Oleh
Yuni Kristyaningsih
Angin menderu-deru, membawa
suara serupa jeritan binatang yang terluka. Itu suara mengerikan yang
membuat Utari terjaga sepanjang malam. Ada hukuman Tuhan dalam angin
itu. Dia mempercayainya dan suara itu lebih meresahkannya lagi. Tapi
rumah itu terbuat dari batu, telah berdiri kokoh selama hampir
seratus tahun, tentu saja angin yang biasa datang di musim dingin itu
tak berpengaruh apa-apa padanya.
Utari sedang duduk di sofa di
dekat perapian, menyulam gambar bunga mawar pada sebidang kain satin.
Dia membenci suara angin itu dan segala-galanya tentang musim dingin.
Dia tahu Tuhan meletakkan keindahan pada tempat-tempat yang tepat dan
itu tidak dapat diragukan lagi tapi hatinya yang muram hanya sanggup
memandang hal-hal dengan cara yang sama muramnya dengan hatinya.
Dia mendengar suara pintu
terbuka. Dia mengira itu pelayannya yang datang membawakan obat
untuknya. “Aku tidak berpikir obat itu ada manfaatnya,” katanya.
Dia telah mengatakan itu setiap malam dan mendengar jawaban yang sama
dari pelayannya.
Tapi malam itu dia tidak
mendengar jawaban itu. Dia begitu terkejut sampai jarinya tertusuk
jarum. Dia melihat pria itu berjalan masuk ke kamarnya. Pria itu
tidak mengenakan pakaian tidur tapi celana dan kemeja biasa.
Sepertinya dia baru pulang kerja, baru akan berganti pakaian tapi
kemudian terganggu oleh suatu pikiran tertentu, kemejanya tidak
dikancingkan. Dia membawa nampan berisi mangkuk obatnya dan beberapa
butir buah delima.
Pria itu meletakkan nampan itu
di meja. Dia melihat pada Utari yang menghisap ujung telunjuk tangan
kirinya lalu pada sulaman bunga mawar yang sangat indah terbingkai
lingkaran kayu di pangkuannya. “Kau menyibukkan dirimu sendiri
dengan hal-hal yang tidak berguna,” katanya. “Tidak heran
kesehatanmu tidak juga membaik.”
“Ini untuk acara amal,”
kata Utari dengan gugup. Dia membuat hiasan-hiasan yang cantik
bersama teman-temannya dan melelangnya. Uang yang mereka hasilkan
disumbangkan untuk membantu korban bencana alam dan tragedi perang.
“Kalau kau meminta padaku
aku mungkin akan memberikan uang sepuluh atau seratus kali lebih
banyak dari yang kau hasilkan dengan pekerjaanmu itu.”
“Aku membuatnya sambil
berdoa,” sahut Utari sambil meletakkan sulamannya di meja. “Itu
yang membuatnya berharga. Tapi di dunia yang buruk ini hal-hal ironis
memang sering terjadi. Seperti kau yang bisa menghasilkan lebih
banyak uang dari orang lain yang bekerja lebih keras. Tapi aku tidak
mau menari untukmu.”
“Menari?”
“Sepuluh atau seratus kali
lipat itu bukannya menyangkut harga yang harus kubayar?”
Pria itu tertawa. “Aku tidak
tahu kau suka menghubungkan aku dengan hal-hal yang kotor dan mesum.
Itu menarik sekali. Tadinya aku cuma mau kau duduk di pangkuanku
sementara aku menandatangani ceknya.”
Utari merasa pipinya panas.
“Ada perlu apa kau datang kemari?”
“Pertanyaan seperti itu
melukai hatiku.” Pria itu telah tidak mengunjungi kamarnya selama
berbulan-bulan. Utari menikmati malam-malam yang tenang selama itu
meskipun tahu malam ketika pria itu datang kembali akan tiba cepat
atau lambat. Dia duduk, nyaris dengan cara seperti melemparkan
tubuhnya di dekat Utari tadi duduk. “Minumlah obatmu selagi masih
hangat,” katanya. “Aku curiga kau membuang obat itu diam-diam.
Kau sangat kurus seperti batang seledri.”
Pria itu menatapinya
sedemikian rupa sehingga Utari meraih mangkuk obatnya. Pria itu
memotong dasar buah delima dengan pisau buah dan mengiris buah itu
dengan cara seolah itu adalah buah jeruk dengan juring-juringnya. Dia
mengulurkan potongan buah itu kepada Utari. Utari ingin memalingkan
wajah tapi obat itu sangat pahit dan dia suka buah delima jadi dia
memungutnya dari tangan pria itu dan memakannya.
“Itu obat untuk rahimmu. Aku
tidak tahu kenapa kau meminumnya dengan enggan begitu. Bukankah bagi
wanita rahim adalah harta yang berharga? Atau lebih tepatnya senjata
yang berbahaya?”
Utari memandangnya. Pria itu
mengangkat bahunya. “Aku mengenal banyak pria yang terjebak dalam
drama domestik yang membosankan dan tidak bisa melepaskan diri dari
hubungan dengan wanita yang sebenarnya mereka benci hanya karena
wanita-wanita itu telah melahirkan anak-anak mereka. Kau tahu, pria
biasanya selalu terjebak dalam delusi bahwa dia adalah seorang raja
dan hartanya adalah kerajaannya, dia meyakini bahwa seorang raja
tidak harus memiliki seorang ratu tapi dia wajib memiliki seorang
pewaris. Biasanya wanita membuat ulah karena tidak bisa menerima itu.
Dalam delusinya wanita berpikir bersama seorang pewaris seorang ratu
bisa menganulir kekuasaan seorang raja. Begitulah bagaimana neraka
seorang pria dimulai.”
“Tapi kalau kau bertanya apa
pendapatku,” pria itu melanjutkan, “aku mau-mau saja berada di
dalam neraka itu selama kamu yang menarikku ke dalamnya. Sayangnya
kau bahkan tidak berpikir untuk menggunakan rahimmu untuk menjerat
kakiku.”
“Yang lahir dari rahim itu
adalah seorang manusia bukan? Apakah pantas seorang manusia lahir
dari seseorang seperti kau dan aku? Itu hanya akan melukai
nilai-nilai kemanusiaannya saja.”
“Seseorang seperti kau dan
aku itu seperti apa?”
“Orang yang jiwanya dirusak
kebencian.”
“Apa katamu?”
Mereka telah lama berada dalam
hubungan dimana mereka tidak lagi merasa perlu menyembunyikan apapun
yang ada di dalam pikiran mereka. Mereka menganggap itu sebagai
kebencian tanpa menyadari kalau hubungan seperti itu jauh lebih
menarik dari hubungan lain yang lebih stabil.
“Aku akan menganggap kau
mengatakan itu atas nama kesedihanmu karena kematian bayimu,” kata
pria itu. Itu pertama kalinya sejak hari yang menyedihkan itu dia
membahasnya. “Itu kecelakaan yang menyedihkan. Seandainya aku
mendapat pemberitahuan lebih awal soal bayimu.”
“Bukankah aku sudah
memintamu untuk menjauhiku?”
“Bagaimana aku bisa
menghubungkan antara penolakanmu, sesuatu yang kau lakukan padaku
setiap hari, dengan seorang bayi? Lagipula apa yang membuatmu
berpikir aku akan menjauhimu hanya karena seseorang memintanya? Itu
mustahil.”
“Kau tidak mengerti apa-apa
selain membela dirimu sendiri.”
“Kuharap suatu saat kau
punya minat lain selain membenciku.”
Bertram tidak mau mengakui
bahwa hubungan mereka adalah cinta sepihak. Wanita itu mungil dan
manis, seperti seorang malaikat belia, ketika mereka pertama kali
bertemu. Di dalam dunianya wanita yang seperti malaikat seperti dia
tidak ada. Demikian juga di dalam dunia Utari pria yang seperti setan
sepertinya tidak ada. Utari akan terkejut kalau tahu Bertram
menghabiskan banyak waktu memikirkan bagaimana cara memiliki dirinya.
Bahkan Bertram sendiri pun terkejut. Dia melakukan segala cara agar
mereka memiliki hubungan. Dan apa yang lebih nyata dibanding seorang
bayi? Ketika diberitahu bahwa sikapnya yang sembrono telah
menyebabkan Utari keguguran dia menjadi setengah gila. Para pelayan
butuh waktu lama membersihkan pajangan-pajangan yang pecah dan
benda-benda berharga yang dirusaknya. Ketika dia tidak dapat tidur di
malam hari dia mulai minum minuman keras. Dokter-dokter didatangkan
untuk merawat Utari. Rahimnya lemah dan kesehatannya juga tidak
begitu baik. Tapi Bertram tidak datang menjenguknya. Tidak ada yang
bisa mengira kalau kehilangan bayi itu telah mematahkan hatinya.
Ada suara mengerikan seperti
suara kuku-kuku menggaruk di kaca-kaca jendela. Barangkali
ranting-ranting pohon. Biasanya ada satu ada dua dahan pohon yang
patah dalam badai semacam itu. Angin membuat suara gaduh yang tidak
menyenangkan.
Di hari dengan badai yang
serupa mereka kehilangan bayi itu. Mengikuti dorongan hatinya pria
itu bergerak untuk memeluknya. Secara refleks Utari meraih mantel
yang seharusnya melapisi gaun tidurnya. Gaun tidurnya terbuat dari
bahan renda yang mahal. Meskipun sangat nyaman dipakai tapi gaun itu
tidak menyembunyikan apapun dan itu mengganggunya.
“Bagaimana mungkin kau
berpikir selembar kain akan bisa melindungimu dariku?” Wajah pria
itu menyiratkan ekspresi geli. Dia mengangkat tubuh Utari dan
meletakkannya di pangkuannya. Pada malam-malam yang meresahkan hati,
hanya dalam keadaan itulah, dengan wanita itu dalam pelukannya, dia
bisa tidur.
“Ini sedang badai. Bukankah
seharusnya kau tidak memikirkan hal lain selain Tuhan?” kata Utari
ketika menyadari dia tidak dapat menghindar dari hasrat pria itu.
“Aku memikirkan Tuhan.
Bukankah Dia yang memberikanmu kepadaku? Kenapa aku dicela karena
menikmati pemberian-Nya?”
Utari dan penolakannya sudah
seperti semacam ritual. Laki-laki terhormat biasanya akan kehilangan
minat pada sesuatu yang tidak menerimanya. Tapi memang tidak ada hal
terhormat yang dapat ditemukan pada dirinya. Dan lebih parah lagi
karena dia mengakuinya. Kepada Utari dia tidak pernah menyembunyikan
maksud dan tujuannya. Utari menganggapnya mengerikan. Tapi pria itu
menikmati reaksi Utari atas semua tindakannya. Dia merasa dirinya
diberkahi dengan selera humor yang luar biasa.
Sepertinya memang ada pohon
yang tumbang karena badai –rumah itu dikelilingi kebun dengan
pepohonan yang telah berusia puluhan tahun- dan angin yang bertiup
kencang menghempaskan pohon itu sehingga sebagian rantingnya mengenai
jendela. Suara yang ditimbulkannya terdengar menyedihkan.
Pria itu meraih satu juring
delima dari meja dan mengulurkannya ke mulut Utari. “Makanlah lebih
banyak. Bibirmu masih menyisakan rasa pahit obat,” katanya. Juring
delima itu berada begitu dekat di mulutnya sehingga sebelum Utari
menyadarinya, butiran buahnya telah pecah di lidahnya.
“Aku sangat senang setiap
kau memakan buah delima,” ucap pria itu lagi. “Aku terdorong
untuk percaya buah itu mengandung sihir.”
“Kenapa?” Mengajaknya
berbicara kadang berhasil mengalihkan perhatian pria itu meskipun
tidak sering.
“Apa kau tahu cerita tentang
Hades dan Persephone?”
“Aku tidak suka
cerita-cerita tentang laki-laki yang menipu wanita.”
Bertram tidak mempedulikan
ucapannya. “Ketika Hades disuruh berpisah dari Persephone dan dia
tidak punya cara lain untuk menghindarinya, dia memetik buah delima
dari kebunnya untuk gadis itu. Persephone memakannya tanpa curiga.
Karena buah itulah kenapa setiap musim dingin gadis itu akan selalu
kembali kepada Hades tak peduli seberapa jauh pun dia telah pergi.”
“Pria yang licik,” gumam
Utari sibuk menghindari ciumannya. “Dalam seni, Persephone selalu
digambarkan berwajah murung.” Dia mungkin saja akan mengatakan
hal-hal lain kalau pria itu tidak menciumnya. Ciumannya seperti angin
badai yang menghempaskan Utari ke arah yang tidak dia kehendaki.
Bertram melepaskan ciumannya
sesaat setelah menyadari Utari kehabisan nafas. “Aku menerima surat
dari kakakmu,” kata pria itu tiba-tiba.
“Surat untukku atau
untukmu?”
Utari tahu suaminya membaca
semua surat yang datang untuknya, bahkan kadang menyembunyikan satu
atau dua surat. Tentu saja dia melakukan itu hanya untuk
mengganggunya.
“Kakakmu mengembalikan
pinjamannya. Dia mengirimiku cek.”
Ayah Utari menjalankan
perkebunan dan perusahaannya nyaris seperti badan amal. Dia
mempertahankan para pegawainya, orang-orang yang telah dia kenal
sejak kecil, dan memberikan gaji yang layak tanpa mempedulikan
kenyataan bahwa mereka hanya menghasilkan sedikit keuntungan
untuknya. Ketika perusahaan itu diwariskan kepada kakaknya mereka
berada di ambang kebangkrutan. Karena itu aset yang dimiliki keluarga
mereka sejak beberapa generasi, ide untuk menjual perusahaan itu sama
sekali tidak bisa diterima. Kakaknya meminjam uang dari pria itu.
Anehnya pria itu tidak tertarik pada upaya pengembaliannya. Dia
mengatakan akan memberi jangka waktu yang tidak terbatas asal mereka
menjadikannya keluarga. Siapa yang menduga kalau yang diinginkannya
adalah pernikahan. Utari sama sekali tidak mengenal pria itu tapi
mendengar hal-hal buruk mengenainya sehingga rencana pernikahan itu
menyakitkan hatinya. Tapi itulah yang kemudian terjadi. Pria itu
membawanya ke negaranya. Utari mengira setelah satu atau dua tahun
kakaknya akan menyelesaikan urusan hutang itu sehingga dia bisa
pulang tapi itu hanya angan-angannya saja.
“Kakakmu bilang minggu ini
aku harus menyelesaikan pemindahan kepemilikan perkebunan dan
perusahaan keluargamu. Dia juga bilang aku harus segera menyelesaikan
urusanku denganmu. Sudah menduga reaksimu akan seperti itu. Kau
begitu gembira sampai-sampai kegembiraan itu mungkin bisa membunuhmu.
Sudah jelas kau tidak menunggu semenit pun untuk pergi dariku.”
“Aku, seperti yang kau
harapkan, akan merusak kegembiraan itu. Aku mungkin akan
mengembalikan tanah pertanian dan perusahaan keluargamu, aku tidak
memerlukannya, tapi aku tidak akan mengembalikanmu.”
“Kenapa?”
“Kenapa kau bertanya
kenapa?”
“Hubungan kita sangat rumit
dan itu menyusahkan kita berdua. Bukankah seharusnya kau senang kita
punya cara untuk menyelesaikannya?”
“Aku tidak ingin ada yang
selesai di antara kita.” Pria itu membenamkan wajahnya di lekukan
leher Utari. Rambut-rambut kasar di wajahnya menyentuh nadinya. “Aku
ingin, ah, tidak, aku bermaksud, dan jelas aku akan memastikan
maksudku tercapai, untuk bertengkar denganmu dan memelukmu setiap
hari, seperti ini, dari sekarang hingga seribu tahun yang akan
datang.”
Utari terganggu dengan caranya
berbicara. Saat bersamanya pria itu punya kebiasaan berbicara dengan
mulut berada di kulitnya. Pada malam-malam tertentu saat pria itu
bepergian dia mengingat hal-hal seperti itu dan membuatnya luar biasa
resah.
Bertram menyentuh sisi
wajahnya. Utari selalu heran kenapa pria itu selalu memperlihatkan
ekspresi yang memilukan saat bersamanya atau berbicara dengannya,
ekspresi yang sama yang dia lihat dalam lukisan-lukisan mengenai
sepasang kekasih. “Aku tahu dalam kehidupan ini kau memberikan
cintamu padaku itu hal yang tidak mungkin. Tapi kita cuma hidup satu
kali. Kau disini. Bukan di tempat lain. Kau menjalani kehidupan ini
denganmu. Bukan dengan orang lain. Itu sebuah kesempatan bagiku,
bukan?” Pria itu selalu memeluknya seperti bagaimana Bernini
menggambarkan kisah Persephone.
“Kadang-kadang,” kata
pria itu, “yang benar-benar kuinginkan adalah kau menemukan
kenyataan bahwa pelukanku adalah satu-satunya tempatmu untuk tidur.”
Angin musim dingin
menderu-deru di luar. Dan kelihatannya tidak akan berhenti untuk
waktu yang lama.
Catatan:
- Dalam leganda Yunani Persephone diculik saat dia sedang mengagumi satu rumpun bunga daffodil yang secara aneh memekarkan seratus kuntum bunga, Hades muncul dengan keretanya dari dalam tanah dan membawa gadis itu pergi ke tempat yang tidak disinari matahari. Penculikan itu membuat repot semua orang. Ketika Hades terpaksa harus mengembalikannya karena desakan semua orang, dia memberi Persephone buah delima. Persephone sempat memakannya sedikit tanpa menyadari kalau siapapun yang memakan makanan dari tempat tinggal Hades harus menghabiskan waktu disana untuk selamanya. Akibatnya dalam setahun, di musim dingin, dia terpaksa harus meninggalkan rumahnya yang dipenuhi bunga-bunga untuk bersama Hades tinggal di tempat yang muram
- Gian Lorenzo Bernini memahat The Rape of Proserpina sepanjang tahun 1621 hingga tahun 1622. Patung bergaya baroque itu terbuat dari marmer setinggi 89 inchi. Menggambarkan dengan begitu dinamis peristiwa penculikan Persephone. Bernini memahat dengan detail kulit, helai-helai rambut dan air mata Persephone. Hades digambarkan melingkarkan lengannya ke pinggang gadis itu ketika Persephone berusaha untuk melepaskan diri, jari jemarinya yang berada di kulit Persephone dipahat begitu detail, sehingga dianggap menggambarkan perpaduan yang begitu mengagumkan antara kelembutan dan kekejaman yang kontras. Patung itu kini disimpan di Galleria Borghese di Roma, Italia.