aku tidak tahu batas antara mana yang boleh kulakukan dan mana yang tidak. Dan sama sekali tidak kenal perbedaan antara gila dan waras.
Barangkali aku sudah gila ketika pada akhirnya aku benar-benar membawanya ke rumahku. Kutempatkan dia di kamar yang paling bagus. Kubiarkan dia melakukan apapun yang dia sukai. Aku selalu berusaha untuk menjaganya dan membuat hatinya senang. Dia mengatur rumahku seperti seorang queen consort, menjadi nyonya rumah dan pendamping yang luar biasa dalam setiap kunjungan dan jamuan yang harus kuhadiri atau kuadakan. Kalau aku tidak bisa tidur dia akan membiarkan aku berbaring di pangkuannya. Aku punya banyak wanita tapi tidak pernah berbaring di pangkuan seorang wanita sebelumnya.
Aku sedang berada di pangkuannya ketika ayahnya datang. Pria tua itu terlihat begitu marah menemukan puterinya membiarkan seorang laki-laki –dan dari jenis rendahan sepertiku- berada di pangkuannya. Kepada puterinya dia berkata, “Aku datang untuk mengatakan kalau kau bukan lagi bagian dari keluarga.....” Dia menyebutkan nama keluarganya. “Kami akan melupakan kalau kau pernah ada.” Kemudian pria itu pergi.
Aku melihat sahabatku diam. Dia menggulung-gulung ujung rambutnya dengan telunjuknya sebagaimana kebiasaannya kalau sedang resah. Aku duduk di dekatnya, cukup dekat untuk dapat mendengar detak jantungnya. “Aku adalah keluargamu,” kataku. Dia mendongak menatapku. “Aku adalah keluargamu.” Aku mengulanginya. Lalu kulihat dia tersenyum. Aku tidak punya keluarga. Dengan senyumannya itu dia menjadi satu-satunya keluargaku.
Aku menyuruh seorang pelukis untuk melukis kami berdua. Lukisan itu kupajang di ruang tamu dan setiap aku pulang aku memandangnya dan mengingat bahwa sebagai keluarga kami bisa sangat bahagia.
Dia mempunyai seorang teman laki-laki yang dipanggilnya sebagai Seven. Aku tidak pernah menyukai Seven. Suatu hari Seven datang mengantarkan kaca matanya yang ketinggalan. Perasaanku tidak enak.. Bagaimana mungkin seseorang yang punya masalah penglihatan, yang tidak dapat melihat dengan jelas sesuatu yang jaraknya lebih dari dua meter di depannya dapat ketinggalan benda sepenting itu?
Ketika dia datang dan melihat kaca matanya dia terlihat gembira. “Beruntung aku bisa pulang ke rumah tanpa terjatuh,” katanya.
“Apa yang kau lakukan di rumah Seven sampai kau perlu melepas kaca mata?” tanyaku.
“Aku melepasnya sewaktu mandi. Aku lupa memakainya kembali.”
“Apa yang kau lakukan sampai perlu mandi?”
“Terlalu asyik bermain-main dengan warna jadi gerah.”
“Apa maksudnya ‘terlalu asyik bermain-main dengan warna’?”
“Aku mencoba mencampur beberapa warna. Aku ingin membuat ‘kecelakaan yang indah’ tapi jadinya malah kacau sekali.” Dia tertawa. Kelihatan senang.
“Di mana Seven saat kau mandi?”
“Aku tidak yakin. Aku kan sedang mandi.”
“Di luar atau di dalam?”
“Aku tidak mengerti maksud pertanyaanmu.”
“Dia ada di luar atau ada di dalam bersamamu?”
Dia mendongak memandangku. “Ada apa denganmu? Perasaanmu sedang tidak enak?”
“Jawab aku. Dia di luar atau di dalam?”
Dia memandangku lalu tertawa. “Aku tidak tahu apa yang ada di kepalamu, tapi dia kan cuma Seven.”
“Dan aku juga cuma aku.”
“Apa maksudmu?”
“Bagimu aku cuma aku sebagaimana semua orang lain juga cuma orang lain. Benar, kan?”
“Aku…aku tidak pernah berpikir seperti itu.”
You hurt me.
Aku tidak tahu kenapa aku bisa begitu marah. Aku tidak tahu kenapa ada api yang berkobar tidak hanya di kepalaku tetapi juga di seluruh tubuhku. Aku tidak tahu kenapa kemudian aku menjadikan tubuhnya sebagai telaga untuk memadamkan api yang berkobar di setiap selku itu. Aku tidak tahu kenapa setelahnya aku bahkan tidak bisa mengatakan menyesal. Aku yang sebelumnya bahkan tak berani masuk ke dalam kamarnya sekalipun aku sangat menginginkannya entah kenapa tiba-tiba menjelma menjadi setan di depannya. Satu-satunya yang aku tahu adalah bahwa mengembara di tubuhnya membuatku merasakan kedamaian dan melihatnya menangis, dalam diam dan pesona kecantikan yang luar biasa, membuatku merasa seperti tersesat dalam lukisannya Pollock.
Esok harinya, aku tidak dapat menemukan dirinya di mana pun di rumah. Hampir gila aku mencarinya. Tapi seolah dia lenyap ditiup angin.
Aku mencarinya kemana-mana. Aku mendatangi keluarganya, teman-temannya bahkan setiap tempat yang pernah dia bicarakan tapi tetap tidak bisa menemukannya. Mungkinkah dia kembali ke tempatnya, di dalam lukisan?
Bertahun-tahun kemudian aku melihat namanya di sampul sebuah novel di toko buku. Susah payah aku mendapatkan alamatnya. Sebuah rumah kecil di pedesaan, dinaungi pohon jambu dan semak melati tumbuh dimana-mana memenuhi halaman. Aku menunggu saat yang benar-benar tepat untuk menemuinya. Barangkali setelah aku selesai membaca novel yang kalimat pembukanya berbunyi “I want to be your mistress” itu. Barangkali setelahnya aku bisa tahu kenapa dia pergi.

Catatan:
  1. John William Waterhouse (1849-1917) adalah pelukis berkebangsaan Inggris. Dia terkenal terutama karena mengkhususkan diri melukis tokoh wanita yang ada dalam mitologi dan karya sastra. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain Flora, Windflower dan Ophelia. Lukisannya memakai warna-warna yang indah dan selalu menggambarkan wanita yang sangat cantik.
  2. Jackson Pollock (1912-1956) adalah pelukis aliran abstrak ekspresionis berkebangsaan Amerika. Lukisan yang dimaksud adalah lukisannya yang berjudul Number 1, Lavender Mist yang dibuat pada tahun 1949.
Cerpen ini dimuat di majalah Femina no 20  Mei 2012

No comments: