Wednesday 21 November 2007

ONCE IN A BLUE MOON


Oleh Yuni Kristianingsih

Hujan itu sungguh mengganggunya.

Hujan yang turun dalam rupa jarum-jarum lembut. Hujan yang meruapkan aroma campur baur antara bau rerumputan, dedaunan, kayu, tanah dan basah yang samar-samar. Hujan yang membuat hawa dingin merambat lebih pelan di udara. Hujan yang indah. Banowati sangat suka hujan tetapi semua itu mengganggunya. Sebab jarum-jarum lembut itu pedang yang tajam, aroma itu memusingkan, dingin itu menghanguskan dan keindahan itu melukai.
Banowati sangat suka hujan. Dulu ketika masih kanak-kanak dia memiliki seorang teman khayalan. Seorang anak laki-laki kecil yang menjelma dari rintik-rintik hujan. Mereka menghabiskan banyak waktu bersama terutama ketika dia harus tinggal di dalam kamar karena penyakit yang dia derita. Karena dia Banowati mencintai hujan. Teman khayalannya itu menghilang ketika dia beranjak dewasa tetapi jika dia dapat menemukan cara untuk bisa tetap berada di masa itu maka dia pasti akan melakukannya dengan senang hati.

Dia masih sangat suka hujan. Tetapi dia bersumpah kalau hujan yang jatuh diam-diam di atas tandan-tandan bunga Lagerstroemia indica itu sungguh mengganggu kedamaian hatinya.

Tandan-tandan bunga berwarna merah muda keunguan itu bersama hujan dan perpustakaan telah mengisi bagian terpenting dari hidupnya. Tetapi masa itu telah lama berlalu dan mengingatnya kembali hanya akan menyadarkannya bahwa waktu selalu hanya meninggalkan jejak-jejak samar atas kedatangan dan kepergiannya.

Jika di dunia ini ada puisi yang begitu murung sekaligus begitu indah maka itu adalah hujan.

Banowati dan orang itu, sahabatnya, sepakat akan hal itu. Beberapa tahun kemudian ada banyak hal yang juga dia anggap sebagai puisi. Tetapi hujan tetap menjadi puisi di hatinya dan dia merasa itu akan berlangsung untuk waktu yang lama.

Hujan adalah puisi. Dalam hujan ada banyak puisi tapi puisi yang ada di dalam hatinya lebih banyak lagi. Tetapi dia tidak melakukan perjalanan itu, mengabaikan banyak hal dan berjalan sampai sejauh ini, sama sekali bukan karena puisi. Setidak-tidaknya itu yang tidak mau dia akui.

Sebenarnya dia sangat gugup bahkan nayaris menjadi sakit karena hal itu. Yang membuatnya gugup bukanlah kekhawatiran akan reaksi sahabatnya ketika berjumpa dengannya. Sahabatnya itu seorang teman yang baik. Dia yakin seandainya dia datang dalam keadaan yang menyedihkan bahkan memalukan sekalipun sahabatnya itu akan tetap tersenyum dan memberinya sebuah pelukan penyambutan. Tetapi yang membuatnya gugup adalah mengetahui bahwa ini menyalahi aturannya sendiri.

Semenjak mereka saling bertukar puisi, sahabatnya telah menjadi hal yang berharga baginya. Demikian berharganya sampai-sampai dia ingin menyimpannya untuk dirinya sendiri, menyimpannya sedemikian rupa sehingga tak seorang pun bisa melongok ke dalamnya, menikmati keindahannya apalagi mengambilnya.

Banowati menyukai sesuatu yang abstrak. Baginya ada banyak ide yang kehilangan keindahannya ketika dipaksakan untuk menyeberang menjadi kenyataan. Dia mengira sahabatnya pun demikian. Maka untuk beberapa lama dia menikmati hubungan mereka yang tidak dapat diinderai itu. Sahabatnya menjadi orang yang sangat penting baginya. Seperti yang dia lakukan kepada kanvas, kepadanya Banowati menuang warna-warna rahasia hatinya. Menganggap sahabatnya memahami cinta dengan cara yang sama seperti caranya memahami. Tetapi kemudian waktu memeram mereka menjadi buah yang berbeda. Mereka menyelesaikan kuliah dan melanjutkan hidup di tempat yang berbeda. Banowati tidak memakai istilah berpisah karena baginya mereka tetap berada di samping yang lain untuk selamanya dan jarak hanyalah semacam horizon yang dapat diapresiasikan secara berbeda tergantung dari sudut pandangnya. ketika hidup mulai mendesaknya untuk mencari pendamping Banowati berkhayal pada suatu hari sahabatnya akan datang mencarinya dan memintanya menikah dengannya. Tiap kali Banowati memikirkan orang yang akan berada di sampingnya selama sisa hidupnya Banowati tidak pernah memikirkan orang lain kecuali sahabatnya.

Pada suatu hari di bulan Januari Banowati mendengar kabar bahwa sahabatnya akan menikah. Dia mengirim sms kepadanya, bertanya bagaimana orang seperti dia dapat jatuh cinta pada seorang wanita dan memandang wanita sebagai obyek dari sebuah hasrat purbawi.

Sahabatnya menjawab, "Aku memerlukan cinta yang nyata. Aku tidak cukup terhormat untuk sesuatu yang tidak mampu kuinderai."

Banowati menangis sepanjang hari. Ternyata sahabatnya tidak menyukai sesuatu yang hanya berupa ide yang abstrak. Dia menangis tidak hanya karena hal itu tetapi juga karena dengan demikian dia tidak punya alasan lagi untuk menolak lamaran Yvell, pria yang secara terang-terangan mengatakan pada semua orang bahwa dia mencintainya.

Pada akhirnya Banowati menikah dengan pria itu. Dia merasa bahagia oleh cinta dan perhatian yang besar dari suaminya. Mengenai sahabatnya, dia tetap menjadi sahabat yang baik baginya dan menyimpan dalam hati semua yang memang seharusnya hanya disimpan di dalam hati.

Tetapi manusia adalah makhluk dengan banyak kerewelan. Ketika merasa bosan dengan masa sekarang, yang sebenarnya lebih sering disebabkan karena ketidakmampuannya menghabiskan musim yang tersedia baginya, dia pun berharap-harap untuk kembali ke masa yang telah lewat.

Gerimis itu telah hilang bersama angin. Demikian juga dengan keberaniannya. Jika sama sekali tidak bisa dicari alasan kenapa kita tidak bisa bersama dengan orang yang kita cintai padahal dia berada begitu dekat hingga nyaris dapat diraih hanya dengan mengulurkan tangan maka satu-satunya cara untuk tidak terjerumus ke dalam kesedihan yang membinasakan adalah dengan percaya bahwa itu semua adalah kehendak Tuhan.

Banowati membuka tas Gucci-nya dan mengambil notes berlogo keluarga suaminya. Dia menuliskan sesuatu, menandatanganinya, melipatnya dan memasukkannya ke dalam amplop dengan logo yang sama. Kemudian dia berkata kepada sopirnya. "Tolong berikan kotak dan amplop ini untuk Doktor Aji. Kantornya di sebelah sana. Kalau orangnya tidak ada titipkan di petugas administrasi."

"Perlu ditunggu balasannya, Nyonya?"

"Tidak."

Di dunia ini betapa banyaknya hal yang cuma bisa dipertahankan dalam kenangan saja.

Sore harinya sahabatnya menelepon.

"Kalau saja aku tahu kau akan datang aku pasti akan membatalkan every fucking class supaya bisa menemuimu."

Banowati mengenali suaranya sebagai bagian dari puisi-puisi itu. Seperti lagu Raindrop-nya Chopin yang selalu menemaninya menangis. "Tidak apa-apa. Aku juga hanya mampir sebentar."

"Baik-baik saja, kan?"

"Ya."

"Lukisanmu sangat indah. Terima kasih. I really appreciated that."

"You should be. Wajahmu susah dilukis, tahu?"

Pria itu tertawa. "Hanya aku heran. Apanya dari diriku yang mirip Napoleon Bonaparte? Aku bahkan belum pernah naik kuda seumur hidupku."

"Kalau kamu masih senarsis dulu bukankah itu pose yang indah?"

Pria itu tertawa lagi. "Akan kukirimkan novelnya Yasunari Kawabata," katanya. "Kau masih menginginkan itu, kan?"

"Sudah dibelikan Yvell minggu lalu. Setumpuk novelnya Kawabata. Entah dari mana dia mendapatkannya."

"Apa sih yang tidak diberikan Yvell kepadamu?"

Banowati memikirkannya sebentar. "Mungkin hanya bulan dan bintang saja."

Mereka berdua tertawa. Lalu sahabatnya bertanya, "Kapan kita bisa bertemu lagi?"

Sudah sifat manusia membenci perpisahan, bukan selalu karena sesuatu itu sangat penting baginya, tetapi kadang cuma karena dia telah terlalu terbiasa dengan hal itu hingga sesuatu itu menempati ruang yang luas di dalam hatinya. Saat sesuatu itu harus pergi hatinya pun akan terluka seluas ruangan yang sebelumnya dia sediakan untuk sesuatu itu.

Dulu, tiap kali kulihat bayanganmu berkelebat di luar jendela aku menyuruh ranting pinus berlari menangkap jejakmu meski kadang yang tertinggal cuma jejak hujan yang semakin samar. Hari ini kembali kulihat bayanganmu berkelebat di luar jendela tapi telah kumengerti kesedihan ranting pinus itu. Aku tak mau lagi berlari karena itu hanya akan menjauhkan aku dari rumahku dan itu tidak baik bagiku.

"Kapan?" Sahabatnya bertanya kembali.

"Once in a blue moon."

Catatan:

  1. Once in a blue moon adalah ungkapan untuk menyebut sesuatu yang sangat jarang terjadi.


  2. Ungkapan yang menyatakan bahwa hujan adalah suasana yang begitu murung sekaligus begitu indah diambil dari tulisan Joni Ariadinata dalam Aku Bisa Menulis Cerpen


  3. Pose yang dimaksud adalah pose Napoleon yang sedang menunggang kuda dalam lukisan berjudul Napoleon Crossing The Alps karya Jacques Louis David


  4. Puisi dalam cerpen ini adalah karya Drs Akhmad Tabrani MPd
Cerpen diatas dimuat pada tanggal 24 Agustus 2008 di Harian Tribun Jabar

No comments: