Oleh
Yuni Kristyaningsih Pramudhaningrat
Kemana
semua kata ketika aku ingin menulis sebuah puisi tentangmu?
Sebuah
halaman microsoft
word
terbuka di laptopnya. Orang menulis puisi untuk berbagai alasan.
Beberapa untuk alasan yang mulia, tentang berbagi perasaan keindahan
terhadap sesama misalnya, tetapi beberapa yang lain menulis puisi
hanya untuk alasan yang bukan apa-apa. Seperti yang kini sedang
dilakukannya.
Danurwenda
telah sampai pada usia dimana buku-buku yang dipajang di toko buku
tidak lagi memuaskan hatinya. Semua buku terlihat memiliki satu atau
dua kesalahan yang menurutnya terlalu konyol untuk ada dalam sebuah
buku. Dia sudah senang membaca buku sejak balita jadi perasaan
seperti itu sangat mengganggunya. Dia berpikir menulis buku dengan
caranya sendiri akan sedikit membantu.
Dia
menentang sama sekali ide memakai pengalaman pribadi untuk menulis
karena seseorang mungkin akan terluka karenanya, tapi dia selalu
teringat kepada wanita itu saat dia ingin menulis sesuatu.
“Aku
terlalu muda untuk hidup di dalam kenanganmu,” kata wanita itu,
dulu saat Danurwenda mengaku mulai menulis puisi sejak bertemu
dengannya.
“Kau
tidak suka?”
“Diabadikan
sebagai gadis muda siapa yang tidak mau?” Gadis itu tertawa. Suara
tawanya seperti bunyi lonceng dari masa yang jauh. “Tapi penyair
hanya menulis apa yang dikenangnya. Sesuatu yang telah berlalu. Itu
sangat menyedihkan.”
Dia
tidak terlalu mengerti apa bedanya masa lalu dan masa sekarang. Jika
menyangkut wanita itu rasanya semua masa sama saja. Mengekal entah
bagaimana.
*
Bagaimana
bisa kita kembali seperti kita semula, dua orang asing yang datang
dari dua arah berbeda, lalu menjadi teman untuk menikmati apa yang
kita simpan di dalam hati kita masing-masing, apa yang disebut-sebut
sebagai impian dan harapan?
“Siapa
nama kecilmu?” Mereka telah berteman selama tiga bulan ketika dia
berpikir saling memanggil dengan nama belakang adalah konyol. Mereka
mengambil beberapa kelas yang sama dan sekali dua kali berjalan ke
kampus bersama-sama. Danurwenda menganggap gadis itu sangat menarik.
“Asami.”
“Bagaimana
menuliskannya?”
“Huruf
‘asa’ dan ‘utsukushii’.”
*
Apakah
itu yang disebut cinta, sesuatu yang muncul di hati yang menjadi
murung oleh kesendirian?
Danurwenda
tidak tahu kenapa mereka bisa bersama atau bagaimana. Dia hanya tahu
dia sedang jatuh cinta. Mungkin peri-peri bunga odamaki telah
menyihir hatinya. Dia tidak tahu. Dia hanya tahu cintanya akan
menyakiti gadis itu.
Gadis
itu tentu saja masih lugu sebelum bersamanya. Ia memiliki keriangan
yang manis dari seorang gadis sekaligus kesungguhan yang mengerikan
dari seorang kekasih muda yang mencintai dengan seluruh kedalaman
jiwa, menganggap seluruh kata-katanya sebagai kebenaran dan meyakini
mereka memiliki cinta yang besarnya seimbang terhadap satu sama lain
tanpa benar-benar menyadari bahwa pria dan wanita berbeda dalam semua
hal mengenai cinta.
“Kimonomu
bagus sekali.” Hari itu Asami memakai kimono biru muda bermotif
ranting-ranting pohon bunga camelia dan obi berwarna salju keperakan
dengan sulaman burung bangau. Mereka sedang berjalan keluar dari
stasiun Komagome karena Asami ingin melihat pohon keyaki
di taman Rikugien. Sungguh aneh bahwa gadis itu memakai kimono yang
indah untuk melihat pepohonan.
“Benarkah?
Aku tidak cocok memakai baju yang lain. Gaun modern membuatku seperti
dahan pohon mati.”
“Di
Jepang bahkan dahan pohon mati pun tampak indah.”
“Astaga!”
seru wanita itu dengan nada menegur.
Dia
tertawa. “Aku serius. Kalau seseorang memotretmu memakai baju
tertentu, gadis-gadis akan berbondong-bondong membeli baju yang
sama.”
“Apa
kau ingin bilang kalau aku cantik?”
“Apa
kau tidak sering melihat cermin akhir-akhir ini?”
“Aku
tidak suka cermin.”
“Para
gadis biasanya memandang ke cermin setidaknya beberapa kali sehari.”
“Aku
tidak terlalu suka melihat bayangan yang terlihat di dalam cermin.
Selalu tampak mengerikan di mataku.”
“Bagian
mana dari dirimu itu yang mengerikan? Kau selembut anak burung
merpati.”
“Selembut
anak burung merpati.” Asami bergumam mengulangnya. “Aku berharap
aku selembut anak burung merpati.”
Mereka
melewati Naitei
Daimon.
Tapi meskipun pohon weeping
cherry
itu telah menjadi obyek foto populer di taman itu Asami tidak
berhenti untuk melihatnya. Dia pernah mengatakan kalau pohon itu
membuatnya sangat sedih. Dia lebih menyukai pohon keyaki yang
menurutnya memiliki kesan yang hangat. Danurwenda tidak tahu apapun
tentang pepohonan.
Di
dekat kolam yang di tepinya tumbuh semak-semak azalea
berusia ratusan tahun, Asami memekik kecil. Danurwenda mengira gadis
itu digigit serangga. Tapi ketika dia menghampirinya dia melihat
gadis itu sedang duduk berjongkok mengamati rumpun bunga liar.
“Luar
biasa, bukan?”
“Ya?”
“Ini
bunga odamaki.
Beruntung sekali kita menemukannya disini.”
Jelas
bagi Asami itu seperti sebuah penemuan. Danurwenda tidak ingin
merusaknya, jadi dia ikut duduk bersamanya ketika gadis itu membuat
sketsa bunga itu.
“Aku
sangat suka bunga odamaki,”
kata Asami kira-kira setengah jam kemudian.
“Kenapa?”
“Itu
bunga yang paling manis di padang rumput.” Dia menyentuh kelopak
bunga itu dengan jari-jarinya yang kecil dan runcing. “Kau tahu,
kau bisa membuat teh dari bunga ini, tapi kalau kau keliru menakarnya
kau mungkin akan mati. Bunga ini beracun.” Dia menelengkan
kepalanya ke arahnya. “Bunga ini persis sepertimu.” Dia tertawa.
“Aku akan meminumnya juga meski tahu akan mati.” Berkata begitu
gadis itu tampak seperti patung porselen. Terpahat di dalam
ingatannya.
*
Apa
yang disebut cinta itu barangkali seperti neurotransmitter yang
meluap di otak. Membuat orang merasa seakan sedang terjatuh.
Pernahkah kau melihat orang yang sedang terjatuh mampu menolong
dirinya sendiri?
“Jari
mana yang paling kau sayangi?” Mereka sedang berbaring bersama
menikmati angin musim semi. Asami memegang tangannya dan
mempermainkan jari jemarinya. Dia mengaku punya ketertarikan
tersendiri pada tangan manusia. Dia menggambar banyak sketsa tangan.
Asami biasa menghabiskan waktu luangnya untuk melukis.
“Ibu
jari mungkin.”
“Kenapa?”
“Dulu
aku pernah mematahkannya sewaktu berlatih karate. Selama sebulan aku
tidak melihatnya karena digips. Aku menangis karena kupikir jariku
hilang atau semacamnya. Aku ditertawakan ibuku.”
“Kau
tahu, ada suku di Afrika yang punya kebiasaan memotong jari orang
yang berkhianat.”
“Benarkah?”
Pagi sebelumnya Danurwenda pergi ke kantor pos untuk mengirimkan
istrinya yang sangat suka menjahit, beberapa potong kain katun
jepang. Bukti pengirimannya ada di saku mantelnya, dan karena Asami
punya kebiasaan mengosongkan kantungnya mungkin saja dia tadi sempat
melihatnya.
“Kau
takut?”
“Aku
tidak tahu bagaimana caranya untuk merasa takut.” Dicintai oleh
kekasih semacam dia membuat Danurwenda sangat sombong. Dia bahkan
dengan bodohnya merasa yakin Asami tidak menginginkan sesuatu yang
lebih serius setelah luapan hormonnya usai, sesuatu seperti menjadi
tua bersama-sama misalnya, karena tahu itu akan merepotkannya. Itulah
kenapa pembicaraan yang mengarah pada kecemburuan selalu berakhir tak
lebih dari sebuah candaan.
“Kalau
jarimu dipotong?”
Dia
tertawa. “Kalau begitu aku akan menganggapnya seperti sebuah bekas
luka dalam peperangan. Laki-laki biasa membanggakan bekas luka di
tubuhnya.”
*
Bagaimana
bisa aku berpikir meninggalkanmu adalah sebuah kebajikan dan
mengkhayalkan surga sebagai imbalannya? Surga seperti apa yang
tersedia bagi para kekasih yang meninggalkan cintanya di kaki nasib
yang sama sekali tidak peduli?
Perpisahan
itu dia hanya mampu mengingatnya samar-samar. Ada banyak kisah cinta
di dunia, yang terlihat seakan-akan mampu mengobarkan seluruh api
yang ada tapi kemudian padam dan menghilang dengan begitu saja.
“Bagaimana
aku harus bertanggungjawab terhadapmu? Badan yang kugunakan untuk
mencintaimu ini bahkan aku tidak memilikinya seorang diri.”
Danurwenda mengulang pertanyaan itu setiap pagi dimana dia terbangun
dan melihat Asami bergelung di ranjangnya.
Asami
biasanya hanya tertawa dan mengatakan kalau tidak ada orang di dunia
ini yang memiliki apapun untuk diri mereka sendiri. Tapi pagi itu,
pagi di bulan November yang dingin, gadis berkata “Kau meresahkan
dirimu dengan hal-hal yang tidak berguna atau kau mengatakan kau
menyerah mengenai aku?”
“Mungkin
salah satunya benar.”
“Kukira
aku membawa kebahagiaan padamu.”
“Kau
memang membawa kebahagiaan bagiku. Tapi aku adalah ketidakadilan
bagimu.”
“Aku
tidak pernah menganggapmu begitu.”
Percakapan
seperti itu berulang beberapa kali. Danurwenda tidak bermaksud
apa-apa, hanya menyatakan kesedihan di hatinya, tanpa menyadari kalau
kata-katanya membebani Asami. Gadis itu menjauhkan diri
perlahan-lahan dan benar-benar pergi sebelum dia menyadarinya.
*
Aku
tak punya satu kata pun tentang cinta. Atau tentangmu.
Dia
menatap halaman kosong itu dengan termangu. “Menjadi penulis
ternyata tidak semudah yang kubayangkan,” katanya. Hanya seorang
sadomasokis gila yang mau mengorek-ngorek luka di dalam hatinya
sendiri demi sebuah tulisan.
“Jangan
mudah menyerah.” Dia mendengar suara di belakangnya. Rupanya
kata-katanya cukup keras untuk bisa didengar istrinya yang sedang
memasak di dapur. “Tulisanmu kan bagus.”
Setelah
berpisah dengan Asami dia mengirimkan tiket untuk istrinya dan
mengatakan kepadanya kalau dia tidak tahan tinggal jauh darinya.
Memerlukan waktu untuk mengurus visa tapi urusan itu selesai lebih
cepat dari yang dia kira dan ketika istrinya datang dia merasa seolah
telah seribu tahun berpisah dengannya.
Istrinya
bahkan datang bersamanya saat pemakaman Asami. Istrinya mengatakan
gadis itu tampak cantik di dalam peti matinya dan sepanjang
perjalanan pulang ia menyatakan rasa kasihannya kenapa gadis yang
begitu muda memilih menenggelamkan diri daripada meneruskan hidupnya.
“Mungkin dia bertemu dengan pria yang tidak baik,” kata istrinya
dengan kesedihan khas wanita. Danurwenda tidak mengatakan apa-apa.
Istrinya mengenalnya sebagai orang yang selalu menyayangi siapapun
yang dikenalnya jadi saat melihatnya murung ia hanya menyentuh
tangannya dengan prihatin. Dia masih tinggal di Jepang selama dua
musim panas berikutnya. Ketika bunga-bunga odamaki bermekaran dia
menghindari berjalan-jalan di taman. Dia menjalin hubungan yang manis
dengan istrinya dan pada awal tahun berikutnya istrinya melahirkan
bayi yang cantik.
“Terima
kasih,” katanya. Menutup file puisi itu. “Tak seorang pun sebaik
kau mau mengatakan itu.”
Istrinya
hanya tersenyum.
Catatan:
- Asa adalah huruf kanji yang berarti ‘pagi’
- Utsukushii adalah huruf kanji yang berarti ‘indah’
- Rikugien adalah taman yang terletak di Bunkyo-ku, Tokyo. Taman ini dibangun di tahun kelimabelas periode Genroku (1702) pada masa kekuasaan Tokugawa Tsunayoshi. Didesain berdasarkan puisi waka, dengan jalan-jalan setapak, gunung, kolam dan jembatan batu tempat menikmati cahaya bulan dan burung-burung bangau, yang menjadi tipikal taman di jaman edo. Taman ini terkenal dengan pohon weeping cherry, keyaki dan dodan tsutsuji berusia 300 tahun.
- Naitei Daimon adalah gerbang yang berada di dalam taman rikugien yang memungkinkan pengunjung untuk menikmati bagian pusat taman itu. Di dekatnya ada pohon weeping cherry yang sangat indah
- Odamaki adalah nama jepang untuk bunga columbine. Masuk dalam genus Aquilegia. Merupakan bunga liar yang tumbuh pada akhir musim panas sampai musim gugur, dapat ditemukan di padang-padang rumput, hutan dan lereng-lereng gunung. Columbine umumnya memiliki mahkota bunga berwarna biru, kuning hingga putih pucat. Tumbuhan ini memiliki bunga yang indah tetapi biji dan akarnya sangat beracun, penggunaan dalam dosis yang tinggi dapat menyebabkan pendarahan pada jantung dan organ dalam. Columbine sering dipakai dalam studi mengenai evolusi. Bila ditinjau dari bahasa bunganya columbine dianggap mempunyai arti ‘pasti akan kudapatkan’
- Secara sederhana, dapat dikatakan neurotransmiter merupakan bahasa yang digunakan neuron di otak dalam berkomunikasi. Neurotransmiter muncul ketika ada pesan yang harus di sampaikan ke bagian-bagian lain. Neurotransmitter berwujud senyawa organik endogenus. Dianggap berperan penting dalam perilaku individu. Contoh neurotransmitter yang dihubungkan dengan cinta adalah dopamine
Cerpen ini dimuat di majalah Horison edisi April 2016