Thursday 21 June 2012

AKU INGIN MELIHAT MATAHARI TERBIT BERSAMAMU


Oleh Yuni Kristyaningsih Pramudhaningrat


Aku ingin melihat matahari terbit bersamamu.


Aku membuka daun jendela kayu jati berukir bunga-bunga bulat yang menjulur kesana kemari itu dan melihat langit sudah terang tapi matahari belum tampak. Apakah aku bangun terlambat?


Aku melihat seseorang berdiri di jalan setapak di dalam taman, di antara batang-batang melati. Aku melangkah ke pintu dan kemudian berjalan mengitari bunga azalea dalam pot keramik besar dan serumpun mawar putih menuju ke arahnya. “Guten Morgen,”sapaku. Berjalan tanpa alas kaki di atas batu-batu bulat pada pagi hari adalah rutinitas penghuni rumah itu. Aku mengetahuinya dari sisa-sisa ingatanku.


Sapaanku tidak dijawab. Orang itu hanya menoleh sebentar lalu tanpa mengubah gerakannya yang meliuk dengan lembut mengikuti pola-pola tertentu dia berkata “Tidurmu nyenyak?”


“Iya. Terima kasih.” Semalam aku tidak dapat tidur sekejap pun. Rumah tradisional itu tidak memiliki palang pintu. Dia bisa masuk dan menusuk dadaku dengan pisau kapan saja. Aku tidak takut mati. Aku hanya tidak ingin tidak terjaga ketika dia sedang membalaskan dendamnya. Aku berharap dia melakukannya. Setidaknya dengan begitu aku punya alasan untuk meminta maaf. Saat ini mustahil meminta maaf padanya tanpa melukai harga dirinya.


“Ini apa?” Aku mengamatinya. “Tai-chi?”


Andrew dan aku berlatih tai-chi setiap pagi. Aku suka gerakannya yang seperti menari. Dalam taraf tertentu ini adalah jurus bela diri yang berbahaya. Prinsipnya adalah memukul balik musuh dengan memanfaatkan tenaga musuh itu sendiri. Aku belum pernah menggunakannya untuk memukul orang tapi mungkin Andrew pernah.


“Maukah anda mengajariku?” kataku. Dia punya kebiasaan berbicara dengan kalimat-kalimat pendek. Aku berharap kesopansantunan akan mengubahnya sedikit. Aku percaya pada kata-kata. Orang yang sedikit bicara membuatku ngeri. Sejak aku datang kemarin kami belum bertukar kata lebih dari setengah lusin.


“Tidak. Ini tidak cocok untuk anak muda sepertimu.”


“Saya sudah tua. Umur saya tiga puluh tiga saat ini.”


Dia tertawa tapi tidak ada nada senang di dalam tawanya. “Itu umur dimana orang-orang bertindak bodoh,” katanya. Puterinya meninggal saat berusia tiga puluh tiga. “Bukan untuk disebut tua.”


Aku melihat sosoknya yang tinggi dan besar. Matanya yang berwarna seperti laut pada musim badai dan rambut kecokelatan dengan beberapa jumput warna keperakan. Dia tidak memperlihatkan definisi kata ‘tua’. “Saya bodoh sejak lahir. Dan mungkin akan tetap begitu sampai mati,” kataku.


Dia menghentikan gerakannya. Sepertinya merasa terganggu.


“Sepertinya kau terbiasa mendapatkan pemaafan,” ucapnya sambil berjalan ke arah bangku taman dan meraih handuk kecil yang tersampir di kursi. Tubuhnya berkeringat. Aku mengikuti berjalan di belakangnya.


“Tidak dari diri saya sendiri,” jawabku. Tidak juga dari pria ini dan kekasihku, kurasa.


“Oya? Yang seperti itu susah untuk dilihat. Orang mungkin iri padamu.” Aku tahu dia mengatakannya untuk melampiaskan kemarahan. “Orang cenderung tidak menyukai orang yang melakukan sesuatu tanpa mendapat resiko apapun.”


“Apakah ada orang yang begitu?”


“Aku tidak tahu. Mungkin beberapa.”


Dia duduk di bangku taman dan mengusap lututnya.


Dia mendapat kecelakaan ketika masih muda yang membuatnya berhenti menjadi tentara dan mulai belajar kedokteran. Dia perlu membawa tongkat kemana-mana tapi dia tetap tipe pria Eropa yang elegan dan menakutkan. He has my bad temper in an original version.


“Masih pagi,” ujarnya. “Kembalilah ke kamar. Kami baru sarapan sekitar jam delapan.”


“Saya ingin pergi ke suatu tempat.”


Sebelah alisnya menaik. “Menurutku kau akan tetap pergi walau aku melarangmu kesana.”


“Saya ingin melihat matahari terbit.”


“Matahari terbit setiap hari.”


Aku ingin melihat matahari terbit bersamamu. Kekasihku berkata begitu tahun lalu dan juga tahun-tahun sebelumnya.


Saat itu aku tertarik pada banyak hal tetapi matahari terbit tidaklah termasuk di dalamnya.


Aku tidak percaya akan masa depan. Meskipun aku tahu bahwa dalam hidup ini orang selalu akan ngunduh wohing pakarti, ketidakpercayaan itu membuatku hidup sesuka hatiku. Aku sama sekali tidak tahu kalau pada suatu hari dia akan menjadi salah satu buah perbuatan yang harus aku petik.


Bagiku cinta baru bisa dipikirkan setelah semua hal yang lain diurus dengan baik. Itu baru fair. Kebanyakan orang memperlakukan cinta seperti semacam hiburan saja. Sesuatu yang diam-diam mereka nikmati ketika mereka kelelahan atau melarikan diri dari hal-hal lain yang lebih serius dan realistis.


Kekasihku wanita yang terlalu romantis, dia gembira karena hal-hal kecil dan sangat mudah terluka. Dia mencintaiku dengan sepenuh perasaan. Sesuatu yang selalu membangkitkan rasa kasihanku


“Saya tahu,” jawabku, menatap laki-laki itu. “Tapi matahari tidak sama setiap harinya.”


Aku mengangguk padanya dan hendak melangkah pergi. Beberapa langkah aku mendengar suaranya. “Apa kau tahu dia mengidap hemochromatosis?”


Aku berbalik. “Apa itu?”


“Jadi kau tidak tahu?”


“Maaf saya tidak tahu. Tolong anda jelaskan apa itu.”


“Aku tidak suka padamu.” Dia berbicara dengan nada datar seperti biasanya. “Ketika dia meminta persetujuanku atas pernikahan kalian kami bertengkar hebat. Kukatakan dalam hubungan semacam itu orang sepertimulah yang akan lebih cepat bosan dibandingkan orang seperti dia. Tapi rupanya dia sangat percaya kepadamu. Dia mewarisi kebodohan ibunya.”


Saat pertama kali bertemu ayahku, ibuku jatuh cinta padanya dan menyerahkan seluruh hatinya. Ayahku terlalu manja untuk bisa mengambil tanggungjawab semacam itu jadi dia pergi. Perlu waktu dua puluh tahun baginya untuk menyadari bahwa aku adalah anak yang lahir karena kecerobohannya.


“Saya...” Aku ingin sekali meminta maaf tapi tidak mampu mengucapkannya.


“Lalu ketika kau memutuskan hubungan dengannya aku berpikir aku harus meluangkan waktu untuk membujukmu.” Dia tertawa kecil. Sangat satir. “Kau harus lihat bagaimana dia begitu antusias menyiapkan pernikahannya. Kau tahu dia menganggap dirinya harus menjalani hidup seperti biarawati karena pandangan orang-orang yang kolot tentang anak haram. Dia tidak pernah peduli pada pria manapun seumur hidupnya. Ide tentang pernikahan dan keluarga tidak pernah singgah di kepalanya. Sampai dia bertemu denganmu dan kau berhasil menyusupkan ide itu ke dalam angan-angannya. Dia mengikuti pelayanku sepanjang hari dan mengganggunya dengan pertanyaan bagaimana melakukan ini dan itu. Dia belajar memasak dan menangis ketika ikan yang dia goreng gosong. Katanya kau suka makan ikan. Dia membeli bermeter-meter kain brokat untuk dijahit menjadi kebaya. Dia memang sangat lugu dan bodoh.” Dia menatapiku. “Kenapa kau tiba-tiba membatalkan pernikahan?”


“Saya sudah menikah. Saya pikir tidak adil bagi...”


“Lalu kenapa kau memulainya, demi Tuhan?” Suaranya meninggi. “Seorang pria terhormat tidak seharusnya memulai sesuatu yang tidak dapat dia lakukan sampai akhir. Tidakkah kau mendapatkan pelajaran itu ketika kecil?”


“Saya bukan pria terhormat.”


“Oh, itu jelas sekali.” Ketajaman suaranya membuatku merasa agak nyaman. Aku harus mendapatkan hukuman darinya entah bagaimana. Itu akan membuatku merasa lebih baik. “Aku seharusnya membunuhmu. Semua orang akan maklum kalau kulakukan itu. Tapi bahkan puteriku sendiri saja tidak membuat keributan sedikit pun. Walaupun sebenarnya dia punya hak untuk itu. Katanya itu supaya hidupmu tidak terusik. Kau punya keluarga dan anak-anak. Kau punya pekerjaan yang mengharuskanmu menjaga martabat. Dia lebih memilih menghinakan dirinya sendiri dengan berkumpul bersama iblis di neraka.”


Aku menyaksikan kesedihan mendalam yang tersembunyi di dalam kata-kata kerasnya. “Kalau membunuhku dapat...”


“Tidak. Aku tidak bisa membiarkanmu menemuinya disana. Setidaknya itulah yang kuharapkan.” Dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. “Lakukan apa yang kau mau dan segeralah pergi. Sudah cukup aku melihat wajahmu hari ini dan kemarin.”


Berjalan kaki aku mengikuti jalan yang sudah kuketahui. Jalanan desa yang mengikuti arah tepian sungai. Langit sudah terang dan aku melihat beberapa orang berjalan di pematang sawah. Mungkin ini waktu dimulainya jam kerja bagi petani.


Aku berjalan dengan langkah yang makin kupercepat. Di langit sebelah timur, di balik pegunungan sudah terlihat semburat merah keemasan meskipun ujung celanaku basah kuyup oleh embun. Setelah mendaki dua bukit kecil, menyeberangi sungai, melewati beberapa rumah, berjalan di daerah persawahan, aku sampai di tempat itu. Masih sama seperti yang ada dalam ingatanku.


Aku melihat cahaya pertama matahari menyinari ujung-ujung ranting jati yang kering.


Tempat paling indah di desaku adalah pemakaman. Berada di satu bagian dari tanah milik keluargaku. Di atas sebuah bukit kecil yang kanan kirinya diapit oleh dua sungai berlereng terjal. Di lereng-lereng itu tumbuh bunga-bunga anggrek liar. Bunga yang akan mati jika kau mencoba memindahkannya dari tempatnya tumbuh. Pemakaman itu dikelilingi hutan jati. Dahulu tidak ada satu pun pohon disitu kecuali pohon pulai tua yang bunganya melimpah ruah pada musim penghujan. Kemudian kakekku menanaminya dengan pohon jati satu demi satu sejak dia masih kecil sambil membayangkan batang-batangnya yang tumbuh lurus akan menjadi tiang-tiang dari rumah-rumah yang akan dibangun anak cucunya kelak. Kalau kau sempat berada di sana pada saat matahari terbit atau tenggelam kau akan berpikir hidup itu lumayan menyenangkan.


Aku melepas sandal yang aku pakai di pintu masuk pemakaman yang hanya berupa dua pohon kamboja berjarak dua atau tiga meter yang ranting-rantingnya saling bertautan membentuk semacam lengkungan. Banyak sekali bunga kamboja yang gugur berserakan di tanah. Aku memungut salah satunya.


Sewaktu kecil aku suka mencari bunga kamboja dengan jumlah mahkota genap karena katanya siapa yang menemukannya akan beruntung. Aku tidak tahu kalau bunga kamboja itu makhota bunganya selalu ganjil. Aku memang tidak pernah beruntung.


Aku berjalan berkeliling sebentar lalu duduk di dekat sebuah nisan dari marmer hitam. “Aku datang untuk melihat matahari terbit bersamamu.” Aku berkata sambil melihat ukiran huruf emas di bagian kepala nisan itu. Disana terukir nama wanita itu.


Aku melihat cahaya menyilaukan memantul dari embun di pucuk-pucuk daun sesemakan liar.


Aku ingat setiap patah kata yang ditulisnya dalam surat terakhirnya padaku:


Dear I.


I knew everything that happened was to save you. Your family and your name. And that’s okay, because I love you so much. But somehow I’m always the one who get hurt. How can I deal with it?


Today, I did things I abhor to protect the one thing I value most, my pride. If anyone can understand it, it’s you. Your compassion is a gift, I. Carry it with you, as I will carry my regret. Always and forever.


Y.


Untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku mengakui aku merasa kesepian. Barangkali inilah yang dirasakan kekasihku ketika dia berjalan masuk ke danau dan menenggelamkan dirinya.






Catatan:


Guten Morgen : bahasa Jerman berarti selamat pagi


Ngunduh wohing pakarti : memetik buah perbuatan sendiri


Hemochromatosis adalah penyakit genetis dimana tubuh mengalami ketidakmampuan memetabolisme zat besi sehingga menyebabkan kerusakan mental dan fisik. Penyakit ini banyak diderita oleh orang keturunan Eropa. Pada beberapa kasus, penyakit ini diduga menyebabkan penderitanya memiliki kecenderungan untuk melakukan bunuh diri. Hemingway dikabarkan menderita penyakit ini.


Pemakaman yang saya gambarkan dalam tulisan ini adalah pemakaman Thuk Sekar di desa Wotan kecamatan Pulung kabupaten Ponorogo. Nama Thuk itu adalah penggalan dari kata puthuk yang berarti bukit. Pemakaman ini berada di atas bukit dikelilingi hutan jati. Bukit dan tanah-tanah di sekitarnya dimiliki oleh keluarga saya sejak turun temurun.


Cerpen ini dimuat di majalah horison edisi Juni 2012

No comments: