Wednesday 21 September 2011

SEBUAH PERTANYAAN


Oleh Yuni Kristianingsih Pramudhaningrat


‘Apakah yang kita jalani ini cinta?’

Sebuah jeda yang lama.

Pertanyaan itu terkesan di hatinya seperti sewaktu melihat adegan seorang pemburu berdiri di tebing es berhadapan dengan beruang dalam film Brother Bear. Antara pemuda yang ingin melindungi adiknya dan beruang yang ingin melindungi anaknya sama-sama punya alasan untuk melakukan segala cara agar keluar dari tebing itu dalam keadaan hidup. Dia dan ia persis seperti pemuda dan beruang itu. Namun pada akhirnya salah satu harus membuat pecahan es untuk mengakhirinya. Pertanyaan itu adalah tebing es itu sementara dia sungguh tidak ingin menjadi Sitka.

*

‘Aku baru saja melihat Ingram dan Heathcliff. Mereka berdua sedang duduk mengobrol sambil berpegangan tangan. Jantung mereka berdetak seperti irama waltz. Aku senang setidaknya jantung mereka tidak seperti jantungku. Jantungku bersuara seperti debur ombak. Seperti apa suara detak jantungmu?’

Ia menderita Mitral Valve Prolapse Syndrome, sebuah penyakit jantung dimana penderitanya sering mengalami cronic fatigue dan sebuah gejala ringan sering berakhir dengan kematian yang tiba-tiba.

‘Suara mesin jahit.’

Dia memiliki jantung yang sangat sehat dan kelihatannya masih mampu berdetak untuk waktu yang lama.

*

‘Baik-baik saja?’

‘Sayangnya aku masih hidup meski tidak ada alasan untuk hidup.’

‘Itu bagus.’

‘Apanya?’

‘Banyak orang terlalu mencintai kehidupan. Itulah yang menjadikan dunia ini tidak lagi nyaman untuk ditinggali. Kalau berkurang satu orang yang begitu bukankah itu bagus?’

Ia kehilangan putera kembarnya yang masih berumur tujuh bulan dalam kandungan. Ini sudah yang keempat kalinya. Ia dibuahi dalam jeda waktu dua tahun dan selalu tidak mampu melahirkannya. Dia membuahi istrinya dalam jeda waktu dua tahun dan istrinya selalu berhasil melahirkan hasil pembuahannya.

*

This illness is rapidly consuming my life towards the close. But always never to close to send me to the grave as I want.’

Ia menghabiskan lebih dari empat bulan dalam satu tahun di rumah sakit hampir di setiap tahun di dalam hidupnya. Dia tidak pernah sudi menginjakkan kaki di rumah sakit dan selalu tidak punya keperluan disana.

‘Kenapa ingin sekali pergi ke kuburan? Memangnya ada apa disana?’

‘Barangkali suatu tempat untuk tidur nyenyak. Aku jarang bisa tidur.’

Disana tidak akan ada jendela. Bagaimana kau bisa tidur tanpa membuka jendela?’

‘Belum pernah kupikirkan sebelumnya.’

Makanya setidaknya sembuhkan dulu claustrophobia-mu itu sebelum pergi kesana.’

Ia selalu memiliki selera humor yang aneh mengenai kematian. Dia selalu menanggapi keanehannya itu sebagai sesuatu yang lucu.

*

Dia pergi ke Kyoto pada musim gugur dan tinggal disana sampai musim semi. Ia pernah tinggal bersama bibinya di Kyoto selama satu tahun untuk belajar bahasa Jepang. Dia meminta alamat bibinya di Kyoto. Ia tidak memberikan alamatnya. Dia menganggapnya menjengkelkan tapi dia mengiriminya foto hutan Kitayama.

Suppose we were walking hand in hand down one of the long roads underneath momiji trees canopy (I do like momiji tree in autumn). If we were, I really think it would be more than a moment of esteem. And if I lucky enough, maybe, you will kiss me,’ adalah tanggapan wanita itu.

‘Kiss’ adalah kata yang tidak pernah ia gunakan sebelumnya. Dia berpikir wanita itu sedang sakit.

Do you want me to kiss you?’

And do you?’

‘Hmm. Dimana kau ingin dicium?’

‘Di tempat-tempat yang pantas.’

‘Hahaha… I’ll think about it.’

And I’ll gather my luckiness.’

*

‘Apakah yang kita jalani ini cinta?’

Sebuah jeda yang lama.

*

Dia selalu menyukai mainan. Dia membentuk dunia bersama mainan-mainan itu, sebuah dunia tanpa ada berat atau ringan. Secara perlahan dan diam-diam dia menggunakan dunia itu untuk melindunginya dari rasa sakit dan penderitaan. Bagian paling tidak menyenangkan dari sebuah mainan adalah ketika dia harus beranjak dan menempatkan kembali mainan itu ke tempat penyimpanannya. Pertanyaan itu seperti alarm penunjuk bagi saat itu.

*

‘Aku membaca cerpenmu.’ Dia berkata dan menyebutkan sebuah judul.

Ia mengaku tidak memiliki ketertarikan apapun di dunia ini. Ketertarikan yang disebut-sebut orang sebagai ambisi. Ia hanya melakukan apa yang ia suka atau ia kira ia sukai. Ia suka menulis cerpen dan puisi. Kadang-kadang redaktur di surat kabar dan majalah cukup berbaik hati untuk memuat tulisannya. Dan setiap kali itu terjadi ia merasa pengakuannya mungkin salah, barangkali ia punya sedikit ambisi.

