Sunday 9 November 2008

SURAT



Oleh Yuni Kristyaningsih Pramudhaningrat


Dhimas,
Ketika aku menulis surat ini, dari jendela, aku melihat langit penuh awan. Itu adalah jenis awan berwarna putih, tipis, dan merata di semua sisi langit. Keberadaan awan itu menjadikan langit kelihatan sebagai suatu bidang yang mempunyai batas. Sebuah ruang yang terpagari oleh sesuatu. Langit yang seperti itu membuat aku merasa aku adalah seorang penderita claustrophobia. Selama ini kalau aku membutuhkan penghiburan maka aku akan memandang langit. Sesuatu yang begitu luas selalu mampu meredam kegundahan di hatiku.
Tentu saja di suatu tempat pasti ada sudut atau ruang yang menjadi batas dari langit, tetapi karena aku tidak mengetahui di mana letak sudut atau ruang itu –bahkan dalam renungan paling mendalam dan khayalan paling liar sekalipun aku tidak mampu memikirkan di mana letaknya- maka sekali waktu aku berpikir mungkin luasnya langit hanya berada sedikit di bawah tidak terbatas. Sekali waktu juga aku berpikir barangkali langit diciptakan begitu luas agar bisa meredam semua hal yang berada di bawah naungannya. Langit yang seperti ini, tertutup awan, sungguh membuatku gelisah, sebab apa yang tidak bisa kita redam harus selalu kita tanggung.


Dhimas,
Apakah yang akan dilakukan orang ketika dia tidak bisa menghilangkan seseorang dari benaknya sekejap mata pun? Mungkin sebagian orang akan memilih untuk meminta pertanggungjawaban dari orang tersebut, dengan menyatakannya misalnya. Bukankah pengakuan adalah cara paling mudah untuk memindahkan beban? Sebagian mungkin akan memilih untuk diam saja dan menikmatinya. Bukankah tidak ada acara yang lebih khidmat dari diam? Sebagian yang lain mungkin akan diam-diam menelan obat tidur supaya dapat beristirahat dengan tenang. Bukankah di dunia ini tidak ada orang yang tidak membutuhkan istirahat? Entah aku termasuk pada golongan yang mana tetapi pada akhirnya aku memilih menulis surat ini. Dengan begitu mungkin pada akselerasi antara normal dan tidak normalnya fokus pikiranku aku telah memindahkan beban padamu namun mungkin juga aku menyebabkan beban-beban yang baru berdatangan.


Dhimas,
Pada apa yang tidak pernah menjadi nyata, apa yang selalu menjadi bagian yang terlupa dari mekanisme pembentukan kenangan dan apa yang ada bagi satu orang tetapi di saat bersamaan tidak ada bagi orang lain, apakah semua itu akan disebut omong kosong? Kalau iya betapa sejarah hidupku selalu bergulir dari satu omong kosong ke omong kosong yang lain. Dengan mengatakan ini mungkin aku telah membuatmu berpikir kalau hidupku menyedihkan. Tidak. Hidupku sama sekali tidak menyedihkan. Kurasa aku bisa mendapatkan semua hal yang kuinginkan kalau aku menginginkannya. Masalahnya kini aku tidak lagi menginginkan apa-apa. Aku menyadari bahwa tidak ingin apa-apa ternyata adalah keganjilan dalam kehidupan ini. Dan apa yang terasa ganjil selalu menjadi gangguan bagi keharmonisan. Aku ingin menginginkan sesuatu. Menginginkan dengan begitu sungguh-sungguh agar aku tidak menjadi bagian dari keganjilan. Itulah kenapa aku selalu teringat padamu. Sebab kamu tahu bagaimana cara menginginkan sesuatu dengan begitu sungguh-sungguh. Sebab kamu bukanlah bagian dari keganjilan.


Dhimas,
Tahukah kamu bahwa saat ini bunga-bunga cosmos sedang bermekaran? Dalam buku botany yang pernah kita pelajari bersama-sama disebutkan bahwa bunga itu hanya mekar dari bulan Maret sampai Oktober tapi pada kenyataannya bunga itu mekar setiap saat sepanjang tahun. Aku tidak tahu apakah itu disebabkan karena tanah negeri kita yang gemah ripah loh jinawi ataukah karena bunga itu memang punya tekad yang kuat. Setiap kali melihat bunga itu, selalu kubayangkan dirimu. Bunga mempunyai bahasa mereka sendiri yang selalu mereka nyatakan dengan diam-diam, tanpa kata-kata. Bunga cosmos tidak memerlukan banyak air, dapat bertoleransi dengan intensitas cahaya matahari yang kuat dan tidak terlalu rewel minta nutrisi ini dan itu. Ia dapat tumbuh dengan persyaratan seminimal mungkin. Tetapi bunga yang dihasilkannya memiliki warna yang cemerlang dan bentuk yang indah. Warna merahnya, apabila ia berwarna merah, adalah warna merah yang berbeda dengan warna merah yang lain. Berbeda dengan warna merahnya darah, warna merahnya mawar, warna merahnya kulit buah jambu air atau warna merahnya langit ketika senja. Warna merah yang dimilikinya adalah warna merah bunga cosmos. Warna kuningnya, apabila ia jenis yang berbunga warna kuning, adalah warna kuning yang berbeda dari warna kuningnya matahari, warna kuningnya kunyit atau warna kuningnya logam emas. Warna kuningnya adalah warna kuning bunga cosmos. Selamanya bunga cosmos akan selalu kuanggap mewakili dirimu. Sederhana, berbeda dan indah.


Dhimas,
Apakah menjadi sederhana dan indah itu adalah ide yang terlalu utopis? Seperti anak kecil yang mempercayai bahwa di suatu tempat di dunia ini ada seorang pangeran yang menunggangi naga dan menumpas segala bentuk kejahatan, barangkali untuk menjadi sederhana dan indah terlebih dulu kita harus menjadi kanak-kanak itu. Tapi bisakah kita begitu? Pikiran kita telah dipenuhi dengan berbagai pertimbangan, tidak lagi hanya berisi konsep sederhana seperti milik kanak-kanak itu, dimana mereka mempercayai impian dan khayalan sebagaimana mereka mempercayai kenyataan. Kerumitanlah barangkali yang menghalangi kita untuk menjadi indah.


Dhimas,
Ada yang bilang hidup ini adalah masalah keinginan. Asalkan sangat menginginkan maka kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan itu. Aku tidak percaya semua omong kosong itu. Aku pernah sangat menginginkanmu, pada sebuah masa yang sepertinya sudah jauh, amat sangat menginginkanmu. Aku tidak menganggap ini sebagai rahasia. Apa yang tidak memalukan untuk dipikirkan seharusnya juga tidak memalukan untuk dikatakan, bukan? Aku pernah sangat menginginkanmu, amat sangat menginginkanmu, bahkan pernah pada suatu waktu aku pernah merasa yakin bahwa keinginanku akan dirimu lebih besar dari keinginanku akan hidup ini. Aku menulis banyak puisi dan cerpen untuk berusaha menggambarkan apa yang kurasakan ketika itu. Kau pun sudah membacanya, bukan? Tapi percayalah padaku, puisi dan cerpen yang ada di dalam hatiku jauh lebih banyak dari itu. Menggambarkan perasaanku padamu pernah membuatku mempercayai bahwa ada hal yang tidak bisa diungkapkan dengan bahasa. Barangkali kau merasa heran kenapa aku bisa amat sangat menginginkanmu, kau toh hanya seorang manusia biasa, seorang makhluk yang bisa mati, sementara kau tahu aku tidak menaruh ketertarikan sama sekali pada sesuatu yang bisa mati. Aku sendiri juga heran, selalu merasa heran. Barangkali dalam hidupku yang sepi ini kau secara diam-diam, tanpa kau sadari, telah meninggalkan warna pelangi kemanapun kau pergi dan melangkah di dalamnya. Aku tidak bilang bahwa sebelumnya tidak ada warna dalam hidupku tapi hanya kau yang membawa warna pelangi bersama dengan kedatangan dan kepergianmu. Barangkali karena itulah aku menginginkanmu. Kurasa sangatlah manusiawi apabila seseorang menginginkan sesuatu yang menyenangkan hatinya.
Yang sangat mengherankan kemudian adalah kenyataan bahwa amat sangat menginginkan ternyata belumlah cukup untuk membuatku dapat memilikimu. Tidak ada satu bagian pun dari dirimu yang bisa kusebut sebagai milikku, tidak hatimu, tidak pikiranmu apalagi badanmu. Waktu itu, dalam keadaan yang kurasakan sebagai yang paling sengsara dalam hidupku, aku sering bertanya, “Tuhan, seperti apa lagi aku harus menginginkannya untuk dapat memilikinya?” Tuhan tidak menjawab pertanyaanku, sebab aku terlalu bodoh untuk memahami bahasa Tuhan, tapi Dia memberikan tanda-tanda. Perlu waktu yang lama bagiku untuk bisa menyatukan potongan tanda-tanda itu. Satu-satunya jawaban yang kupahami adalah karena aku tidak akan dapat menjadi aku apabila aku memilikimu. Jika kau bersamaku aku hanya akan jadi seperti si burung putih dalam dongeng yang menurutmu sangat malang itu.
Seperti yang kukatakan tadi, masa itu kini terasa telah sangat jauh berlalu. Barangkali waktu memang cobaan bagi cinta. Atau mungkin juga para pencinta sepertiku memang telah dikutuk untuk selalu melupakan. Rasa menginginkan itu telah melenyap entah kemana. Kini, dapat kupandang dirimu, bukan lagi dengan pandangan yang begitu mendalam, intim dan agak kurangajar, tetapi dengan pandangan yang lebih terhormat seperti ketika kulihat lukisannya Turner. Satu yang membahagiakan adalah ketika aku membicarakan masa mudaku maka kau ada dalam kisah itu. Kurasa kisah hidup kita adalah sesuatu yang sangat mungkin abadi, paling tidak dalam catatan masa. Hanya saja barangkali aku belum bisa meniru candaanmu yang satir itu, aku selalu akan menanggapi pembicaraan tentang dirimu sebagai sebuah topik yang serius. Kurasa aku memang orang yang menganggap serius segala sesuatu tapi begitulah diriku. Aku memang seperti itu dan akan tetap menjadi seperti itu.


Dhimas,
Kujalani hidup ini dengan cara seperti itu. Selalu serius. Selalu sungguh-sungguh. Selalu sepenuh hati. Apakah itu yang menjadi sebab dari semua kehampaan dan kerumitan ini? Aku amat sangat menginginkan mempunyai anak dari suami yang kucintai dengan sepenuh hati. Ketika anak itu telah ada di dalam diriku aku mulai mencintainya dan karena kulakukan dengan sungguh-sungguh maka cinta itu kemudian menjadi makin besar dari hari ke hari sehingga rasanya kata sepenuh hati pun tak bisa digunakan untuk mengungkapkan besarnya. Sepenuh hati aku belajar supaya menjadi ibu yang baik baginya. Sepenuh hati kuusahakan agar dunia ini menjadi lebih baik untuknya. Ketika anak itu kemudian meninggal aku merasa sangat sengsara, seperti ketika aku merasa sangat sengsara karenamu hanya saja yang ini digandakan sekian juta kali. Aku begitu sengsara hingga rasanya semua hal yang telah kupelajari dalam hidupku dan semua hal yang kuyakini dengan sepenuh hati tidak bisa menghilangkan kesengsaraan itu. Sejak itu aku memilih untuk tidak menginginkan apa-apa lagi. Lalu seperti inilah aku pada akhirnya. Duduk memandangi langit lalu menceritakannya dalam surat kepadamu.


Dhimas,
Kadang kupandang kau mewakili puteraku. Kau dan dia adalah apa yang sempat amat sangat kuinginkan. Kau dan dia adalah apa yang tidak pernah bisa kuklaim sebagai milikku. Kau dan dia adalah apa yang membuatku menyadari adanya batas-batas dalam langit ini. Batas-batas yang mengurungku dalam ruang yang tidak pernah menjadi hampa sekaligus selalu hampa. Kalian adalah apa yang menghantarkan aku pada kenormalan ini, bahwa seseorang yang hidup memang seharusnya menginginkan sesuatu dan bukannya tidak menginginkan apa-apa. Kupandang kau mewakili puteraku karena dia telah menjadi sesuatu yang hanya hidup di dalam hatiku sedangkan kamu hidup tidak hanya di dalam hatiku tetapi juga dalam kehidupan ini. Aku ingin kembali menginginkanmu karena dengan begitu aku dapat melihat kembali keinginanku akan puteraku.


Dhimas
Aku duduk di bawah langit yang menggelisahkan hati ini dan menulis surat padamu adalah untuk menanyakan pertanyaan yang mengganggu itu. Apakah aku harus menginginkanmu kembali? Apakah aku harus menginginkanmu kembali agar aku dapat melihat kembali keinginanku akan puteraku, agar aku mempunyai keinginan pada kehidupan ini, agar aku menjadi diriku kembali? Apakah aku harus menginginkanmu kembali?
Sampaikan salamku untuk isterimu.
Penuh cinta
Aku


Catatan:
Cerpen ini mengambil judul yang sama dengan salah satu cerpennya Virginia Woolf
Dhimas adalah panggilan untuk saudara yang lebih muda. Digunakan juga kepada teman yang usianya sebaya/lebih muda untuk menghormatinya.
Claustrophobia adalah rasa takut yang berlebihan apabila berada di ruangan tertutup
Bukankah tidak ada acara yang lebih khidmat dari diam? adalah salah satu larik dari salah satu puisinya D.Zawawi Imron yang saya lupa judulnya
Dongeng yang dimaksud adalah cerita mengenai seekor burung putih yang tinggal di sebuah danau. Suatu hari ada pelangi yang salah satu ujungnya terlihat seperti mencium danau. Burung putih itu jatuh cinta pada pelangi. Dia terbang hendak menggapai pelangi itu tapi sebelum dia dapat mencapainya pelangi itu sudah memudar dan hilang. Tiap pelangi itu muncul burung itu melakukan hal yang sama. Hingga pada suatu hari dia terbang sangat tinggi, kelelahan lalu jatuh dan mati. Sahabat terkasih saya menganggap kisah itu memilukan dan menurutnya orang yang menyukai kisah itu, terutama saya, adalah orang yang terkena virus romantisisme yang sudah tidak tertolong lagi
Dalam keagungan kenangan / Para pencinta dikutuk untuk melupakan dikutip dari puisi berjudul Requiem for an Embrace karya Cecep Syamsul Hari
JWM Turner (1775-1851) adalah pelukis berkebangsaan Inggris. Dia senang melukis pemandangan dan gaya lukisannya dianggap melandasi aliran impressionisme. Lukisan yang dimaksud dalam cerpen ini adalah lukisan yang berjudul Landscape With Distant River And Bay, dilukis pada tahun 1840 menggunakan media oil on canvas.

1 comment:

I'm There said...

Aku sangat suka cerita karangan ka Yuni 😆
Apalagi yang berjudul"Surat"
Makasih ka sudah jadi salah satu inspirasi aku dari SMA 😆