Dia suka sekali membaca. Jika sedang malas dia dapat tidak beranjak dari tempat tidurnya sepanjang hari asal dia masih berada di hadapan komputernya. Dia dapat saja lupa apa sarapan yang diantarkan istrinya padanya tapi dia sering tidak dapat lupa apa yang sudah dia baca. Dia tidak mengerti tentang puisi ataupun sastra, tapi kalau sedang bosan dia mengetik namanya di search engine-nya Google dan menemukan tulisannya. Dia membacanya satu atau dua kali.

‘Kan sudah kubilang jangan membaca tulisanku.’

‘Kau tahu aku tidak suka disuruh-suruh.’

‘Aku menulisnya untukmu. Maaf ya.’

‘Kenapa minta maaf?’

‘Barangkali saja kau berpikir aku mempermalukanmu. Menggunakan kenangan tentang orang lain untuk menulis bukankah seperti memotret orang yang kecelakaan lalu dapat penghargaan padahal orang yang kecelakaan itu mati di hadapannya?’

‘Kau memandang rendah dirimu sendiri.’

‘Karena di satu sisi ‘menyampaikan fakta yang benar’ sementara di sisi lain ‘mendapat kesenangan pribadi’, begitu? Iya, tentu saja.’

Dia tertawa. ‘Aku bahkan tidak mengerti dengan apa yang kau sebut membuat malu itu.’

Tapi kalau disuruh memilih aku lebih suka menuliskan kenangan daripada yang lain. Waktu kita hanya berputar antara apa yang sedang kita lakukan bercampur baur dengan kenangan dan harapan. Apa yang sedang kita lakukan, masa kini kita, our moment, kadang berlalu begitu cepatnya dan sebentar saja sudah menjadi kenangan tanpa kita sadari. Harapan, sebagai wakil masa depan, seperti parfum. Jika kualitasnya baik akan meninggalkan jejak kedirian kita yang kalau ditelusuri akan membuat kita sampai pada diri kita sendiri, jika kualitasnya buruk hanya akan mengaburkan jejak itu, meskipun aku sering berpikir yang kualitasnya baik maupun yang tidak sama-sama sering dipakai untuk menutupi sisi buruk kita.’

‘Kupikir karena tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian itulah yang menjadikan hidup ini menarik. Itulah kenapa harapan itu penting. Membuat orang berpikir dia punya kemungkinan untuk mampu melakukan apa saja. Memiliki kemungkinan bagiku jauh lebih penting daripada benar-benar melakukannya atau tidak.’

*

‘Apakah yang kita jalani ini cinta?’

Sebuah jeda yang lama.

*

Ia menyukai dunia mimpi. Dunia dimana semua dongeng sah-sah saja untuk ada. Dunia dimana dia mendapat hak untuk membekukan masa kanak-kanaknya yang indah. Meski bukan luka-luka nyata tapi ia telah banyak menerima luka-luka semacam itu dari kehidupannya. Di dalam mimpi dia bisa berteman dengan para peri dan mengubah luka-luka itu menjadi hilang dalam kejapan mata. Ia menganggap dia adalah salah satu peri itu.

*

‘Aku bermimpi.’ Ia memulai percakapan.

‘Apa?’

‘Aku telah dikubur lama sekali. Kau selalu mengunjungi kuburanku tiap minggu. Kau mengetuk nisanku, memanggil namaku dan aku akan keluar. Mataku penuh dengan tanah. Kau biasanya menyeka tanah itu dari mataku. Suatu hari kau pergi jauh dan sedang bersama wanita lain. Minggu-minggu berlalu dan sepertinya kau lupa mengunjungiku. Aku takut kau datang pada saat aku sedang tidur jadi aku tidak mau tidur. Suatu hari akhirnya kau datang. Aku begitu lelah karena kurang tidur. Waktu kau mengetuk nisanku dan aku keluar, aku tampak sangat buruk rupa dan kau kelihatan kecewa.

“Kau kelihatan tidak sehat,” katamu. “Kenapa?”

“Aku tidak bisa tidur,” jawabku.

“Kau perlu istirahat yang baik selama sebulan,” katamu.

Kemudian kau pergi dan aku kembali masuk dalam kuburanku. Aku tahu aku tidak akan bisa tidur selama sebulan penuh dan pada saat kau kembali nanti, aku akan lebih buruk rupa dari itu, dan kau akan makin kecewa.’

‘Kau terlalu banyak pikiran.’

‘Menurutmu begitu?’

‘Kau memikirkan segala sesuatu padahal kau tidak harus melakukannya.’

‘Kupikir aku tidak bisa menanggung rasa cinta.’

‘Menurutmu begitu?’

‘Aku ingin bertemu denganmu.’

Mereka tinggal terpisah sangat jauh. Sebuah perjumpaan, barangkali misalnya secara tanpa sengaja bertemu dan menyapa di jalan saat mereka pergi makan siang, rasanya hanya akan dapat terjadi setelah Tuhan sendiri yang ikut campur.

Bisakah?’

Terhadap pertanyaan ‘bisakah?’ itu bahkan mereka sendiri pun tidak tahu jawabannya.’

*

‘Apakah yang kita jalani ini cinta?’

Sebuah jeda yang lama.

Selalu saja sebuah jeda yang lama.



Catatan:

  • Kata ganti orang ketiga tunggal yang digunakan dalam cerpen ini adalah dia dan ia. Kata dia menunjuk pada tokoh pria dan kata ia mengacu pada tokoh wanita

  • Mimpi tentang kuburan dikutip dari mimpi Teresa di dalam novel The Unbearable Lightness Of Being karya Milan Kundera.

Cerpen ini dimuat di www.sastradigital.com edisi september 2011

No comments: